Kyora yang sejak semalaman ia tidak bisa tidur karena menunggu Rejho mewujudkan segala apa yang telah ia rencanakan sejak lama.Namun, ia harus menerima kenyataan bahwa ternyata Rejho bersama anak buahnya tidak berhasil membawa Endrick ke hadapannya. "KALIAN MEMBIARKAN AKU MENUNGGU, LALU KALIAN PULANG DENGAN TANGAN KOSONG!!! APA-APAAN INI, SIA-SIA AKU MEMBAYAR KALIAN SEMUA!" teriak Kyora sembari berkacak pinggang penuh amarah. Kala itu, amarah seolah telah menumpuk di kepala sampai menggunung, membuatnya tidak bisa menahan segala macam amarahnya itu. Kekecewaan terhadap para anak buahnya membuatnya muak."SEGERA OUT KALIAN DARI SINI! AKU TIDAK MAU MELIHAT MUKA KALIAN LAGI!" usirnya dengan teriakan yang begitu keras sampai terdengar ke luar. Semuanya menunduk. Mereka tidak sedikitpun berani membantah apa yang Kyora katakan. Memang benar, mereka pun sadar bahwa pekerjaan mereka tidak menghasilkan apa-apa bagi Kyora. Sedangkan, Kyora sangat mengharapkan itu dari mereka."Apa harus aku
"Siapa, sih?" Setelah melihat bahwa ternyata itu adalah telepon dari Mariana, ia terdiam sejenak memikirkan antara harus menjawab atau tidak. Tetapi ...."Ah repot amat! Sebaiknya aku jawab saja!" ucapnya. Ia pun menekan tombol hijau lalu menggesernya ke kiri.[Halo, Tante. Ada apa, ya, telepon aku pagi-pagi begini?][Tante cuma mau tanya. Rumah sakit tempat suamiku dirawat ada namanya apa, ya?]"Oh, ternyata cuma tanya soal itu saja," batinnya dengan perasaan tenang.[Rumah Sakit Aryaloka.][Oh. Baiklah. Aku ke sana sekarang!]Tuutt.Tanpa mengatakan apapun lagi, Mariana pun langsung mematikan sambungan teleponnya ketika pembicaraan lewat panggilan telepon telah berakhir."Jadi di mana katanya, Ma?" tanya Nana yang juga penasaran karena tidak mendengarnya dengan jelas, walaupun saat itu agak mendekatkan dirinya ke dekat Ibunya.Mariana menoleh ke arah Nana. "RS Aryaloka.""Bukannya itu rumah sakit biasa?""Iya. Tapi biarkan sajalah.""Ah, Mama, kenapa sih kita ini harus menjenguk
"Tapi saya belum selesai, Dok!" sergah Zsalsya. Ia merasa terbatasi dengan aturan itu. Ia yang memang anak kandung Firman, seharusnya lebih berhak membesuk lama.Tetapi, kemudian ia teringat pada beberapa minggu yang lalu, di mana para karyawan di kantor perusahaan milik Firman pun menganggap bahwa dirinya hanyalah anak tiri."Aku mengerti sekarang," batinnya. Ia menyeringai dengan rasa kecewa yang tertahan dalam dada.Untuk protes pun rasanya tidak mungkin. Terlebih lagi, sebelumnya ia mendengar sendiri secara langsung bahwa Firman lebih ingin bertemu Mariana dan Nana dibanding dirinya.Zsalsya pun akhirnya memilih untuk mengalah. Ia beranjak dari duduknya dan kemudian pergi dari ruangan itu tanpa berkata apapun lagi. Ia sungguh kecewa berat, namun yang paling berat dan menyakitkan adalah bahwa ia hanya bisa memendamnya. Tidak ada orang yang memahami, bahkan bercerita pun seakan tidak boleh."Aku tahu, tapi .... Aku tidak bisa pergi juga dari sini. Kakiku seakan terasa berat untuk me
Namun tidak bisa. Tetapi suara dering ponselnya yang terdengar walau agak samar dari salah satu ruangan di rumah itu ketika Endrick mencoba terus menghubungi Zsalsya dengan ponselnya, ia mendekat dan terus mendekat ke arah suara itu berasal."Suaranya memang benar dari sini," kata Endrick. Minah pun mengikuti Endrick. Ia pun mendengar hal yang serupa. Namun, ia sama sekali tidak menduga bahwa suara itu dari sana dan dari ponsel Zsalsya. Sebab, ia tidak tahu bagaimana dering ponsel Zsalsya, karena tidak pernah memperhatikannya dengan baik. Ia pun jarang mendengar ponsel Zsalsya berdering ketika tengah berada di dekatnya. "Mbok, bisa tolong buka kamarnya sebentar!" pintanya kepada Minah yang saat itu berjalan perlahan ke arah kamar itu.Tetapi, ketika Endrick meminta untuk membuka pintu kamar tersebut, ia pun bergegas menghampiri Endrick tanpa berjalan perlahan lagi."Baik, saya buka. Tapi sebenarnya kamar itu memang tidak dikunci, kok!" kata Minah menjelaskan.Namun, Endrick tidak b
Sembari keluar dari kamar Zsalsya, ia berjalan terus menuju pintu dengan ponsel di telinga karena mencoba menghubungi Nana yang ia pikir sedang berada di rumah sakit. Nana yang main ponsel dengan sosial media miliknya pun membuatnya langsung terkesiap kala ada panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. "Siapa ini? Kenapa bisa ada yang tahu nomor aku, sedangkan aku sendiri tidak tahu?" gumamnya, bingung. Kala itu, Nana sedang duduk sendirian menunggu Mariana selesai membesuk Firman. Mariana memang tengah asyik mencari perhatian Firman, agar dirinya lebih diingat dan dipedulikan dibandingkan Zsalsya. "Pa, kamu istirahat saja. Biar Mama temani di sini sebentar, ya," kata Mariana sembari tersenyum. Ia juga memijat perlahan lengan Firman dari arah samping sambil duduk di kursi. Mariana menatap wajah Firman dengan bibir tersenyum, tetapi Firman tidak tahu jika dibalik senyuman palsu itu terdapat hati yang busuk. "Istirahatlah selamanya dan jangan pernah bangun lagi," batin Maria
"Terima kasih, Mbok, sudah mau memberikan nomornya Nana!" ujar Endrick sebelum dirinya meninggalkan rumah itu."Dengan senang hati, Pak Endrick. Saya juga ikut senang karena bisa membantu!" balasnya dengan nada ramah sembari tersenyum. Terlihat jelas senyum penuh ketulusan dari dalam hati.Semenjak melihat Endrick, Minah merasa berbeda. Ia merasa bahwa Endrick yang tampak tulus kepada Zsalsya. Walaupun terkadang sikapnya cuek dan dingin, tetapi dibaik semua itu tersimpan kepedulian yang teramat dalam. Ketulusan bertaut dengan cinta yang tulus, itulah yang terlihat jelas di mata Minah sebagai asisten rumah tangga yang kadang memperhatikan sikap orang-orang. Entah yang datang ataupun yang menetap di rumah itu sebagai tuan rumah. Sekalipun Minah hanya seorang asisten rumah tangga, tetapi dirinya tidak diam saja. Terlebih lagi ketika ia sering melihat atau bahkan mendengar sesuatu dengan niat buruk dari pendatang baru.Setelah mengatakan hal itu, Endrick pun melanjutkan langkah kakinya m
"Saya terburu-buru, jadi lupa membawanya.""Itu tidak masalah, asalkan jangan pernah salah paham. Dan jangan mudah percaya pada orang yang berkata dengan kebohongan tanpa pernah berterus terang.Kecemburuan yang awalnya menyeruak hingga membuat wajahnya memerah pun kini telah mereda. "Jadi, kamu menghubungi Nana karena apa?""Tentu saja karena mau menjenguk calon Papa mertua. Sebentar lagi kita kan pasti menikah!" ucapnya sembari memeluk Zsalsya dari samping, hingga kedua lengan mereka saling bersentuhan satu sama lain. Sangat dekat dan tanpa ada sedikitpun jarak.Nana melongo saat mendengarnya. "Apa? Menikah? Kalian menikah?" tanya Nana, refleks.Lalu, Nana berkedip. Ia mencoba mengalihkannya dengan sesuatu hal yang lain. "Kamu mau menjenguk Papa, 'kan? Mari biar aku antar ke dalam!""Saya mau sama Zsalsya. Jadi, terima kasih."Walaupun dalam hati sangat mengakui bahwa Nana sedang gugup, tetapi mulutnya terus saja berbohong tanpa ada kata lelah. Hanya demi tercapai apa yang diingi
"Huh! Sialan, gara-gara Pak Endrick yang datang cepat begitu, jadinya aku tidak bisa membuat Zsalsya salah paham sama dia!" umpatnya dalam hati.Bibirnya tampak mengerut kesal, sedangkan Mariana terus memperhatikan Anaknya itu. Lalu, tangannya memeluk Nana dari samping. "Tenang saja, Nak, Mama punya cara buat bikin mereka pisah supaya Pak Endrick bisa sama kamu," kata Mariana dengan nada berbisik. Kembali pada suasana di dalam ruang unit gawat darurat. Endrick tetap berada di sana ketika maksudnya belum tersampaikan. Tetapi, di samping itu ia juga bingung karena Firman dalam keadaan sakit. Ia tidak mau jika pembicaraan itu mengganggu Firman dan malah memperumit kondisi kesehatannya. Sebab, menjaga pikiran tetap positif adalah kunci utama agar cepat sembuh."Seperti ada yang mau dia katakan ... tapi apa?" batin Zsalsya sembari memperhatikan Endrick yang terus menatap wajah Firman dengan jakun yang bergerak -- tampak sedang menelan ludah."Ssebetulnya ada yang mau saya katakan pada An