Dana melirik Satya. Ia bisa merasakan sikap kurang bersahabat yang ditunjukkan lelaki itu. “Kayaknya sudah selesai. Tinggal Rena saja, tapi tinggal 20%. Makanya dia nggak pengen diganggu.” Dehaman Satya menghentikan percakapan mereka. Ia menatap kesal Dana yang di matanya terlihat menikmati pembicaraan dengan Lintang. Sebagai laki-laki, ia bisa melihat tatapan mendamba di mata Dana. “Ehm, sorry, Lin, aku duluan.” Dana menyalami Satya. “Yuk, Mas.” Ia tersenyum lalu berjalan menjauh. Rehat di Pantai Embuhanga sudah menjadi rencananya sejak awal dan harus dikacaukan dengan kedatangan Lintang dan Satya sehingga ia harus pergi sesegera mungkin. Melihat dua orang yang sedang nandang kasmaran hanya membuat hatinya sakit. “Kamu kalau ada Dana, suami sendiri dianggap lalat,” gerutu Satya. Ia memperlebar jarak dengan Lintang, berjalan lebih ke tengah. Lintang melongo. Buru-buru disusulnya sang suami. “Aku cuma nggak nyangka ketemu Mas Dana di sini.” Lintang meraih jemari kokoh Satya dan mem
Angin berembus meriapkan rambut Satya. Pandangannya masih terkunci pada paras manis Lintang. “Kan, ketutup sama topi lebar kamu. Jadi nggak bakal kelihatan.” Satya bergeming, enggan menggeser tubuh. Lintang menggeleng dan beringsut menjauhi Satya lalu kembali menyesap air kelapa muda sembari memandang laut lepas. Satya tersenyum gemas ketika matanya menangkap rona merah di wajah Lintang. Ia pun kembali fokus dengan minuman di tangannya sembari menikmati gradasi warna laut yang berubah seiring merangkaknya matahari menuju ke barat. “Ngomong-ngomong, kamu mau nggak melihat sunset di Pulau Mendaku?” tanya Satya setelah menandaskan satu butir kelapa muda. “Tadi aku sempat baca berita tentang pulau itu. Katanya favorit wisatawan di sini.” Lintang mengiyakan ucapan Satya. Pulau Mendaku dan Dokupang di Kecamatan Manganitu Selatan memang idola para turis. “Pergi ke mana pun kalau di Sangihe aku nggak nolak,” ujarnya bungah. Mata Lintang berpendar cerah. Citra kedua pulau eksotis itu menar
Satya menarik napas panjang. Mendadak wajahnya seperti berkerut-kerut karena bingung, kecewa, dan kesal berkelindan di dalam dada. Kepalanya terasa berat dipenuhi berbagai pikiran buruk. “Coba kamu ambil koran hari ini di tasku,” ujarnya kemudian. Tanpa diperintah dua kali, Lintang meraih tas kerja dan mengeluarkan surat kabar dari dua kantor berita yang terbit hari ini. “Baca headline koran-koran itu.” Satya meremas tepi sofa. Pemberitaan di koran itu seperti peluru yang menembus jantungnya. Setelah berhadapan dengan Paklik Mahendra, ia harus berhadapan dengan Bagas, sepupunya, yang menggugat perusahaannya dengan tuduhan mencemari dua sungai legendaris di Kota Solo, Kali Jenes dan Kali Wingko. Bagas menjadi salah satu penggerak LSM lingkungan hidup yang kabarnya telah mengkaji pencemaran di sungai itu selama setahun lebih. “Mas Satya istirahat dulu. Besok kita bicarakan lagi.” Lintang melipat koran. Ditatapnya paras tampan Satya yang semuram malam tanpa bulan dan bintang. “Meman
Satya menghela napas. “Semua karena dendam pribadi. Akal-akalan Bagas yang menyebut Hadikusumo sebagai perusahaan terbesar dan paling bertanggung jawab terhadap pencemaran di Kali Jenes dan Kali Wingko. Batik Maitreya dan Janaka lebih besar lagi, tapi kenapa tidak diseret ke pengadilan juga?” Lintang termangu menyadari keganjilan yang mulai tampak pada kasus ini. “Boleh aku lihat instalasi pengolah limbah di pabrik, Mas? Sekalian aku ambil sampel limbahnya untuk dianalisis.” Satya tersenyum. “Sepertinya kita akan berkolaborasi kali ini.” Lelaki itu bangkit lalu bersila di hadapan Lintang. “Terserah gimana baiknya saja, Nyonya Peneliti,” ujarnya seraya menggenggam tangan Lintang. “Kalau soal gugatan LSM itu, Mas Satya bisa hubungi lawyer untuk membantu menangani proses hukumnya. Aku ada kenalan lawyer yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan.” Lintang menyebut dua firma hukum terkenal yang selama ini banyak menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan. Bahka
Lintang menggeleng. Ia masih memegang lengan Satya kuat-kuat. Perutnya kembali bergejolak, tetapi tidak ada satu pun yang keluar dari mulut.“Salah makan?”“Nggak, Mas. Cuma nggak tahan sama bau sungainya saja.” Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Ya, sudah, ayo pergi. Kamu juga aneh-aneh. Ngapain pakai ke sini kalau nggak tahan bau busuk kayak gini.” Satya menarik tangan Lintang menjauhi bibir sungai lalu mengajak Lintang ke salah satu warung nasi liwet.“Kamu kecapekan, Lin. Kebanyakan begadang.” Satya menatap Lintang yang terlihat agak pucat. Mereka tengah berada di sebuah warung nasi liwet karena Lintang meminta minuman hangat. “Waktunya tidur buat tidur, jangan malah mantengin laptop.” Lintang meringis. Kalau sudah mengomel, Satya susah dihentikan. Bahkan Bulik Marni saja kalah karena perempuan yang merawatnya sejak kecil itu tidak pernah merepet. “Ngejar jadwal wisuda, Mas. Sayang kalau nggak bisa ikutan wisuda Agustus. Nanti kalau keburu ke Belanda, tert
Satya memainkan bolpoin di tangan. Bangkit dari keterpurukan tidak pernah mudah. Satya tahu itu. Ia hanya butuh stok sabar lebih panjang agar bisa melewati masa-masa sulit ini. “Lakukan saja terus. Nggak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, kan?” ujarnya kemudian.Evan membenarkan ucapan Satya. Dipandanginya Satya lekat-lekat. Di depannya, Satya seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani. Ia bisa tampil memukau dengan kecerdasan dan analisis yang tajam. Di sisi lain, ketika penyakit iseng dan kekanakannya kambuh, ia terlihat sangat konyol dan absurd. Langit perlahan berubah warna ketika Satya mengakhiri pembicaraan dengan Evan. Sunyi menyelimuti pabrik. Tinggal mereka berdua, satpam, dan Laras yang tersisa. “Kamu nggak bareng Evan saja, Ras. Bentar lagi gelap.” Satya menatap Laras yang baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan langkah tergesa. “Saya bawa motor, kok, Pak.” Laras meringis. “Ya tinggal saja motornya. Besok bawa pulang kalau nggak lembur.” “Besok gimana saya berangkat
Perempuan berwajah tegas itu memandang Satya lekat-lekat. Ia bisa menangkap raut khawatir sekaligus kesal di wajah Satya. “Tapi, lupakan dulu soal itu,” ucapnya kemudian. “Posisi saya sekarang ada di pihak Anda. Maka saya akan membantu Anda keluar dari masalah ini sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah.” Prof. Kathrina menyodorkan bundel berisi salinan undang-undang lingkungan hidup dan menjelaskan kesalahan apa saja yang sudah dilakukan Hadikusumo Group. Setelah itu, Prof. Kathrina memutar layar monitor sehingga mereka bertiga bisa melihat gambar yang tersaji di sana. “Anda lihat gambar ini?” Bolpoin di tangan Prof. Kathrina menunjuk bagan instalasi pengolah limbah. “Hanya ini solusi Anda lepas dari gugatan mereka.” Kedua mata Satya mengikuti pergerakan bolpoin. Lalu, tatapannya terkunci pada gambar di layar monitor. Selama beberapa detik ia terdiam sementara sel-sel kelabu di kepala berusaha sekuat tenaga mencerna kotak-kotak dan keterangan di bawahnya. “Anda harus membangun
Ucapan Satya terbukti. Pijatannya membuat Lintang nyaman dan rileks. Perlahan matanya terpejam. Ia sempat terjaga sebentar ketika pijatan suaminya terhenti dan tubuh Satya sudah berada di sampingnya sembari melengkungkan bibir.Lintang membalas senyum sang suami. Kedua mata mereka bertemu pandang. Lintang selalu menyukai pendar pada bola mata Satya. Lalu, dibiarkannya lelaki itu mengecup lembut kening dan pipinya. Ia pun terlelap dalam pelukan Satya.Lelah dan banyak pikiran membuat Satya juga tertidur. Meski tidak lama karena alarm ponselnya berbunyi dan menariknya untuk segera membuka kelopak mata. Bibirnya membentuk bulan sabit kala melihat Lintang yang tidur dengan wajah damai.Satya menyibak rambut-rambut halus yang menutupi paras manis Lintang lalu mengecup dahinya. Perlahan digesernya kepala sang istri dari atas lengannya. Sebentar lagi waktu asar dan ia harus segera kembali ke Yogyakarta. Perlahan Satya beringsut dan turun dari ranjang. Diambilnya handuk lalu membersihkan dir