“Peraturan?” Gadis itu mengerutkan dahinya. “Mulai sekarang, hari sabtu dan minggu–kita akan tetap buka. Full-time!” Kemala terlihat serius kali ini. “Lalu, bagaimana dengan jatah libur saya?” Gadis yang berdiri di balik meja kasir itu menatap penuh harap pada Kemala. “Kamu akan mengajukan cuti.” Air mukanya datar, lalu ia berkata lagi, “Tapi beritahu saya dua hari sebelumnya agar saya juga dapat menyesuaikan jadwal.” Vita bisa apa kalau peraturan baru telah dibuat oleh bosnya. Apalagi ia hanya seorang karyawan. Memang seharusnya menerima apapun kebijakan dari bosnya. Tanpa banyak protes lagi, Vita mengiyakan semua perkataan Kemala. Alhasil, mereka pun memutuskan pergi ke galeri Janukrama Art. Pamerannya akan dimulai pukul 8 pagi. Terpaksa Vita mematikan kembali komputernya yang sebelumnya sudah ia nyalakan. Dylan sudah berada dalam gendongan Kemala. Bahkan sebuah taksi online pesanan Kemala pun sudah berada di depan toko. Di sepanjang perjalanan, Vita masih bertanya-tanya. Ala
“Kak Kemala tidak mungkin meninggalkanku, bukan?” Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Gadis itu terlihat bingung. Air mukanya tampak cemas. Ia mencoba bertanya pada orang-orang di sekitarnya tapi tidak ada yang bisa memberinya jawaban. Beberapa menit kemudian, seorang wanita yang sambil menggendong bayi laki-lakinya mendekat. Seketika gadis itu pun tersenyum lega. Kemudian memeluk wanita di hadapannya. “Kamu abis nangis?” tebak Kemala, ia melihat ada sisa air di pipi Vita. “Mana ada. Saya hanya teringat Dylan setelah melihat lukisan itu.” Vita menunjuk ke salah satu lukisan di pojok ruangan. Kemala pun terkejut saat melihat ke arah lukisan yang ditunjuk oleh Vita. Langkah kaki membimbingnya hingga sampai tepat di depan lukisan tersebut. Lukisan yang didominasi bentuk kotak dan elips itu memang tampak seperti seorang pria dewasa bersama anak laki-lakinya. Menurut penuturan sang Kurator, lukisan itu yang paling disukai Bhre. Menceritakan seorang ayah yang sangat mencin
Kemala terdiam, kalimat yang dikatakan Bram ada benarnya. Hidup ini tidak akan indah jika hanya mengalami satu situasi di mana kita hanya tertawa. Tanpa rasa sedih, tantangan ataupun rasa sakit yang terkadang menjadikan kita lebih kuat. Hidup ini suram tanpa banyak warna. “Sebaiknya aku pulang, sudah hampir larut.” Kemala beranjak dari tempat duduknya. Tanpa menunggu pemilik rumah, ia berjalan masuk ke dalam. Bermaksud untuk mengambil Dylan. Ternyata ia salah masuk ruangan, karena semua terlihat mirip. Bram yang masih duduk di ruang tamu sengaja membiarkannya. Kemala terkejut ketika memasuki ruangan yang dihiasi beberapa lukisan abstrak dengan sebuah sofa di tengah ruangan. Anehnya ada pintu lain yang lebih sempit di dalam ruangan tersebut. Di kanan kiri pintu terdapat dua buah rak buku dengan ukuran yang sama. Jadi, pintu tersebut tampak seperti ornamen dari kejauhan. Rasa penasaran membimbingnya untuk masuk ke dalam ruangan. Begitu masuk ke dalam ruangan, Kemala sekali lagi di
Jalanan aspal dan trotoar masih basah setelah diguyur hujan semalam. Seperti biasa, mereka memulai aktivitasnya pagi itu. Sosok bertubuh atletis berambut gondrong itu berhasil mengagetkan Vita yang baru membuka pintu. “Pak Bram!” Vita agak terkejut dengan kedatangan Bramantyo. Bram masih tak bergeming. Ia menunggu Kemala mempersilahkannya masuk. Meskipun sebenarnya tempat itu terbuka untuk semua orang. “Kak, ada Pak Bram.” Vita menghampiri Kemala, “Tapi dia menunggu di luar.” Setelah menyampaikannya pada Kemala, gadis itu kembali melakukan pekerjaan yang belum selesai. Bram masih berdiri di luar toko saat Kemala keluar dari dapur. Sepertinya ia terlalu berhati-hati menjaga sikap agar Kemala tidak semakin marah. Hari ini Bram berniat menjelaskan semuanya. Setelah Vita pergi, ia bersiap menemui Bram dengan berat hati. Sebab hatinya masih belum rela dipermainkan oleh Bram. Meskipun semalam ia telah melepas rasa sesaknya, Kemala belum dapat mempercayai pria itu. Senyumnya mengemban
“Jaga mulutmu!” Pekik Kemala. “Jangan melantur! Ingat batasmu!” Kemala pergi dari hadapan pria itu. Namun ia gagal menghindar karena Herdian berhasil menarik lengannya. Sekarang keduanya saling berhimpit. Bahkan tangan kiri Herdian melingkar di pinggang ramping Kemala. Tatapannya yang liar seakan siap melucuti seluruh pakaian Kemala. “Apakah kamu masih merasakan dadamu yang berdegup kencang karena seperti ini?” tuduh Herdian, ia semakin mengeratkan pegangannya hingga Kemala sulit bernapas. “Tolong, jaga sikapmu. Aku tidak ingin ada pelanggan yang melihat kita seperti ini.” Kemala masih merasakan napasnya yang berkejaran. “Baiklah, tapi aku akan tetap di sini sampai malam nanti.” Herdian masuk ke dalam dapur. Padahal Kemala ingin sekali mengusirnya. Ia tidak ingin pria brengsek itu menyentuh putranya. Amarahnya tersulut, tapi terpaksa ia padamkan karena seorang pelanggan datang. Ia harus menghias wajahnya dengan senyuman ramah meskipun dadanya masih mendidih. Melihat isi etalase
Setelah melihat kepergian Herdian di tengah gerimis yang tiba-tiba datang, Kemala membalik badan. Namun tangan seseorang berhasil menahannya. Alhasil membuatnya tersentak kaget, lalu menoleh ke arah sosok tersebut.“Ohh–“ Kemala terperanjat, “Bu Mayang!” Matanya membelalak, degup jantungnya berpacu.“Apa yang kamu sembunyikan, Kemala?” Mayang menatap penuh amarah pada anak angkatnya.“Tttidak ada apa-apa, Bu. Mari silahkan masuk!” Kemala membuka pintu.Setiap ketukan dari langkah kaki Mayang bagaikan hitungan waktu dari sebuah bom yang siap meledak. Namun ia tahu, situasi ini akan datang. Salah satu penyebab ia tidak ingin bertemu dengan Herdian. Entahlah, sekarang otaknya mendadak berhenti berpikir. Ia tidak dapat menebak apa yang akan terjadi setelah ini.Dengan berat hati, Kemala pun duduk di hadapan Mayang. Ia tertunduk, tidak dapat mengatakan apapun. Dala
“Mir, tolong sampaikan pada suamimu bahwa mulai hari ini, dia tidak perlu pergi ke kantor!” Mayang melakukan panggilan suara dengan Mirna. “Tapi ... Mas Herdi sudah berangkat pagi-pagi sekali, Ma.” Mirna menjadi agak khawatir. “Ada apa, Ma? Mengapa Mas Herdi tidak boleh ke kantor?” Mirna mulai menggigit kuku tangannya karena panik. Menyadari suara putrinya yang bergetar, Mayang meralat kalimatnya, “Maksud mama–hari ini saja. Karena ada tim audit yang akan datang ke kantor. Jadi, biar mama saja.” Mayang mengakhiri panggilannya. Setelah mendengar kalimat yang dikatakan ibunya, Mirna merasa curiga. Tidak seperti biasa, sikap Mayang kali ini aneh. Ia berpikir keras, mungkin ada yang tidak ia ketahui. Sementara itu, Mayang bergegas pergi ke kantor begitu mengakhiri pembicaraan melalui telepon dengan Mirna. Sepertinya Mayang tidak dapat menahan lebih lama lagi untuk tidak bertemu dengan Herdian. Ia pun segera pergi ke ruangan menantunya setelah sampai di kantor. Pria yang sedang du
Mirna tidak menyangka jika wanita yang ia panggil ‘Mama’ tega mengatakan hal yang menyakiti hatinya. Tak hanya darahnya yang mendidih, dadanya pun seakan dihujam batu besar yang membuat napasnya terasa sesak. Ia hanya diam meskipun isi kepalanya menyimpan banyak pertanyaan. “Sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya akan memberimu kesempatan untuk mengatakan yang sejujurnya.” Mayang menatap dingin ke arah Herdian. “Tentang apa itu, Ma? Saya tidak mengerti maksud pembicaraan ini.” Herdian tampak percaya diri. “Jeng–apakah anak saya melakukan kesalahan?” Yana menyela pembicaraan mereka. “Seperti yang saya bilang, saya benci kebohongan, pengkhianatan dan perselingkuhan.” Pandangan Mayang tetap lurus ke depan tanpa menghiraukan Mirna yang sedang menatapnya. Baru saja Herdian merasa percaya diri, tapi nyalinya mulai menciut setelah mendengar kalimat yang baru saja dikatakan oleh Mayang. Ia dan Yana saling melihat satu sama lain. Kata ‘perselingkuhan’ yang dilontarkan ibu Mertuanya mem