Pintu utama rumah besar itu tertutup rapat. Seraya Angga melangkah lesu memasuki area ruang tengah. Tak disangka, persiapan yang dianggap matang untuk menyerang lawan justru berbalik menjadi senjata makan tuan. Raut wajah lelah Angga sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Ia juga tidak peduli pulang dengan penampilan yang berantakan. Tubuh dan pikirannya lelah dan butuh tempat sandaran untuk melepaskan keluh kesah. Tepat di saat kakinya menapaki anak tangga, riuh suara terompet dan sorak sorai beberapa orang yang meneriaki nama Angga membuatnya membalikkan badan. Tepat di dekat anak tangga, Nova, para pelayan dan juga ajudannya menyambut kedatangan Angga dengan sebuah kehebohan. “Selamat ulang tahun, Tuan Angga!!” Sorak mereka semua bersamaan. Nova yang berdiri di tengah-tengah mereka melangkah maju mendekati sang suami yang belum terlalu jauh menaiki tangga.Di tangannya, kue berukuran sedang dengan gambar wajah Angga di atasnya membuat Nova terkekeh geli. Beberapa kali ia mengamati
“Bagaimana hasil pemeriksaannya, dokter? Apakah istri saya baik-baik saja?” Di ruang periksa yang didominasi oleh warna biru itu Angga tak sabar melayangkan pertanyaan yang sudah bersarang di kepalanya. Pria itu memajukan tubuhnya hingga menghimpit sisi depan meja kerja dokter. “Tidak ada masalah dengan kesehatan Bu Nova, begitu juga dengan rahimnya,” jawab Dokter. Helaan napas lega terdengar keluar dari mulut Nova. Di samping Angga, sejak selesai pemeriksaan oleh dokter kandungan, Nova tak bisa duduk diam. Ia diselimuti kegelisahan yang membuat sekujur tubuhnya panas dingin. Butuh usaha keras untuk meyakinkan diri sendiri ketika Angga mengajaknya pergi ke dokter. Pengalaman terakhir kali dirinya menginap di rumah sakit, menjadi pengalaman paling memilukan. “Lalu, bagaimana dengan rahim istri saya, dok?“ pertanyaan itu terdengar ambigu. Namun Angga tak terlalu peduli. Di pikirannya saat ini hanyalah harapan yang sempat terkubur beberapa waktu lalu. Anggap saja Angga terlalu opti
Suara Nova terdengar jelas di telinga. Angga lantas menoleh ke arah sumber suara dengan gerakan terbata bak robot rusak.Tatapan Angga bertemu dengan tatapan Nova yang dipenuhi kecurigaan. “Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, mas?” tanyanya lagi untuk kedua kalinya.Angga menelan ludahnya berat saat berhadapan langsung dengan Nova. Wanita itu masih setia di posisinya sampai Angga menjawab pertanyaan Nova.“Um, kamu hanya salah dengar. Aku tidak bicara apapun.” angga mengelak. “Bohong. Aku mendengar dengan jelas apa yang kamu katakan tadi, mas.” Ya, Angga tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya tidak mampu mengolah kata hingga pada akhirnya Angga tak bisa mengatakan apapun. “Baiklah aku akan mengaku,” kata Angga. Ia memasrahkan nasibnya saat ini pada Nova. Senyum penuh kemenangan Nova diiringi oleh aksinya yang memundurkan tubuhnya sendiri. “Baiklah, tolong katakan dengan sejujurnya, bapak Angga yang terhormat.” Nova sengaja menekankan panggilan khusus untuk sang suami saat me
“Maafkan aku ya, aku belum bisa mewujudkan harapan yang sudah kamu nanti-nanti.” Guratan kesedihan di wajah Nova menunjukkan betapa besar penyesalan yang sedang ia rasakan saat ini. Di depannya, wajah Angga terpampang nyata. Saat menatap pria itu, ada gejolak rasa bersalah yang membelenggu hati Nova. Apalagi ketika mengingat bagaimana reaksi Angga saat di rumah sakit tadi. Terlihat jelas raut penuh harapan dibalik emosinya yang menggebu.“Kenapa kamu meminta maaf? Ini bukan salahmu,” balas Angga. Ucapannya terdengar sangat lembut, hingga begitu nyaman saat menelusup ke telinga. Nova menurunkan pandangannya, tak berani menatap Angga karena tiap kali melihat wajah pria itu, Nova selalu teringat dengan sebuah kenyataan tentang Angga yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. “Aku tahu saat kita harus melepaskan calon anak kita kemarin, kamu pasti sangat kecewa. Seharusnya aku bisa menjaganya dengan lebih baik. Seharusnya aku bisa mengendalikan pikiranku dan seharusnya aku yang pergi bu
Terlalu sulit untuk Nova membayangkan bahwa selama ini sang suami menaruh hati padanya. Permainan dendam yang Angga lakukan sangatlah rapi hingga tak pernah terbesit di pikiran Nova akan hal itu. Kini, keduanya tengah berada di dalam mobil menuju sebuah tempat yang dirahasiakan oleh Nova. "Kita mau kemana, Nova? Kenapa mataku ditutup seperti ini? Gelap sekali," kata Angga mengeluh. Selain memiliki trauma mendalam atas kehilangan keluarganya, Nova juga baru mengetahui bahwa pria itu takut akan kegelapan.Tetapi, saat ini Nova harus sedikit tega pada sang suami demi kelancaran kejutan kecil yang sudah ia rancang sebelumnya. "Tenang saja, mas. Aku tidak akan membawamu kemanapun. Lebih baik sekarang kamu tidur dulu. Setelah sampai di tujuan, aku akan membangunkanmu," kata Nova. Angga mengangguk, kemudian menyandar kepalanya pada bantalan kursi mobil. Dari sisi kanan Angga, Nova bisa melihat betapa Angga berusaha keras untuk menyembunyikan kelelahannya. Pria itu bahkan tak menolak saat
Kalimat itu menggelitik telinga Angga. Deru napas Nova disusul dengan aroma sakura dari parfum yang dipakai Nova kali ini sontak membangunkan setan kecil dalam diri Angga. Menggodanya untuk terus menghirup aroma tubuh Nova yang memabukkan.Dua puncak hidung mereka saling beradu. Sesekali meninggalkan kecupan-kecupan kecil di wajah sang istri. “Jadi, sekarang kita resmi memanggil satu sama lain dengan sebutan sayang, ya?” ucap Angga dengan senyum puas.“Iya, masku sayang…” balas Nova tak kalah romantis. Keduanya terkekeh akan tingkah konyol mereka. Sedangkan Angga tertawa puas saat ia berhasil mencubit sebelah pipi Nova yang memerah.“Awh, sakit, mas,” protes Nova. Bibirnya mengerut bak karet. Melihat itu, Angga justru semakin tertantang untuk melakukan kejahilan-kejahilan lain. “Habisnya, kamu menggemaskan sekali, sayang.”“Masa? Ah, aku tidak percaya! Pria dingin sepertimu bagaimana bisa bersikap romantis? Yang ada sejak kita memutuskan untuk membangun rumah tangga berdasarkan cint
“Selamat pagi, Pak Angga. Kelihatannya pagi ini segar sekali.” Angga baru saja keluar dari rumah, disambut Chris yang sudah menunggunya di teras lengkap dengan setelan jas formal yang melekat di tubuhnya. “Pagi,” jawab Angga singkat. Namun itu tidak melunturkan niat Chris untuk sekedar mencairkan suasana dengan tingkat konyol pria itu. “Silahkan masuk, pak. Saya sudah siapkan mobil terbaik untuk mengantar bapak pergi ke kantor hari ini. Apalagi, melihat suasana hati Pak Angga sepertinya sedang sangat bagus. Apakah anda ingin segelas kopi sebelum sampai di kantor?” ucap Chris lagi. “Boleh, kita mampir dulu ke kafe langgananku,” balas Angga. Meski pintu mobil telah ditutup, Angga sengaja membuka jendela mobil ketika melihat sosok istrinya dan juga putri semata wayang mereka—Celva—keluar dari rumah itu.“Chris, tunggu sebentar,” ucap Angga menghentikan niat Chris yang hendak menginjak pedal gas mobil. Pria itu melirik ke arah kursi belakang mobil dan mendapati Angga keluar dari sana.
“UNTUK APA LAGI KAU DATANG KEMARI, ALDO!?” Suara tinggi yang sangat Nova kenali itu membuat ia berjengit kaget. Nova terkejut saat suara berat dan penuh dengan emosi ditujukan pada Aldo yang tak kunjung pergi dari hadapannya.Nova menoleh ke arah sumber suara. Ekspresinya tak bisa lagi dikondisikan ketika melihat Angga yang sudah berdiri di samping mobil. Entah sejak kapan pria itu ada di sana. Jelas-jelas beberapa saat lalu, Angga sudah meninggalkan rumah bersama Chris. “Mas Angga..” Nova bergumam. Angga melangkahkan kakinya ke arah Nova, dengan kasar menarik tangan Aldo yang berkaitan dengan tangan istrinya. Emosi pria itu tak bisa dikendalikan, Nova tak ingin memperkeruh kekacauan yang sedang terjadi, sehingga ia menarik tangan Angga pelan mengajak pria itu untuk menjauh dari Aldo.“Mas, kumohon, jaga emosimu. Aldo sangat pandai mencari kelemahan. Kita tidak pernah tahu apakah dia datang sendiri atau diam-diam menyembunyikan sesuatu,” bisik Nova di telinga suaminya.“Tapi dia su