Nyeri menjalar di pipi Angga hingga menimbulkan bercak merah di sana. Jika Angga tak berusaha menahan tubuhnya untuk tetap berdiri kokoh di tempatnya, mungkin kepalanya akan ikut berputar seratus delapan puluh derajat akibat hantaman dari Nova. Susah payah Angga membalikkan posisi kepalanya ke posisi semula. Ketika sorot mata tajam tak lagi mampu membuat istrinya tunduk, sepertinya Angga harus menempuh jalan lain.."Ha, haha, hahaha," Angga tertawa hambar. Ekspresi wajahnya menyimpan banyak dendam untuk seseorang yang berstatus sebagai suaminya. "Kau berani menamparku, Nova?" desis Angga tepat di depan wajah wanita berusia dua puluh delapan tahun itu. Nova bergeming, enggan meladeni sikap Angga yang kelewatan namun ia tidak mempunyai pilihan selain menyanggah semua hinaan. "Kenapa aku tidak melakukannya selagi aku bisa? jawab Nova menantang. Kedua tangannya berkacak pinggang menunjukkan kekuasaan yang ia punya untuk dirinya sendiri. "Aku tidak menyangka, beberapa kali mengobrol d
Relung hati Nova terkoyak mendengar tuduhan yang semakin kejam Angga lemparkan padanya. Bibirnya hanya bisa tertutup rapat meski lidahnya berusaha untuk menyuarakan kesakitannya. Tapi ia tidak bisa. Hatinya sudah terlalu lama terluka hingga tak bisa diwakilkan oleh kata-kata."JAWAB PERTANYAANKU, NOVA? KAU SUDAH MELAKUKANNYA DENGAN ALDO KAN?!" Suara Angga semakin meninggi. Angga tak peduli berapa banyak usaha Nova untuk tetap berdiri kokoh di sana. Dengan sorot mata terluka, Nova beralih menatap Angga. Bibirnya bergetar karena tak kuasa menahan tangis yang selalu ia tahan. "Setelah tuduhan membunuh adikmu, sekarang kamu menuduhku hamil anak orang lain?""Aku tidak menuduh, aku mengatakan apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri." Dua orang berperang batin dalam kondisi tubuh yang tak tertutupi sehelai kainpun. Sebuah situasi konyol yang tidak pernah Nova bayangkan sebelumnya. "Terserah apa katamu, Angga. Satu hal yang harus kamu garis bawahi dari ucapanku ini, Aldo tidak per
Kamar ini semakin sepi semenjak Nova memilih untuk tidur di kamar tamu di lantai dua. Kerap kali Angga termangu sendirian di sana. Meratapi hubungannya dengan Angga yang semakin semrawut. Meski Angga bisa saja menjenguk anaknya di kamar baru mereka, Angga lebih memilih untuk memendam rindu pada putrinya sendirian. Keengganannya untuk menemui Nova membuat Angga lebih banyak menghabiskan waktu di kamar sendirian. Seperti saat ini. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, Angga baru saja keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang melingkar sebatas pinggang hingga lututnya. Bulir-bulir air dari rambutnya berjatuhan membasahi dada bidangnya yang kokoh. Deretan otot perut berjajar simetris dengan kulit putih mulus yang mengilap. Melihat Angga, sama halnya menghadapi jelmaan malaikat utusan surga yang ditugaskan untuk menyebarkan pesonanya. Tubuhnya, garis wajahnya, rahangnya yang tegas, dan manik indah miliknya semakin menambah kesempurnaan yang ia miliki. Bohong jik
Bu kepala menyajikan menu bubur untuk sarapan pagi ini di depan Angga. Potongan buah tak luput dari deretan menu yang dihidangkan. "Jadi, kau yang memasak ini untukku?" Angga mengangkat kepalanya. Mengarah pada Nova yang duduk di seberangnya. Dengan apa yang sudah mereka bicarakan tadi. Angga menuntut Nova untuk jujur padanya. Di antara mereka berdua. Ada bu kepala yang berdiri tak jauh dari area meja makan. Raut wajahnya tegang dan diselimuti ketakutan. Nova melihat itu, lantas beralih lagi pada Angga seraya berkata, "ya, aku yang memasaknya." Jawaban Nova cukup membuat Angga puas. Ini artinya mulai hari ini Angga akan menikmati semua hasil kerja keras Nova lewat makanan yang ia sajikan."T-tuan, masakan itu–""Aku sudah tahu siapa yang memasak ini, bu kepala. Kau tidak perlu menutupinya lagi." Angga menggeser tubuhnya menghadap bu kepala. Sadar dirinya telah tertangkap basah menjadi bagian dari drama yang dibuat oleh Nova."M-maafkan saya, tuan. Saya tidak bermaksud untuk membo
Perdebatan tadi pagi adalah perdebatan paling tak layak untuk Nova pertanyakan kejelasannya. Sudah jelas, keputusan yang Angga buat tak lain berasal dari egonya sendiri. "Angga selalu saja begitu. Mengambil keputusan sesuka hatinya. Apakah dia tidak berpikir bagaimana nasib bu kepala setelah keluar dari rumah ini? Jika aku menjadi bu kepala, aku akan sangat sakit hati dengan perilaku Angga yang semena-mena." Di kamar lantai satu Nova berjalan mondar-mandir tanpa arah. Ruangan itu bagaikan sebuah kotak yang terasa membatasi pergerakannya semenjak memutuskan untuk pisah kamar dari Angga. Karena insiden tadi pula, Nova kembali berpikir, haruskah ia menerima perintah Angga lagi untuk kembali ke kamar mereka. Kamar yang luasnya hampir sama dengan lapangan futsal pribadi. Kekesalan Nova semakin memuncak, baginya, Angga sudah sangat kelewatan. Setelah memecat Aldo, kini ia menyingkirkan bu kepala. "Apa sebenarnya maksud Angga melakukan ini semua?" Sebelah tangan Nova menopang dagunya. M
Tiga puluh menit waktu yang diminta Aldo benar-benar pria itu manfaatkan semaksimal mungkin. Setelah mendengar apa yang dikatakan Aldo tadi sekujur tubuh Nova merinding. Ia tidak pernah membayangkan akan mengetahui hal itu sebelumnya. "Kamu boleh percaya atau tidak pada penjelasanku ini. Satu hal yang pasti, aku tidak ingin kamu menjadi pelampiasan dendam selanjutnya. Meski Angga adalah suamimu, kamu juga perlu waspada," kata Aldo. Entah kata apa yang bisa mendeskripsikan perasaan Nova atas hal ini. Andai Aldo tak memberitahunya lebih dulu, mungkin Nova akan terjebak dengan drama rumah tangga yang semakin kelam. Kata demi kata di ujung lidah lenyap perlahan, ditelan rasa tidak percaya atas apa yang ia dengar. "Kusarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional. Jika tidak ada langkah apapun. Aku bertaruh, kalau bukan kamu, Angga sendiri yang akan menghancurkan dirinya sendiri," ujar Aldo serius. "Waktuku sudah habis. Maaf aku harus pergi sekarang. Apapun yang terjadi, denga
Terlalu menikmati obrolan dengan Diana membuat Nova lupa waktu. Ia baru sampai di rumah tepat pukul sepuluh malam. Dua ajudan yang berjaga di teras rumah seakan memberikan tanda kiamat lewat tatapan matanya. Tentu Nova sangat peka akan hal itu. Ia menghela napasnya, melepaskan segala kegelisahan yang mengoyak dadanya. "Semoga saja Angga sudah tidur. Bisa habis riwayatku jika dia tahu aku baru pulang." Sepanjang langkah memasuki rumah, Nova sengaja melepas sepatu hak tinggi yang ia pakai sejak tadi. Lebih tepatnya Nova sedang meminimalisir kebisingan yang bisa membuat Angga dan kenyamanan Celva terganggu. Kini Nova sudah berada di depan kamarnya di lantai satu. Sebelum pergi menemui Aldo, Nova sudah menitipkan Celva pada salah satu pelayan yang sudah berpengalaman mengurus Celva sebelumnya. Makanya, hari ini Nova benar-benar menikmati kesendiriannya di luar sana. Ceklek.Pintu kamar perlahan terbuka. Di dalam sana gelap gulita, hanya lampu tidur di keranjang Celva yang menyala deng
Sebelumnya..Perdebatan panjang diakhiri dengan kesepakatan dua orang yang berkomitmen untuk menjalani rumah tangga seperti yang seharusnya.“Pertama, kau harus menyiapkan semua kebutuhanku yang biasa diurus oleh bu kepala. Semua hal, tanpa terkecuali.” Angga duduk di kursi malas di sudut kamar. Masih setia dengan handuk yang membalut area pinggang hingga ke lutut.“Kedua, kau harus selalu menyambut kedatanganku saat pulang kerja dengan senyuman hangat. Meski aku sedang dalam keadaan mood terburuk sekalipun.”“Ketiga…”“Apa kau berniat untuk menjadikanku pembantu?” sela Nova cepat. Semua syarat yang diajukan oleh Angga terdengar lebih pantas dilakukan oleh asisten rumah tangga. Tidak ada satupun yang menyatakan kewenangan yang adil untuk Nova.Bagaimana cara Angga menatap saat ini adalah satu hal yang paling Nova khawatirkan. Tatapan tajam yang menelisik hampir seluruh isi pikiran Nova. “Hanya kau yang berpikir seperti itu. Jika kau cukup cerdas dalam menafsirkan ucapanku, semua syar