Buku catatan yang terbuka di atas meja kamar Mentari dipenuhi daftar panjang usaha yang bisa dikerjakan dari rumah. Semalam saat Feliz telah terlelap, Mentari mencari referensi dari internet, usaha modal kecil berpenghasilan besar.Setelah sarapan, Mentari membawa buku itu keluar dan membacakannya pada ibu dan Cahya, meminta pendapat mereka. Ibu dan Cahya menanggapi setiap jenis usaha yang diucapkan Mentari."Tari, carilah usaha yang sanggup kamu kerjakan, jangan memaksakan diri untuk menekuni usaha yang ditekuni orang lain," saran ibu."Jangan termakan apa yang kamu baca dari internet. Pikirkan matang-matang dahulu," imbuh Cahya."Dari semua yang aku sebutkan, tidak ada yang sanggup aku kerjakan?" tanya Mentari tidak mengerti. Baginya dia mampu memulai semua bisnis itu, makanya dia mencatatnya dan meminta saran keluarganya mana yang lebih tepat dia tekuni."Semua yang kamu sebutkan adalah usaha menengah dengan modal cukup besar. Modal darimana?"Mentari tertunduk lesu. Menurutnya, bi
Usaha Mentari merugi. Hampir sepuluh baju tidak dibayar lunas. Sekarang dia tidak memiliki modal lagi untuk menambah stok baju di rumah. DI pajangan hanya tergantung dua baju saja."Bu, aku lelah," keluhnya memandangi gantungan baju yang hampir kosong."Jangan menyerah. Jadikan pengalamanmu sebagai pembelajaran. Teruslah berjualan. Hanya saja, kali ini jangan memberikan cicilan. Semua harus dibayar lunas di depan," saran ibu menyemangati Mentari."Ada uang ada barang," celetuk Cahya dari dalam kamarnya. Dia sedang mengejar Feliz yang tiada henti keluar masuk seluruh ruangan di dalam rumah sambil sesekali menyambar barang yang dianggapnya menarik."Feliz, jangan ambil itu!" teriak Cahya dari dalam kamar.Terdengar suara tawa Feliz, diikuti kemunculannya dari dalam kamar."Berikan!" Cahya mengejarnya dan merampas lipstick yang digenggam Feliz. Feliz pernah menggunakan lipstick Cahya untuk menghiasi dinding kamar Mentari dengan lukisan abstrak.Tangisan Feliz pecah. Ibu segera menggendon
"Kak, aku ga mengerti dengan Argan. Dia telah membohongiku selama ini." Mentari mencurahkan isi hatinya pada kakaknya saat sedang membereskan rumah besok harinya.Dengan seksama, Cahya mendengarkan. Dia menunggu Mentari mencurahkan semua yang ingin diungkapkannya sebelum dia menanggapi."Katanya dia tidak merokok. Tapi, semalam dia mengatakan bahwa dia merokok sejak SMA. Tega sekali dia membohongiku, Kak. Apalagi, tidak ada rasa bersalah di wajahnya saat mengucapkannya. Aku benar-benar marah, Kak."Setelah jeda cukup lama, Cahya mengartikan bahwa Mentari telah selesai bercerita."Lalu, kamu mau apa sekarang? Sudah terbukti dia merokok, kamu telah melihatnya dengan matamu sendiri, Argan pun telah mengakuinya."Sejenak Mentari memikirkannya, "Tidak tahu, Kak.""Satu-satunya yang bisa kamu lakukan adalah menerima kenyataannya, bahwa dia merokok," ucap Cahya lembut. Cahya membereskan mainan Winar yang bertebaran di atas sofa dan lantai. Dimasukkannya ke dalam kantong besar tempat mainan W
Setelah teguran Mentari atas merokoknya Argan tempo hari, Argan lebih jarang berada di rumah. Dia lebih banyak tinggal di rumah orang tuanya. Mentari tidak masalah dengan itu, malah dia menikmatinya. Tidak perlu mendengar protes-protesnya.Mentari membuka portal lowongan kerja dan memeriksa hasil lamarannya. Tidak diterima. Dia pun menggulir Facebook, membaca setiap postingan teman-teman Facebook yang ada di berandanya. Sebagian besar memuat tentang kisah perjalanan hidup mereka yang menyenangkan atau mengesankan.Jarinya terus menggulir ke bawah. Dia berhenti pada sebuah iklan yang menampilkan penerimaan karyawan baru. Sebuah minimarket yang terkenal di seluruh negeri sedang membuka lowongan pekerjaan besar-besaran di hampir semua cabang di Indonesia.Iseng Mentari membaca persyaratannya. Dia memenuhi semua kriteria itu. Dia mencatat alamat email yang tertera pada memo ponselnya."Apa salah mencoba, kudengar gaji yang diberikan juga lumayan." Dia pun mengirimkan lamarannya.Beberapa
Suara teriakan Mentari mengagetkan Feliz di gendongan ibu. Cahya memandangi ibu yang balas menatapnya. Kemudian mereka menuju sumber teriakan."Tari, ada apa?" Wajah cemas ibu tampak dari balik tirai. Cahya berdiri di belakang ibu.Ibu yang mengira sesuatu yang buruk terjadi pada Mentari, terpana melihat anaknya itu berdiri tersenyum di tengah kamarnya."Kenapa kamu teriak?" tanya Cahya memegangi tirai."Bu, Kak, aku diterima." Mentari melonjak riang mendekati keluarganya. Dia mencium pipi Feliz dengan gemas bercampur antusias."Diterima apa?""Aku diterima bekerja di Sunmart," jerit Mentari gembira. Feliz yang sedari tadi memperhatikan ibunya, ikut menjerit girang.Kabar itu menimbulkan senyum di wajah ibu dan Cahya. Mereka menyelamati Mentari."Kapan mulai bekerja?" tanya Cahya yang duduk di sofa. Kini mereka berada di ruang tamu."Belum tahu. Besok aku harus wawancara ke toko.""Katamu diterima kerja, kenapa baru mau wawancara besok?" Cahya bingung."Tadi staf HRD meneleponku dan b
Bekerja di Sunmart membuat Mentari cepat lelah. Setiap kali pulang bekerja, tanpa diinginkannya dia akan tertidur pulas."Tari, Tari!" Ibu mengguncang tubuh Mentari yang berbaring telentang.Mata Mentari terbuka perlahan, "Oahem, sudah pagi, Bu?""Ini masih sore, Tari. Feliz minta ASI. Ayo, bangun dan minum air putih."Mata Mentari berat, begitu juga anggota tubuhnya yang lain. Tak terasa sudah seminggu dia bekerja di Sunmart, namun tak diduga pekerjaan itu sangat menguras tenaganya.Hanya ada tiga karyawan di cabang tempatnya bekerja, termasuk kepala toko. Jika salah satu karyawan libur, kepala toko yang menggantikan tugas bawahannya. Karena itulah kelelahan Mentari menumpuk. Dia dituntut untuk segera menguasai semuanya dengan cepat agar operasional toko berjalan lancar.Seminggu pertama ini, dia diberikan shift pagi bersama kepala toko agar bisa belajar. Pagi hingga siang hari, tidak banyak pelanggan yang berkunjung ke Sunmart, jadi Mentari memiliki waktu untuk menguasai tugasnya ta
Yang ditakutkan Mentari menjadi kenyataan.Jam sembilan kurang lima menit, tapi Mentari masih belum menyelesaikan pekerjaannya. Dia panik menghitung uang yang telah dikeluarkan dari mesin kasir. Jumlah uangnya berbeda dengan jumlah penjualan dari mesin kasir. Sudah tiga kali dia menghitungnya, tapi tidak bisa menemukan letak kesalahannya.Jam sembilan lewat lima menit, dia menutup toko, namun kembali menghitung total uang tunai dan jumlah dari mesin EDC, lalu membandingkannya dengan total hasil mesin kasir. Tetap berbeda. Uang tunai kurang lima puluh dua ribu rupiah.Pikiran Mentari mengembara pada setiap transaksi yang terjadi sepanjang hari. Dia mencari kira-kira dengan pelanggan yang mana dia salah menghitung atau mengembalikan uang. Dia tidak menemukannya."Sudah tiba," suara tukang ojek mengingatkan.Tanpa disadarinya, motor yang ditumpanginya telah berhenti tepat di depan rumahnya."Oh, iya, Pak. Terima kasih." Mentari memberikan sejumlah uang untuk membayar ojek, lalu masuk ke
Mentari sudah bisa mengikuti ritme kerjanya sekarang. Meskipun ada saja kesalahan kecil yang dilakukannya, namun Teguh terus memberinya tips untuk menghadapi kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya. Dalam sebulan, Mentari telah menguasai pekerjaannya. Kini dia tidak merasa kikuk dan takut jika ditinggalkan sendirian.Gaji pertama Mentari telah masuk ke rekening banknya. Sepulang kerja, dia mampir ke ATM dan menarik sejumlah uang."Bu, ini sedikit uang untuk tambahan belanja." Mentari menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribu pada ibu yang berada di kamarnya.Ibu menolaknya, "Kamu tidak perlu memberikan uang pada Ibu. Belikan saja kebutuhanmu dan Feliz. Memangnya berapa miliar gajimu?"Ucapan ibu menyebabkan tawa."Ibu masih memiliki uang, gaji kamu buat kamu saja, ya?"Mentari memang memerlukan uang itu. Dia telah menghitung keperluannya dan Feliz untuk sebulan ke depan hingga saat gajian berikutnya, namun gaji pertamanya tidak cukup. Untung saja dia mulai bekerja di awal bu