Pedih rasanya untuk kedua kali Nova harus menelan kekecewaan atas sikap pria yang pernah menyembuhkan luka batinnya. Entah bagaimana nasib Nova setelah ini. Semua kartu yang disembunyikan oleh Mark, terbuka sudah. Tuhan terlalu baik untuk menyadarkan Nova lebih dulu kali ini. Ia memasuki kamar apartemennya dengan langkah gontai. Kakinya lemas, seolah tak mampu untuk memijakkan kakinya. Realita yang ia hadapi terlalu kejam. Untuk kesekian kalinya, Nova harus merasakan kecewa yang begitu dalam. Sikap kasar Mark telah membuka matanya akan keraguan yang selama ini Nova rasakan tentang pria itu.Kesadaran Nova belum sepenuhnya terkumpul. Sorot matanya masih kosong, dengan isi kepala yang bisa saja membludak kapanpun. Ia beralih menuju toilet. Membersihkan diri dari rasa gelisah yang terus menghantui. Di tengah kesendirian yang ia rasakan, hanya pergerakan janin di perut Nova yang bisa menyadarkannya. Seperti biasa, bayi mungil itu seolah memperingatkan Nova agar tak berpikir berlebiha
"Berita terkini. Pengusaha sekaligus investor ternama, Jhon Eneddy alias Jhony dikabarkan menghilang dari kediamannya sejak dua hari lalu. Sosok pelopor investasi itu dinyatakan hilang berdasarkan laporan pengaduan orang hilang dari keluarga Jhony."Suara pembawa acara berita di televisi mengisi setiap sudut ruangan kerja Angga. Senyum miring terukir di wajah Angga yang terlihat puas ketika mendengar berita aktual tentang musuh sekaligus pengkhianat yang sudah membuat kehidupan pribadinya hancur. Puas dengan informasi yang ia dengar, Angga beralih pada sebuah map yang menemaninya sejak satu tahun lalu. Map berisi beberapa lembar surat dengan kop surat sebuah rumah sakit di bagian atasnya. Angga menilik informasi di dalam surat itu dengan seksama. Sebuah alasan yang membuat Nova hengkang dari rumah ini dengan segala perasaan berkecamuk. "Andai kamu tahu, Nova. Aku melakukan ini semua untuk kamu. Dimana kamu sekarang, sayang?" Ada perasaan pilu yang tiba-tiba menggerogoti hati Angg
"Saat itu, Pak Angga memanggil aku dengan nama Nova."Angga diam mematung saat mendengar pengakuan Rachel barusan. Ia memastikan satu nama yang disebut Rachel memang nama istrinya. Sungguh, tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan perasaan Angga saat ini kecuali, malu. Dimana Angga harus menaruh mukanya setelah ini? Baru permulaan kronologi saja, Angga sudah merasa dikuliti oleh kenyataan. "Aku mencoba untuk mengelak. Tapi Pak Angga memaksaku untuk ikut ke dalam kamar hingga.." "Katakan padaku, aku tidak melakukan apapun padamu 'kan, Rachel?" sela Angga. Refleks dan keterkejutannya membuat Angga nekad melanggar tata krama. Mulut Rachel terkatup rapat. Angga terlihat begitu ambisius untuk mencari tahu, namun, apa yang barusan ia katakan tak sejalan dengan kenyataan yang ada. Tanpa menjawab pertanyaan Angga, Rachel kembali berkata. "Maaf, Pak Angga. Aku harus berkata jujur. Malam itu, Pak Angga sudah menjamah tubuh saya dengan begitu agresif. Saya nyaris mati karena Pak Angga b
Orang-orang di rumah ini sepertinya memang tak berniat untuk memberikan Angga sedikit waktu luang untuk istirahat sejenak. Kemunculan Chris mengejutkan Angga hingga jantungnya hampir mencelos. Untung saja, penyakit jantung Angga kian hari menunjukkan perubahan yang baik. "Apa maksudmu?" Angga mengernyitkan dahi keheranan. Baru juga menghela napas lega setelah problematikanya dengan Rachel kini terlihat jelas. Kedatangan Chris justru membuat isi kepala Angga semakin berantakan. Chris menghampiri meja kerja dimana Angga memijakkan kekuasaannya di sana. Kantong plastik hitam lusuh yang ia bawa diletakkan di atas meja sontak membuat Angga bangkit dari kursinya. Tak siap dengan serangan aroma mematikan dari kantong plastik hitam itu. "Apa yang sudah kau lakukan, pak? Kenapa ada benda itu di mobilmu?" tanya Chris tak mau membuang waktu dengan berbasa-basi. Angga menatap isi kantong plastik yang menyembul ke permukaan. Sehelai kain yang dilumuri dengan noda darah di sekelilingnya. "Oh
"Angga? Ada apa datang kemari? Nova mana?" Keterkejutan menyambut kedatangan Angga di sebuah rumah yang ia pijaki terakhir kali dua tahun lalu.Semenjak menikah dengan Nova, Angga tak pernah lagi menyambangi rumah ini dan memilih untuk memfokuskan diri pada pekerjaan dan misi balas dendamnya.Namun, siapa sangka, misi balas dendam yang seharusnya menjadi senjata untuk pembalasan berikutnya malah membuat Angga jatuh ke pelukan Nova. Seorang wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapan Angga adalah satu-satunya orang yang telah mewarisi paras cantiknya pada Nova. Sayangnya, sifat kedua wanita itu jauh berbeda.Pertanyaannya tadi cukup membuat Angga tersudut. Kedatangannya terkesan tak pernah sekalipun diinginkan oleh si tuan rumah. Tetapi, Angga tidak peduli. Ia justru mengulas senyum penghormatan pada sang ibu mertua, lalu menjawab."Aku ingat kemarin adalah ulang tahunmu, mama. Jadi aku menyempatkan diri datang kemari. Maaf kedatanganku terlambat," ucap Angga.Wanita di depannya b
Langkah kaki saling bersahutan di belakang Mark sama sekali tidak menggetarkan hatinya untuk menoleh ke belakang.Sementara, ada seorang wanita yang sedang mati-matian menuntut alasan sebenarnya atas kandasnya hubungan mereka. Jalinan cinta antara Nova dan Mark sudah pupus dua bulan lalu. Namun, masih banyak rentetan pertanyaan di kepala Nova yang belum terjawab. "Mark, tunggu!" Nova mencekal langkah mantan kekasihnya itu dengan menggenggam bisep kekar milik Mark."Bisakah kamu berhenti menerorku seperti ini, Nova? Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi, jadi pergilah," ucap Mark dingin. Tatapan Mark tak sehangat dulu, dan itu membuat hati Nova tercabik-cabik. Nama Mark masih setia mengisi setiap sudut hati Nova hingga detik ini. Alasan di balik hubungan mereka kandas semakin membuat Nova tak yakin Mark benar-benar mengakhiri kisah cinta mereka. Nova bergerak gelisah. Niat bicara empat mata dengan Mark pun lenyap begitu saja, dipatahkan dengan penolakan Mark barusan."Aku yakin
Rasanya Angga seperti dikuliti hidup-hidup ketika pertanyaan itu keluar dari mulut mertuanya sendiri. Sorot mata Marrie penuh harap, terkesan setia menunggu jawaban dari sang menantu tiba. Wanita ini, sangat ambisius untuk segala hal berbau uang dan kekayaan. Tak heran bila dulu, Marrie dan sang suami mematok nilai mahar dengan nominal hampir seperempat nilai kekayaan Angga. Tentunya, demi gengsi dan misi balas dendam, nominal itu adalah angka yang sepadan.“Um, kurang lebih laba bersihnya senilai lima belas triliun rupiah. Itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan nilai investasi yang sekarang sedang aku jalankan. Nominalnya jauh lebih besar dari yang aku sebutkan tadi,” jawab angga jumawa. Perhatian bisa dibeli oleh uang, dan itu adalah rencana yang sedang Angga lakukan. Wanita di depannya ada akar dari semua masalah. Keluarga komplotan pembunuh seperti mereka tidak seharusnya hidup dalam ketenangan dan kemewahan seperti saat ini. “Waw, kamu hebat sekali, Angga. Pasti Nova sena
Raut wajah penuh amarah dari sang mertua adalah hiburan bagi Angga. Kimi, pria itu menampakkan senyum lebar sambil sesekali gelak tawanya terdengar mengejek. Marrie menatapnya dengan sorot tajam, tak suka dipermainkan menantunya sendiri. “Jawab mama, Angga. Apa maksud ucapan kamu barusan?” kata Marrie berapi-api. Sungguh, Angga tidak menyangka reaksi sang mertua akan semarah ini. Angga masih sibuk mengontrol dirinya, di tengah Marrie yang terlihat seperti bahan lelucon. “Hahaha, astaga, ma. Kenapa mama marah seperti itu? Aku hanya bercanda,” ucap Angga santai. Tatapannya menyimpan ratusan lapis misteri yang sulit untuk dipecahkan siapapun. Mendengar itu, raut wajah Marrie berubah drastis. Seolah malu dengan tingkahnya yang emosional, dan reaksi yang berlebihan, Marrie kembali berkilah. Emosinya seakan menguap terbawa angin, berbanding terbalik dengan senyuman yang kini ia pamerkan di hadapan Angga. Dasar wanita culas, batin Angga. “Astaga, Angga. Kamu ini suka sekali membuat ma