Suasana di ruangan besar yang didominasi oleh warna hitam dan merah itu berubah tegang. Di balik meja kebesarannya, Jhony menyambut kedatangan Angga dengan sebelah sudut bibir yang naik ke atas. "Kau punya nyali juga ternyata," ucap Jhony angkuh diiringi dengan hembusan napas dan senyum meremehkan. "Apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan Angga yang terhormat?" Sungguh, jika Angga tak memiliki tujuan yang jelas saat memutuskan untuk datang ke kediaman Jhony saat ini, bisa Angga pastikan dirinya akan menghabisi Jhony saat ini juga. Keangkuhannya patut untuk dimusnahkan, begitu juga dengan perangainya yang suka membuat pria itu jatuh ke dalam lubang kelam akibat lidahnya sendiri.Seorang ajudan yang mendampingi Angga sejak tadi, mengisyaratkannya untuk masuk semakin dalam memasuki ruang kerja Jhony. Kini, dua pria yang pernah menjalin hubungan sebagai kolega akrab itu hanya dipisahkan oleh jarak kurang dari satu meter saja. Angga memaku tatapannya tepat di manik hitam legam Jhony. Seca
"Aku pastikan kau tidak akan mempunyai kesempatan itu, Angga. Aku sudah habis-habisan menggelontorkan uang, dan kau begitu mudah mendapatkannya. Mau pikir aku akan diam saja?" "Kau lupa siapa aku sebenarnya, huh? Pria problematik seperti dirimu, bisa mati dalam sekali injakan. Kau mau aku melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan padaku di rapat final waktu itu?" Suasana mencekam diantara dua pria yang saling bersitegang itu semakin memanas. Aura kebencian berlomba-lomba untuk menguasai Angga dan Jhony secara bergantian.Ya, tidak ada yang lebih menyeramkan dari balas dendam seorang pria yang dikhianati. Dan dendam itu kini bersemayam dalam diri Angga. Jiwa penuh kemarahannya tak akan membiarkan sosok-sosok pengkhianat yang telah menghancurkan hidupnya. Raut wajah ketakutan Jhony kini menjadi bahan cemoohan Angga. Ia bangkit dari tempat duduknya, berdiri tepat di hadapan Jhony. Ceklek. Bunyi kunci senapan yang dikendurkan oleh jemari Angga membuat degup jantung Jhony tak k
Mobil yang dikendarai Angga berhenti tepat di teras rumahnya. Angga melenggang masuk ke dalam rumah tanpa beban. Hari sudah cukup larut ketika ia memijakkan kakinya di rumah mewah bergaya minimalis itu. Dua orang ajudan menyambut kedatangannya, lalu kompak membuka pintu selebar-lebarnya untuk sang tua. "Dimana Chris? Apa dia sudah pulang?" tanyanya pada para ajudan. Dua orang itu mengangguk cepat, salah satu diantara mereka berinisiatif untuk menjawab."Pak Chris sudah pulang sejak.satu jam lalu, tuan. Apa mau saya bantu hubungi beliau?" Gelengan kepala Angga telah menjawab pertanyaan itu. Pria yang baru saja menyelesaikan aksi balas dendamnya itu kemudian melenggang masuk ke dalam rumah. Pulang ke rumah tanpa sambutan seakan sudah menjadi kebiasaan baru bagi Angga sejak ia membuka kembali kedua matanya satu minggu lalu. Langkah tegas menuju lantai dua harus tertahan sejenak ketika perut tak bisa diajak bekerja sama.Kruuk.. Sebuah pengingat alami dari tubuh Angga sudah bersuara
Angga menikmati kuluman oenuh ambisi di bibirnya. Meski begitu, ia tak cukup mampu untuk berpikir waras karena di matanya kini, sosok yang tengah bersamanya kini adalah Nova. "Kamu pria yang sangat perkasa, Pak Angga. Aku sangat puas dengan permainan kita malam ini," ucap wanita itu. Sebelah sudut bibirnya naik ke atas, memamerkan kepuasan yang tiada tara. "Aku tidak menyangka, bisa dengan mudah menguasai ranjang bersamamu, Pak Angga," ucap Rachel lagi. Ia menarik tubuhnya menjauh dari tubuh polos pria idamannya sejak sepuluh tahun lalu. Angga terkapar tak berdaya di atas ranjang setelah puas membalas lumatan bibir Rachel di bibirnya. Namun, beban tak kasat mata di kepalanya terasa sangat berat hingga Angga tidak mampu untuk membuka mata. Kata demi kata yang Rachel ucapkan melintas begitu saja di telinganya, tetapi bukan berarti Angga mampu menampung itu semua. Rachel turun dari ranjang, dengan segenap sisa ambisinya. Wanita berusia 31 tahun itu merampas botol kecil beris obat ti
Seharusnya Angga bersyukur karena pria di depannya saat ini tak menunjukkan gelagat hendak menghabisinya dalam sekali pukulan.Alih-alih melampiaskan kemarahan pada bosnya, Chris memilih untuk berjalan mundar-mandir di hadapan Angga dengan langkah gelisah. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak menyangka kalau wanita itu adalah Rachel," kata Angga. Sungguh, lagi-lagi penyesalan yang begitu besar yang harus Angga telan kali ini. Bagaimana bisa dirinya bersikap terlalu ceroboh semalam? Daya fantasinya bekerja di luar nalar hingga Angga tak mampu mengendalikan diri. Chris menghentikan gerakan kakinya, beralih menghadap Angga yang masih setia duduk di atas sofa. "Kau yakin tidak dalam efek alkohol, pak? Mana mungkin kau begitu lemah dengan fantasimu sendiri?" ucap Chris yang tak lain juga menampar Angga pada kenyataan. Namun, sekeras apapun Angga mencari tahu, pikirannya seolah menolak realita. "Aku yakin, Rachel tidak memberikan apapun padaku. Dia hanya memasak bubur yang belum sempa
Sudah satu minggu Nova menghindar dari jangkauan Mark. Kabarnya, pria itu kini tengah sibuk mempersiapkan tur keliling Asia untuk film perdananya tahun ini. Semenjak malam pertemuan yang gagal dengan keluarga Mark waktu itu, intensitas komunikasi kedua sontak menurun drastis. Bukan salah Mark, ketika pesannya acap kali diabaikan sementara oleh Nova. Dan Nova sadar akan hal itu. Nova mendapatkan semua informasi tentang sosok pria ceria itu dari laman media sosial. Pekerjaan Mark sebagai aktor papan atas membuat setiap pergerakan aktivitasnya diliput oleh banyak media dan menjadi konsumsi publik. Padahal, jika Nova mau, ia bisa mensapatkan segala informasi tentang Mark dari orangnya langsung. Namun Nova memilih untuk memberi jeda bagi mereka berdua untuk menikmati waktu sendiri-sendiri. Kesibukan Mark cukup menyita waktu dan perhatian pria itu. Hingga tak mendukung niatnya untuk menemui Nova beberapa hari ke belakang. Jika Mark tersiksa dengan keadaan saat ini, berbanding terbalik d
Pertemuan Nova dengan Mark hari ini langsung membuat Nova gelisah. Bagaimana tidak? Nova sudah mensugesti dirinya untuk melupakan sekian banyak masalah di negaranya, kini Mark justru hendak membuka luka itu lagi. Di dalam kamarnya Nova berjalan mondar-mandir dihantui rasa gelisah. Pantas saja semenjak Mark memintanya berjanji untuk tidak menolak idenya, justru mendorong Nova pada jurang yang lebih dalam. Entah apa maksud Mark memutuskan hal itu, Nova tak berani untuk bertanya. Setelah Mark mengutarakan usulnya, Nova tak memberikan reaksi apapun selain diam. Begitu juga dengan Mark, pria itu sama sekali tidak meminta pendapat Nova akan usul gilanya."Aku rindu keluargaku, tapi tidak mungkin jika aku pulang ke Indonesia sekarang," gumam Nova. Kakinya masih setia melangkah mengelilingi kamar berukuran 3x5 meter itu. Dilema diantara keinginan untuk mengobati rindu, dan ketakutan akan terulangnya masa lalu. Kepala Nova rasanya berat, ia merintih ketika perutnya mengencang efek stress y
Baik Mark ataupun Yun Ji sama-sama tercengang saat melihat sosok wanita yang kehadirannya tak disangka-sangka. Kulit wajah Yun Ji yang putih pucat memerah menahan malu. Apalagi saat ini pegangan Mark di rahangnya tak kunjung terlepas. "Nova?" gumam Mark terkejut. Genggamannya mengendur selama beberapa detik lalu terlepas begitu saja secara kasar. Membuat Yun Ji meringis kesakitan.Nova tidak akan membiarkan Mark menyakiti Yun Ji lebih jauh lagi. Langkah kakinya mantap mendekat. Sorot mata Nova tajam menusuk ke arah dua manik indah Mark yang diselimuti ketakutan. Ya, sekujur tubuh Mark seketika kaku. Aura Nova terlalu besar untuk disanggah kehadirannya. Dengan kemarahan yang menyelimuti wanita itu, keangkuhan Mark luntur seketika. "Yun Ji, kamu boleh pulang. Temui aku besok di ruanganku," perintah Nova tanpa mengalihkan perhatiannya dari Mark."Baik, bu." Yun Ji diam-diam menghela napas lega. Doanya terkabul di saat napasnya hanya seujung kuku. Ia tak ingin mencari tahu lebih dala