Selamat membaca!Baru saja Viola ingin menghampiri, Devan tampak sudah pergi bersama Silvi tanpa tahu bahwa gadis itu ingin menemuinya."Ih, Pak Devan tega banget. Kenapa sih dia malah deket sama cewek itu?""Lo kenapa, Vi? Jangan-jangan lo cemburu, ya?" Arya yang sejak tadi juga mengikuti Viola tampak berdiri tepat di samping gadis itu."Iyalah, Ar. Wajar dong gue cemburu, secara gue ini kan is–"Tiba-tiba Arya menutup mulut Viola. Membuat rasa kesal yang tengah dirasakan gadis itu kian memuncak. "Ih lo ngapain sih nutup-nutup mulut gue segala?" Dengan kasar, Viola melepas tangan Arya dari mulutnya. "Biarin aja, biar semua tahu kalau Pak Devan itu su–"Tanpa kode apa pun, Arya langsung menginjak kaki Viola. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan dan semakin menatap Arya dengan penuh amarah."Ih, sakit tahu, Ar! Lo ini apa-apaan sih? Tadi nutup mulut gue, sekarang lo nginjek kaki gue.""Vi, itu lihat!" Arya coba sepelan mungkin memberi tahu sambil memberi isyarat lewat kedua matanya aga
Selamat membaca!Setelah berlari dengan sekuat tenaga sambil menahan rasa sakit di hatinya, Viola pun menghentikan langkahnya dan duduk di sebuah kursi panjang yang berada di taman kampus. "Pak Devan tega banget sih. Aku udah susah payah masak nasi goreng itu, tapi malah dikasih orang lain." Air mata Viola pun akhirnya menetes begitu saja membasahi kedua pipinya. Gadis itu menangis. Meluapkan rasa kesal sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya semakin mengepal erat saat ingatannya kembali menampilkan bayangan di saat Silvi memakan nasi goreng buatannya."Hai, ada masalah, ya?"Suara itu terdengar sangat jelas. Membuat Viola seketika langsung menoleh, melihat sosok pria yang sudah duduk di kursi yang sama dengannya."William ...." Dengan cepat, Viola menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak ingin di saat sedang menangis ada yang melihatnya."Nggak usah malu, ini hapus air mata lo!" Pria berkacamata itu menyodorkan sebuah sapu tangan yang langsung diambil Viola dengan satu tang
Selamat membaca!Di lorong rumah sakit dari kejauhan, Devan langsung dapat melihat sosok Viola tengah duduk di kursi tunggu tepat di ruang operasi. Pria itu memacu langkah kakinya. Menghampiri gadis yang saat ini hanya tertunduk sambil memegang sebuah buku kecil di atas pangkuan. Suara isak tangis Viola pun mulai terdengar di telinga Devan."Vi, gimana kondisi Ayah kamu?" Langkah Devan terhenti tepat di depan Viola. Gadis itu pun mengangkat wajahnya. Kedua mata yang sendu entah kenapa membuat Devan jadi ikut merasa sedih.Tanpa menjawab, Viola langsung menghamburkan pelukannya. Mendekap tubuh pria itu hingga membuat Devan terkejut. Tentu saja ia tidak menyangka jika kedatangannya akan disambut dengan sebuah pelukan."Kondisi Ayah kritis ....""Sabar ya, Vi! Kita berdoa saja semoga operasinya berjalan lancar." Devan yang sudah mendapatkan informasi dari Viola saat di perjalanan pun coba menenangkan gadis itu yang terdengar sangat mencemaskan Bimo."Tapi semua ini salah saya, Pak.""Mak
Selamat membaca!Devan masih terdiam. Berpikir sebelum menjawab permintaan Viola yang menurutnya sangat mengejutkan. Bukankah seharusnya ia merasa senang dengan permintaan itu, tetapi kenapa sekarang ia jadi ragu mengiyakannya?"Kenapa diam, Pak? Ayo ceraikan saya! Talak saya, Pak!" Viola kembali bertanya. Kali ini suaranya terdengar penuh penekanan dari sebelumnya.Devan pun menghela napas. Menjeda waktu sebelum menjawab dengan pandangan mata yang masih terus melihat Viola. "Maaf, tapi saya tidak bisa melakukan itu.""Kenapa, Pak? Bukannya Bapak harusnya senang. Dengan begitu saya tidak akan mengganggu hidup Bapak lagi. Bapak bisa bebas dan kembali menjalani hidup Bapak tanpa saya!" Suara itu terdengar begitu lirih. Menandakan bahwa Viola seperti sedang menahan luka yang teramat dalam. Luka yang tercipta karena sebenarnya ia tidak ingin Devan mengakhiri pernikahan mereka yang baru kemarin terjalin. Namun, ia terpaksa meminta hal itu demi menebus rasa bersalahnya pada sang ayah."Saya
Selamat membaca!Dua minggu sejak kematian Bimo, kehidupan Viola tak lagi sama. Tak ada senyuman atau sikap yang ceria seperti biasanya. Gadis itu lebih banyak menyendiri, melamun, dan hanya menghabiskan waktu di kamar. Bukan hanya saat di rumah, di kampus, Viola juga menunjukkan sikap yang sama sekalipun itu di hadapan Tari–sahabatnya."Vi, gue tahu lo sedih banget kehilangan Ayah lo, tapi ini udah dua minggu lo kaya gini. Udahlah, Vi, ikhlasin dan jangan terus-terusan nyalahin diri lo sendiri! Kematian Ayah lo itu udah takdir, semua itu bukan salah lo!"Viola yang sejak tadi hanya diam pun mulai menoleh, menatap Tari dengan sorot matanya yang tajam. Entah kenapa ia merasa tidak suka dengan perkataan dari sahabatnya itu, walau sebenarnya apa yang Tari katakan tadi bukan pertama kalinya."Jangan sok tahu, lo nggak usah ikut campur, Tar! Lo nggak akan pernah ngerti karena lo belum pernah ngalamin kaya gue! Bahkan sampai sekarang, Ibu gue aja masih nggak mau ketemu gue!" Viola mengangka
Selamat membaca!Saat mata kuliah terakhir pada hari itu telah selesai, Viola tampak keluar dari kelas bersama Tari. Raut wajah gadis itu tak lagi sendu seperti sebelumnya. Namun, masih terlihat jelas kelopak mata yang sedikit membengkak dan juga lingkar hitam yang menandakan bahwa memang gadis itu sejak kematian ayahnya sulit terlelap. Ya, itu yang diakui Viola pada Tari saat di perpustakaan kampus. Saat di mana untuk pertama kalinya, Viola membagi kesedihan, rasa sakit, dan juga penyesalan yang mengusik hatinya pada seseorang."Vi, lo pulang tetap bareng Pak Devan, kan?" tanya Tari yang memang mencemaskan sahabatnya jika sampai pulang sendirian. Hal yang sangat wajar karena Tari masih sering melihat Viola tiba-tiba melamun, bahkan sekalipun itu di tengah pelajaran."Nggak tahu gue, ya ... kalau Pak Devan masih ngajar paling gue pulang sendiri.""Nggak-nggak, pokoknya lo nggak boleh pulang sendiri. Kalau emang Pak Devan masih sibuk, biar gue temenin aja sampai rumah.""Udah nggak usa
Selamat membaca!"Apa jangan-jangan Pak Devan lagi belajar mencintai Viola demi amanah Pak Bimo, ya? Kalau bener begitu, ini akan jadi kabar baik buat Viola." Tari kembali mengintip. Melihat apa yang terjadi di dalam ruangan, di mana raut wajah Silvi sudah terlihat sendu. "Kasihan juga, ya, Bu Silvi. Lagian sih gatel, udah tahu laki orang, masih aja deketin." Sesaat kemudian, Tari meralat ucapan itu karena terdengar salah. "Eh, tunggu-tunggu ... perasaan Bu Silvi nggak salah deh, dia kan baru tahu kalau Pak Devan udah kawin. Eh, salah lagi ... bukan kawin deh, tapi nikah, orang Pak Devan impoten.""Ngapain, Tar? Siapa yang impo–" Tak hanya terdengar oleh Tari, pertanyaan itu bahkan sampai ke telinga Devan yang seketika melangkah keluar ruangan."Ish, lo berisik banget sih, Wil!" Tari menutup mulut pria berkacamata itu hingga membuat William kesakitan."Aduh, Tar, sakit tahu.""Habisnya lo berisik banget.""Ya, nggak kenceng-kenceng juga kali, udah kaya mau nyulik gue aja.""Najis ...
Selamat membaca!Sepanjang perjalanan Viola memilih diam dan tak banyak bicara. Gadis itu hanya menatap ke luar jendela. Melihat situasi lalu lintas yang siang itu tampak lengang. Jika biasanya butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di rumah, kini hanya setengah jam saja, mobil yang dikendarai Devan sudah memasuki gerbang perumahan."Mau sampai kapan kamu nggak anggap saya ada?" Pertanyaan itu sukses membuat Viola menoleh. Menatap ragu wajah Devan yang kini sedang menatapnya intens."Apa saya penting buat Bapak?"Devan pun terdiam. Beralih menatap ke depan saat mobilnya harus berbelok. Sementara Viola, kini kembali berpaling. Menatap lagi ke luar jendela, memilih bungkam saat Devan tak menjawab pertanyaannya."Tadi protes nggak gue anggap ada, giliran gue tanya gitu dia malah diem," batin Viola setelah sempat menghela napas kasar.Begitu mobil tepat berhenti di depan rumah, Viola memilih keluar lebih dulu. Gadis itu pun langsung masuk melewati gerbang rumah yang sudah dibuka ol