Evan bergeming sesaat. Meski terdengar mustahil, tetapi kemungkinan seperti itu tetap ada. “Iya, Mas. Mungkin ada anak dan istri yang lain.” Satya tersenyum getir. “Gila kamu, Van.” seru Satya. “Sepertinya Paklik Soeroso bukan orang seperti itu. Dia setia dengan satu istri. Lagipula bulik masih cantik sampai saat ini.” “Eng, anu, ….” Evan tersenyum malu. “Kadang seseorang yang terlihat setia justru menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.” Satya berdecak. “Teori dari mana itu, Van?” Ingin rasanya menoyor kepala Evan yang mendadak punya pikiran ajaib. “Hanya berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari.” “Tapi aku yakin Paklik Soeroso tidak seperti itu. Aku yakin dia tidak punya istri dan anak selain bulik dan ketiga anaknya.” Pandangan Satya menerawang keluar jendela ruang perpustakaan. Sepanjang kehidupannya bersama keluarga besar Hadikusumo, belum pernah terdengar ada skandal apa pun. “Mungkin dulu Ndoro Soeroso ingin Mbak Hayu yang ada di posisi saya, Mas. Waktu itu
“Semua perangkat elektronik Anda sudah diretas. Jaringan kamera pengawas Anda sudah dikacaukan saat dua penyerangan terjadi sehingga tidak bisa merekam kejadian. Pelaku sempat menggunakan IP address palsu. Tapi setelah kami kejar, akhirnya kami bisa mendapat IP address yang sebenarnya. Dari sana kami mengejar pelaku dan semua bukti jejak digital mengarah pada Pak Mahendra.” “Ya, Tuhan.” gumam Satya. “Dan rekaman terakhir ini semakin menguatkan bukti bahwa Pak Mahendra adalah pelakunya. Bukankah Pak Mahendra punya anak laki-laki yang pernah bekerja di perusahaan Anda?” Satya mengangguk. Nendra, sulung Paklik Mahendra memang pernah bekerja di Hadikusumo Group sebelum hengkang dan pindah ke Jakarta. Satya merutuki dirinya yang tidak berpikir sejauh itu. Ia terlalu fokus pada Paklik Soeoroso.“Jadi Paklik Soeroso tidak terlibat?” Ipda Andra menggeleng. “Sejauh ini belum ada bukti yang mengarah ke dia. Tapi kita akan dalami kasus ini. Bukan tidak mungkin dia juga terlibat.” Kepala Sat
Dendam itu seperti api yang mengubahmu menjadi abu.***Rupanya, ucapan Hamdan pagi itu bukan omong kosong. Dua hari setelah Pak Handoko tertangkap, polisi berhasil membekuk Paklik Mahendra ketika bersiap lari keluar negeri. Lelaki berusia lewat setengah abad itu ditangkap di Bandara Halim Perdanakusuma. “Kenapa Paklik melakukan semua ini?” tanya Satya ketika menemui pamannya di kantor polisi. “Apa yang sudah dilakukan Ayah dan Bunda sampai Paklik begitu dendam pada mereka?” Satya tersekat di ujung kalimat. Matanya berembun. Hatinya ngilu. “Bukankah lebih baik bicara baik-baik?” “Apa kamu benar-benar mau tahu alasanku?” tantang Paklik Mahendra. Manik mata kelam miliknya menyalakan bara. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. “Apa kamu siap mendengarnya?” “Katakan saja. Kalau ada hutang yang harus dibayar ayah dan bunda, akan saya bayar.” Satya berusaha menekan gejolak di hati. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Paklik Mahendra. Satya sadar, kadang masa lalu m
Mendengar ucapan Satya, Mahendra melengos. “Jangan salahkan orang lain atas kemalangan yang menimpamu,” ujarnya setelah kembali bersitatap dengan Satya. “Aku memang menginginkan pabrik itu. Tapi aku tidak segila itu sampai membunuh kakakku sendiri.” “Bagaimana dengan kebakaran di kantor pusat Hadikusumo?” Tatapan Satya menusuk kedalaman mata Mahendra. Tiba-tiba Mahendra bangkit sembari menatap nyalang keponakannya. Detik berikutnya, telapak tangannya mendarat sempurna di pipi Satya, menimbulkan bunyi nyaring yang menyakitkan. “Bocah kurang ajar! Tunjukkan buktinya kalau aku yang membakar kantor pusat Hadikusumo!” Satya mengelus pipi yang terasa panas. Mati-matian dia menahan diri agar tinjunya tidak melayang. Lelaki tua di hadapannya benar-benar nir adab. “Saya hanya memastikan. Kalau memang Paklik tidak melakukannya, kenapa harus marah?” “Dengar, jangan pernah menemuiku lagi! Cukup hari ini kamu menampakkan wajahmu di hadapanku.” Nyala api di mata Mahendra semakin membesar. “Seka
“Aku khawatir itu jebakan Paklik Mahendra dan kalau masih ada di sini akan jadi bukti walaupun aku belum tahu apa yang akan dilakukan Paklik Mahendra.” Tiba-tiba ancaman sang paman terngiang di telinga. “Kukira riset yang dibicarakan dengan Pak Handoko itu ada hubungannya dengan pewarna-pewarna ini. Entah riset apa aku juga tidak tahu.” “Baik, Mas. Nanti saya minta penanggung jawab gudang untuk memusnahkannya.” Tanpa diperintah dua kali, Evan segera melaksanakan perintah Satya. Dua pegawai gudang bertindak cepat memusnahkan kardus berserta isinya. Satya menghela napas lega ketika menjelang senja pendopo sudah bersih dari kardus-kardus pewarna itu. “Sepertinya aku mau ke Sangihe, Van,” ujar Satya ketika keduanya makan di warung nasi liwet langganan Satya. Ia sudah memberitahu Mbok Darmi agar tidak usah menyiapkan makan malam karena mungkin pulang terlambat. “Mau bulan madu?” Evan tersenyum jenaka. Ia bisa merasakan kegundahan Satya. “Bulan madu gimana kalau kerjaan dia ke hutan-h
Pikiran kosong. Hati lowong. Baru kusadari, mencintaimu seperti menggenggam bara api.Aku padamu,Hancur,Luruh,Lumat.- Abhimayu Pradana - ***“Nanti sambil kirim laporan saja makannya. Khawatinya kalau makan dulu nggak kekejar. Besar banget ukuran file-nya. Gimana?” Rena memasang tampang memohon sekaligus memelas. “Mumpung Lintang lagi tidur. Jadi dia nggak bakalan protes kalau aku tinggal. Nanti kalau dia bangun dan aku belum datang, telepon saja.” Dana mengganjur napas. Sungguh pilihan sulit, tetapi ia tidak punya jalan lain. “Oke. Aku tungguin Lintang.” “Alhamdulillah.” Rena tersenyum lega. “Makasih banyak, Dan. Tadi sudah tranfusi trombosit dua kantong. Kalau nanti habis magrib dicek masih kurang, bakal tranfusi lagi,” jelas Rena. “Oke.” Dana mengangguk. “Jangan lama-lama, ya. Khawatirnya Lintang keburu bangun.” Rena menjentikkan jari. “Beres. I’ll be back ASAP!” Gadis lincah itu bergegas keluar ruang rawat inap. Helaan napas berat Dana memenuhi ruangan berukuran sembi
Di hatiku, cinta dan rindu tak pernah meujud kata. Ia menjelma tubuhmu yang menjadi candu bagiku. - Satya Aditya Prawira -***Tiga hari pertama di rumah sakit yang sulit bagi Lintang. Kepalanya terasa berat. Setiap kali bangun, ia merasa seolah bumi berputar cepat dan ia terbanting tak berdaya. Keadaannya semakin lemah karena nyeri yang luar biasa di ulu hati saat berusaha menegakkan tubuh. Demam berdarah dan radang lambung, demikian dokter memberikan vonis. Lintang bersyukur Satya bisa datang menyusul dan mengurusnya. Ia akan merasa sangat tidak enak jika hanya bersama Rena di sini karena semua aktivitasnya harus dibantu. Mengandalkan perawat pun tidak mungkin. Jumlah mereka terbatas dan harus menangani banyak pasien. Pada hari keempat, Lintang merasa kondisinya lebih baik. Suhu tubuh berangsur normal dan perlahan tenaganya kembali, nyeri di perut pun semakin berkurang. Enam kantong trombosit telah ditransfusikan ke tubuhnya. Melihat keadaannya yang sudah stabil, pada hari kedelap
Evan terdiam sejenak. “Saya tidak tahu ini berhubungan dengan Ndoro Mahendra atau tidak. Sekitar dua hari lalu di koran ada berita tentang hasil penelitian salah satu LSM tentang pencemaran sungai di sekitar Laweyan dan itu berasal dari limbah pabrik batik. Hasil risetnya menyebut-nyebut pabrik kita.” “Pabrik batik di Laweyan nggak cuma kita. Jadi, nggak bisa kalau hasil penelitian itu hanya ditujukan pada kita,” sanggah Evan.“Tapi kita yang terbesar dan menyuplai kebutuhan bahan baku pabrik-pabrik di sekitarnya.” “Coba kirim ke aku beritanya.” Satya penasaran. “Nanti saya kirim foto berita cetak dan link versi digitalnya.” Evan menjeda pembicaraan untuk mengambil gambar berita di koran dan mengirim tautan media digital yang memberitakan isu pencemaran pada Satya. “Thanks, Van. Nanti aku baca. Kita wait and see saja. Kalau ada yang wawancara kamu, jawab saja yang memang kamu tahu.” Evan mengiyakan perintah Satya. Sejauh ini dia memang masih mengamati arus pemberitaan di media ma