Pikiran kosong. Hati lowong. Baru kusadari, mencintaimu seperti menggenggam bara api.Aku padamu,Hancur,Luruh,Lumat.- Abhimayu Pradana - ***“Nanti sambil kirim laporan saja makannya. Khawatinya kalau makan dulu nggak kekejar. Besar banget ukuran file-nya. Gimana?” Rena memasang tampang memohon sekaligus memelas. “Mumpung Lintang lagi tidur. Jadi dia nggak bakalan protes kalau aku tinggal. Nanti kalau dia bangun dan aku belum datang, telepon saja.” Dana mengganjur napas. Sungguh pilihan sulit, tetapi ia tidak punya jalan lain. “Oke. Aku tungguin Lintang.” “Alhamdulillah.” Rena tersenyum lega. “Makasih banyak, Dan. Tadi sudah tranfusi trombosit dua kantong. Kalau nanti habis magrib dicek masih kurang, bakal tranfusi lagi,” jelas Rena. “Oke.” Dana mengangguk. “Jangan lama-lama, ya. Khawatirnya Lintang keburu bangun.” Rena menjentikkan jari. “Beres. I’ll be back ASAP!” Gadis lincah itu bergegas keluar ruang rawat inap. Helaan napas berat Dana memenuhi ruangan berukuran sembi
Di hatiku, cinta dan rindu tak pernah meujud kata. Ia menjelma tubuhmu yang menjadi candu bagiku. - Satya Aditya Prawira -***Tiga hari pertama di rumah sakit yang sulit bagi Lintang. Kepalanya terasa berat. Setiap kali bangun, ia merasa seolah bumi berputar cepat dan ia terbanting tak berdaya. Keadaannya semakin lemah karena nyeri yang luar biasa di ulu hati saat berusaha menegakkan tubuh. Demam berdarah dan radang lambung, demikian dokter memberikan vonis. Lintang bersyukur Satya bisa datang menyusul dan mengurusnya. Ia akan merasa sangat tidak enak jika hanya bersama Rena di sini karena semua aktivitasnya harus dibantu. Mengandalkan perawat pun tidak mungkin. Jumlah mereka terbatas dan harus menangani banyak pasien. Pada hari keempat, Lintang merasa kondisinya lebih baik. Suhu tubuh berangsur normal dan perlahan tenaganya kembali, nyeri di perut pun semakin berkurang. Enam kantong trombosit telah ditransfusikan ke tubuhnya. Melihat keadaannya yang sudah stabil, pada hari kedelap
Evan terdiam sejenak. “Saya tidak tahu ini berhubungan dengan Ndoro Mahendra atau tidak. Sekitar dua hari lalu di koran ada berita tentang hasil penelitian salah satu LSM tentang pencemaran sungai di sekitar Laweyan dan itu berasal dari limbah pabrik batik. Hasil risetnya menyebut-nyebut pabrik kita.” “Pabrik batik di Laweyan nggak cuma kita. Jadi, nggak bisa kalau hasil penelitian itu hanya ditujukan pada kita,” sanggah Evan.“Tapi kita yang terbesar dan menyuplai kebutuhan bahan baku pabrik-pabrik di sekitarnya.” “Coba kirim ke aku beritanya.” Satya penasaran. “Nanti saya kirim foto berita cetak dan link versi digitalnya.” Evan menjeda pembicaraan untuk mengambil gambar berita di koran dan mengirim tautan media digital yang memberitakan isu pencemaran pada Satya. “Thanks, Van. Nanti aku baca. Kita wait and see saja. Kalau ada yang wawancara kamu, jawab saja yang memang kamu tahu.” Evan mengiyakan perintah Satya. Sejauh ini dia memang masih mengamati arus pemberitaan di media ma
Suara pengait tirai bergeser terdengar ketika Lintang membuka kain putih yang menutupi jendela. Seketika cahaya matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar. Aroma kopi yang baru saja diseduh menguar dari dua cangkir kopi di atas meja ditingkahi gesekan biola Daniel Jang memainkan lagu A Thousand Year dari ponsel Satya memenuhi ruangan. Tiga menit berlalu dan Lintang masih tegak di tempat. Kedua matanya menyipit dan menerawang datar ke depan. Sejauh mata memandang tampak keindahan lanskap Kepulauan Sangihe dengan laut biru dan pegunungan yang terlihat seperti pagar berwarna hijau. Lalu-lalang kapal antar pulau meramaikan dermaga sementara bingar kendaraan bermotor memenuhi jalanan. Kehidupan berdetak dinamis di pulau terpencil ini. Sesuatu yang takpernah disangkanya ketika pertama kali mendengar kata Sangihe. Mendadak ingatan Lintang melayang ke Rena dan teman-temannya. Mereka pasti sedang sibuk sementara dia bersenang-senang di sini. Hati kecilnya sempat menyesali keputusan Satya me
Dana melirik Satya. Ia bisa merasakan sikap kurang bersahabat yang ditunjukkan lelaki itu. “Kayaknya sudah selesai. Tinggal Rena saja, tapi tinggal 20%. Makanya dia nggak pengen diganggu.” Dehaman Satya menghentikan percakapan mereka. Ia menatap kesal Dana yang di matanya terlihat menikmati pembicaraan dengan Lintang. Sebagai laki-laki, ia bisa melihat tatapan mendamba di mata Dana. “Ehm, sorry, Lin, aku duluan.” Dana menyalami Satya. “Yuk, Mas.” Ia tersenyum lalu berjalan menjauh. Rehat di Pantai Embuhanga sudah menjadi rencananya sejak awal dan harus dikacaukan dengan kedatangan Lintang dan Satya sehingga ia harus pergi sesegera mungkin. Melihat dua orang yang sedang nandang kasmaran hanya membuat hatinya sakit. “Kamu kalau ada Dana, suami sendiri dianggap lalat,” gerutu Satya. Ia memperlebar jarak dengan Lintang, berjalan lebih ke tengah. Lintang melongo. Buru-buru disusulnya sang suami. “Aku cuma nggak nyangka ketemu Mas Dana di sini.” Lintang meraih jemari kokoh Satya dan mem
Angin berembus meriapkan rambut Satya. Pandangannya masih terkunci pada paras manis Lintang. “Kan, ketutup sama topi lebar kamu. Jadi nggak bakal kelihatan.” Satya bergeming, enggan menggeser tubuh. Lintang menggeleng dan beringsut menjauhi Satya lalu kembali menyesap air kelapa muda sembari memandang laut lepas. Satya tersenyum gemas ketika matanya menangkap rona merah di wajah Lintang. Ia pun kembali fokus dengan minuman di tangannya sembari menikmati gradasi warna laut yang berubah seiring merangkaknya matahari menuju ke barat. “Ngomong-ngomong, kamu mau nggak melihat sunset di Pulau Mendaku?” tanya Satya setelah menandaskan satu butir kelapa muda. “Tadi aku sempat baca berita tentang pulau itu. Katanya favorit wisatawan di sini.” Lintang mengiyakan ucapan Satya. Pulau Mendaku dan Dokupang di Kecamatan Manganitu Selatan memang idola para turis. “Pergi ke mana pun kalau di Sangihe aku nggak nolak,” ujarnya bungah. Mata Lintang berpendar cerah. Citra kedua pulau eksotis itu menar
Satya menarik napas panjang. Mendadak wajahnya seperti berkerut-kerut karena bingung, kecewa, dan kesal berkelindan di dalam dada. Kepalanya terasa berat dipenuhi berbagai pikiran buruk. “Coba kamu ambil koran hari ini di tasku,” ujarnya kemudian. Tanpa diperintah dua kali, Lintang meraih tas kerja dan mengeluarkan surat kabar dari dua kantor berita yang terbit hari ini. “Baca headline koran-koran itu.” Satya meremas tepi sofa. Pemberitaan di koran itu seperti peluru yang menembus jantungnya. Setelah berhadapan dengan Paklik Mahendra, ia harus berhadapan dengan Bagas, sepupunya, yang menggugat perusahaannya dengan tuduhan mencemari dua sungai legendaris di Kota Solo, Kali Jenes dan Kali Wingko. Bagas menjadi salah satu penggerak LSM lingkungan hidup yang kabarnya telah mengkaji pencemaran di sungai itu selama setahun lebih. “Mas Satya istirahat dulu. Besok kita bicarakan lagi.” Lintang melipat koran. Ditatapnya paras tampan Satya yang semuram malam tanpa bulan dan bintang. “Meman
Satya menghela napas. “Semua karena dendam pribadi. Akal-akalan Bagas yang menyebut Hadikusumo sebagai perusahaan terbesar dan paling bertanggung jawab terhadap pencemaran di Kali Jenes dan Kali Wingko. Batik Maitreya dan Janaka lebih besar lagi, tapi kenapa tidak diseret ke pengadilan juga?” Lintang termangu menyadari keganjilan yang mulai tampak pada kasus ini. “Boleh aku lihat instalasi pengolah limbah di pabrik, Mas? Sekalian aku ambil sampel limbahnya untuk dianalisis.” Satya tersenyum. “Sepertinya kita akan berkolaborasi kali ini.” Lelaki itu bangkit lalu bersila di hadapan Lintang. “Terserah gimana baiknya saja, Nyonya Peneliti,” ujarnya seraya menggenggam tangan Lintang. “Kalau soal gugatan LSM itu, Mas Satya bisa hubungi lawyer untuk membantu menangani proses hukumnya. Aku ada kenalan lawyer yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan.” Lintang menyebut dua firma hukum terkenal yang selama ini banyak menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan. Bahka