Kemala terdiam, kalimat yang dikatakan Bram ada benarnya. Hidup ini tidak akan indah jika hanya mengalami satu situasi di mana kita hanya tertawa. Tanpa rasa sedih, tantangan ataupun rasa sakit yang terkadang menjadikan kita lebih kuat. Hidup ini suram tanpa banyak warna. “Sebaiknya aku pulang, sudah hampir larut.” Kemala beranjak dari tempat duduknya. Tanpa menunggu pemilik rumah, ia berjalan masuk ke dalam. Bermaksud untuk mengambil Dylan. Ternyata ia salah masuk ruangan, karena semua terlihat mirip. Bram yang masih duduk di ruang tamu sengaja membiarkannya. Kemala terkejut ketika memasuki ruangan yang dihiasi beberapa lukisan abstrak dengan sebuah sofa di tengah ruangan. Anehnya ada pintu lain yang lebih sempit di dalam ruangan tersebut. Di kanan kiri pintu terdapat dua buah rak buku dengan ukuran yang sama. Jadi, pintu tersebut tampak seperti ornamen dari kejauhan. Rasa penasaran membimbingnya untuk masuk ke dalam ruangan. Begitu masuk ke dalam ruangan, Kemala sekali lagi di
Jalanan aspal dan trotoar masih basah setelah diguyur hujan semalam. Seperti biasa, mereka memulai aktivitasnya pagi itu. Sosok bertubuh atletis berambut gondrong itu berhasil mengagetkan Vita yang baru membuka pintu. “Pak Bram!” Vita agak terkejut dengan kedatangan Bramantyo. Bram masih tak bergeming. Ia menunggu Kemala mempersilahkannya masuk. Meskipun sebenarnya tempat itu terbuka untuk semua orang. “Kak, ada Pak Bram.” Vita menghampiri Kemala, “Tapi dia menunggu di luar.” Setelah menyampaikannya pada Kemala, gadis itu kembali melakukan pekerjaan yang belum selesai. Bram masih berdiri di luar toko saat Kemala keluar dari dapur. Sepertinya ia terlalu berhati-hati menjaga sikap agar Kemala tidak semakin marah. Hari ini Bram berniat menjelaskan semuanya. Setelah Vita pergi, ia bersiap menemui Bram dengan berat hati. Sebab hatinya masih belum rela dipermainkan oleh Bram. Meskipun semalam ia telah melepas rasa sesaknya, Kemala belum dapat mempercayai pria itu. Senyumnya mengemban
“Jaga mulutmu!” Pekik Kemala. “Jangan melantur! Ingat batasmu!” Kemala pergi dari hadapan pria itu. Namun ia gagal menghindar karena Herdian berhasil menarik lengannya. Sekarang keduanya saling berhimpit. Bahkan tangan kiri Herdian melingkar di pinggang ramping Kemala. Tatapannya yang liar seakan siap melucuti seluruh pakaian Kemala. “Apakah kamu masih merasakan dadamu yang berdegup kencang karena seperti ini?” tuduh Herdian, ia semakin mengeratkan pegangannya hingga Kemala sulit bernapas. “Tolong, jaga sikapmu. Aku tidak ingin ada pelanggan yang melihat kita seperti ini.” Kemala masih merasakan napasnya yang berkejaran. “Baiklah, tapi aku akan tetap di sini sampai malam nanti.” Herdian masuk ke dalam dapur. Padahal Kemala ingin sekali mengusirnya. Ia tidak ingin pria brengsek itu menyentuh putranya. Amarahnya tersulut, tapi terpaksa ia padamkan karena seorang pelanggan datang. Ia harus menghias wajahnya dengan senyuman ramah meskipun dadanya masih mendidih. Melihat isi etalase
Setelah melihat kepergian Herdian di tengah gerimis yang tiba-tiba datang, Kemala membalik badan. Namun tangan seseorang berhasil menahannya. Alhasil membuatnya tersentak kaget, lalu menoleh ke arah sosok tersebut.“Ohh–“ Kemala terperanjat, “Bu Mayang!” Matanya membelalak, degup jantungnya berpacu.“Apa yang kamu sembunyikan, Kemala?” Mayang menatap penuh amarah pada anak angkatnya.“Tttidak ada apa-apa, Bu. Mari silahkan masuk!” Kemala membuka pintu.Setiap ketukan dari langkah kaki Mayang bagaikan hitungan waktu dari sebuah bom yang siap meledak. Namun ia tahu, situasi ini akan datang. Salah satu penyebab ia tidak ingin bertemu dengan Herdian. Entahlah, sekarang otaknya mendadak berhenti berpikir. Ia tidak dapat menebak apa yang akan terjadi setelah ini.Dengan berat hati, Kemala pun duduk di hadapan Mayang. Ia tertunduk, tidak dapat mengatakan apapun. Dala
“Mir, tolong sampaikan pada suamimu bahwa mulai hari ini, dia tidak perlu pergi ke kantor!” Mayang melakukan panggilan suara dengan Mirna. “Tapi ... Mas Herdi sudah berangkat pagi-pagi sekali, Ma.” Mirna menjadi agak khawatir. “Ada apa, Ma? Mengapa Mas Herdi tidak boleh ke kantor?” Mirna mulai menggigit kuku tangannya karena panik. Menyadari suara putrinya yang bergetar, Mayang meralat kalimatnya, “Maksud mama–hari ini saja. Karena ada tim audit yang akan datang ke kantor. Jadi, biar mama saja.” Mayang mengakhiri panggilannya. Setelah mendengar kalimat yang dikatakan ibunya, Mirna merasa curiga. Tidak seperti biasa, sikap Mayang kali ini aneh. Ia berpikir keras, mungkin ada yang tidak ia ketahui. Sementara itu, Mayang bergegas pergi ke kantor begitu mengakhiri pembicaraan melalui telepon dengan Mirna. Sepertinya Mayang tidak dapat menahan lebih lama lagi untuk tidak bertemu dengan Herdian. Ia pun segera pergi ke ruangan menantunya setelah sampai di kantor. Pria yang sedang du
Mirna tidak menyangka jika wanita yang ia panggil ‘Mama’ tega mengatakan hal yang menyakiti hatinya. Tak hanya darahnya yang mendidih, dadanya pun seakan dihujam batu besar yang membuat napasnya terasa sesak. Ia hanya diam meskipun isi kepalanya menyimpan banyak pertanyaan. “Sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya akan memberimu kesempatan untuk mengatakan yang sejujurnya.” Mayang menatap dingin ke arah Herdian. “Tentang apa itu, Ma? Saya tidak mengerti maksud pembicaraan ini.” Herdian tampak percaya diri. “Jeng–apakah anak saya melakukan kesalahan?” Yana menyela pembicaraan mereka. “Seperti yang saya bilang, saya benci kebohongan, pengkhianatan dan perselingkuhan.” Pandangan Mayang tetap lurus ke depan tanpa menghiraukan Mirna yang sedang menatapnya. Baru saja Herdian merasa percaya diri, tapi nyalinya mulai menciut setelah mendengar kalimat yang baru saja dikatakan oleh Mayang. Ia dan Yana saling melihat satu sama lain. Kata ‘perselingkuhan’ yang dilontarkan ibu Mertuanya mem
Meskipun ada rasa perih yang mencabik-cabik, Mayang tetap mengeraskan hatinya. Wajah putri semata wayangnya sempat membuat pendiriannya goyah. Namun ia memilih untuk tidak melunak sedikit pun. Sebab ia yakin, darah lebih kental dari pada air. Mungkin sekarang Mirna belum bisa melihat siapa yang tulus menyayanginya. Namun suatu saat, ia akan sadar bahwa semua yang Mayang lakukan untuk kebaikannya. “Mirna, mama akan bertanya sekali lagi padamu.” Mayang menatapnya, “Siapa yang berhak atas kepercayaanmu, mama atau suamimu?” tanya Mayang, ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Air muka wanita muda di hadapannya masih tampak kesal. Ia belum juga memahami situasi yang tengah terjadi. Dalam benaknya, kebenaran tetap milik suaminya. Meskipun Mayang telah berusaha membuka matanya dengan fakta. Mirna tetap memilih Herdian dari pada ibu yang telah melahirkannya. “Selama ini Mas Herdi selalu ada untuk Mirna. Mengapa butuh alasan lagi untuk tidak percaya?” Mirna menghindari kontak mata deng
Saat itu, pria yang baru saja kembali dari mengantar Mirna itu tampak nyaris tak sadarkan diri. Melihatnya limbung, wanita paruh baya yang baru saja melakukan pekerjaannya pun menuruti permintaan pria tersebut. Setelah menyajikan minuman hangat di atas meja, ia pun melanjutkan pekerjaannya. Tanpa rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada pria yang bekerja sebagai sopir di rumah Mayang. “Bi, dia kenapa?” Mayang yang sudah bersiap pergi mendapati sopirnya tergeletak di atas karpet. “Saya juga tidak tahu, Bu. Dia baru saja datang sekitar 2 jam yang lalu. Dia tampak sangat kelelahan.” Bibi menyajikan susu hangat untuk Mayang. Mendengar cerita Bibi tentang sopirnya, Mayang tidak merasa heran. Justru ia sudah mengira akan seperti itu. Sebab Mirna tidak punya tujuan. Rumah pemberiannya yang pernah ditempati Yana pun telah ia amankan. Ia pikir Herdian dan Yana harus mendapatkan bayarannya. Meskipun ia juga terpaksa melihat Mirna kesulitan bersama mereka. Mungkin Mirna juga perlu belaj