"I-tu—" Tenggorokan Hana tercekat, tidak tau harus mengatakan apa sebagai alasan. Berbohong mungkin adalah hal yang paling sial, yang paling tidak bisa Hana lakukan. Meremas jari-jemari tangannya, gugup Hana menoleh kearah Pasha yang duduk tepat di seberangnya. Hana melihat wajah tampan tanpa ekspresi itu, yang hanya menjadi pemerhati dalam diam."Itu apa?" Hana dikejutkan dengan suara lantang Keira di telinga kanannya, terus fokusnya kembali berpusat pada kakak keduanya itu."Yah itu—" Dalam kebingungan harus memikirkan apa sebagai jawaban, kekacauan itu refleks membuat Hana dengan lugunya berseru, "Love at first sight"Seruan Hana yang terkesan bersemangat dan menggebu itu berhasil mencuri semua pusat perhatian orang di ruang tamu. Mereka semua berkerut jidat memandang Hana, kecuali Pasha yang menyeringai dengan bibir berkedut samar."Hah?" Sepasang mata Keira berkedip dua kali menatap Hana. Seakan ia baru saja mendengar lelucon kering, yang mana itu tidak lucu sama sekali, "Han, ka
Untuk pertama kalinya Hana merasa sinar mentari pagi yang membelai lembut wajahnya, itu menjadi pertanda dari awal hari yang berat. Hana perlahan bangun dari atas sajadah yang sudah basah karena derai air matanya sepanjang shubuh.Hana menanggalkan mukena dan mendengar suara pintu kamarnya di buka."Han, sekarang kamu siap-siap dan ikut kakak"Hana terkejut melihat Keira masuk dengan langkah terburu-buru ke dalam kamarnya."Kemana kak?" Hana bertanya dengan suara serak, khas baru bangun tidur."Udah jangan tanya apa-apa dulu, yang penting sekarang kamu siap-siap ya"Semua adegan itu berlalu begitu cepat. Entah bagaimana Hana sudah rapi dalam balutan gamis marun dengan kerudung bewarna senada yang jatuh terurai menutup dada. Kini Hana berdiri tepat di sebuah lapangan luas dimana di depannya terdapat jet pribadi yang sudah siap untuk lepas landas."Ayo cepat masuk" Keira mendorong Hana untuk bergegas dan menyerahkan dua koper besar pada dua orang pria yang berseragam hitam."Kak Kei ini
"Hana" Keira berkali-kali menepuk pipi Hana, mencoba membangunkan Hana yang tertidur di atas sajadah. "Hana" Mendapati Hana yang tidak kunjung bangun, Keira pun mengguncangkan tubuh kecil itu. Tapi Hana masih saja tidak terjaga dari tidurnya. "Hanaa" Keira terus merasa cemas. Tidak biasanya Hana sulit dibangunkan. Mendapati kedua mata Hana yang terpejam itu meneteskan setitik air mata, sepasang mata Keira seketika membulat kaget, "Han, kamu kenapa?" "Hana.." "Hana.." "Hanaa" Panggilan keras Keira akhirnya menyentak Hana dari mimpi buruk. Sepasang mata Hana terbuntang lebar, itu basah beruraian air mata. Dadanya naik turun seiring nafasnya yang mengalir tak stabil. Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mendapati itu sebuah kamar yang luas dengan sentuhan dekorasi dewasa. Dinding bewarna hijau alpukat lembut yang beradu indah dengan perabotan hitam putih. 'Ini adalah kamar ku' Wajah cantik Hana pucat, masih shock dan takut. "Astaghfirullah.." Hana meraup wajahnya dan
Miftah baru saja selesai membuat jus alpukat dan menghidangkan nya dalam tiga gelas panjang. Khusus untuk Hana, Miftah hanya menuangkan satu sendok gula sedang miliknya dan Chaca tak lupa dengan beberapa tetesan susu kental coklat manis. Menata ketiga gelas itu di atas nampan, Miftah bersiap pergi meninggalkan dapur menuju ke lantai dua. Hanya ia bertemu dengan seorang pria berjas hitam rapi di pertengahan jalan, "Maaf, anda ini siapa ya?" Pasha menoleh pada asal suara. Melihat seorang gadis berhijab dalam balutan gamis navy. Tampaknya seumuran dengan Hana, membuat Pasha menerka, "Kamu temannya Hana?" "Ya" Miftah menganggukkan kepalanya, "Dan anda siapa ya?" "Calon suaminya" "Apa?" Di kamar, Hana sudah sibuk mencari kerudung, rok dan cardigan rajut di wardrobe. Bagaimanapun Hana tak nyaman jika Pasha melihatnya dalam balutan piyama yang membungkus tubuh kecilnya. Terlebih itu satin yang lembut dan tipis. "Han, kamu kenapa? Kok tiba-tiba.." Keira menatap Hana dengan raut wajah
Hana muntah-muntah di wastafel kamar mandi yang ada dalam kamarnya, di temani kedua sahabatnya yang terus menepuk pelan punggungnya. Semangkuk bubur bayam yang Hana paksa masuk ke perut, kini terbuang sudah. Hana memutar kran dan membilas mulutnya dengan air."Kamu sih Han, kenapa harus nurut banget si sama omongan tu bapak. Belum juga jadi istrinya, toh masih tunangan" Bebel Chaca, yang tak habis-habisnya meluahkan kekesalannya terkait kejadian tadi.Hana menutup kran air, mengambil tisu dan mengelap kering bibirnya yang basah, "Aku males liat kalian berdua cekcok"Karena itulah Hana segera menghabiskan semangkuk bubur bayam itu, berjuang keras untuk tidak muntah sampai akhir, agar Pasha segera pergi dan tak perlu melanjutkan peperangan dengan Chaca.Hana menoleh pada Chaca, mendesah panjang, "Yang satunya perang tombak yang satunya lagi perang dingin..." Hana menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat perseteruan antara Pasha dan Maya."Perang tombak? Maksudnya itu aku?" Chaca menunju
Tepat setelah shalat magrib, Hana tergeletak lemas di atas sajadah. Padahal tadi sore Hana sudah merasa cukup membaik, tapi tidak tau kenapa di malam harinya tiba-tiba ia merasa begitu lemah tak berdaya. Bahkan untuk bangun menanggalkan mukena saja, rasanya Hana sama sekali tak bertenaga melakukannya. Mendengar ponselnya bergetar, sekuat tenaga Hana bangkit dan berjalan mengambil ponselnya yang ada di atas meja."Assalamu'alaikum kak Kei" Hana berjalan lemah, pergi duduk di tepi ranjang."Hann, maaf banget. Kakak mungkin malam ini pulangnya agak telat, ada masalah yang harus kakak urus di toko roti""Iya kak, gak papa""Demam kamu gimana, udah turun?""Alhamdulillah kak, udah agak mendingan" Hanya saja Hana sungguh lemah dan merasa ingin terus merebahkan diri di atas ranjang."Pokoknya kalau ada apa-apa kamu kabarin kakak ya""Iya kak""Itu kakak udah delivery makanan buat kamu makan malam, mungkin sebentar lagi datang. Jangan lupa di makan ya..""Iya kak""Kakak tutup dulu ya, assala
Sepanjang mata kuliah berlangsung, Hana habiskan dengan termenung dan melamun. Kata-kata Pasha semalam itu bergentayangan bagai hantu di kepalanya. Alhasil ketika kelas sudah berakhir, Miftah dan Chaca datang mengagetkan Hana."Hana" "..." Hana bergeming, menatap lurus kearah orang-orang yang satu-persatu mulai pergi meninggalkan pintu ruangan."Han!" Miftah pergi menepuk pelan pundak Hana."..." Hana masih mematung, seakan tak sadar kelas sudah berakhir."Hanaa!" Panggilan keras Chaca akhirnya menyentak Hana dari lamunan."Y-ya?""Kamu kenapa sih Han? Engga kaya biasanya. Masih sakit ya?" Chaca meletakkan punggung tangannya di dahi Hana, "Suhu badan kamu stabil Alhamdulillah" Chaca menarik punggung tangannya dari dahi Hana, "Tapi kenapa kamu diem gitu? Lagi mikirin sesuatu?"Hana mengangguk lemah, "Em""Pasti tentang pak Pasha ya?" Tebak Miftah."Em" Hana mengangguk membenarkan."Tuh kan, masih tunangan aja kamu udah gini Han, udah gak bisa fokus sama pembelajaran. Apa lagi kalau ka
"Silahkan nona Hana, yang mana dulu mau di coba" Staf wanita itu menunjukkan deretan gaun pengantin dengan berbagai jenis desain dan warna. Hana menatap kagum pada setiap sentuhan gaya dan elegan nya gaun-gaun itu.Setiap gaun itu di rancang khusus untuk pengantin wanita yang berhijab. Memiliki lapisan dalam dengan kerah leher menutup tinggi keatas, cukup konservatif namun tak mengurangi nilai keanggunannya.Ketika jemari tangannya menyentuh salah satu gaun, tatapan matanya yang tersenyum sesaat berganti menjadi sendu. Mengingat dirinya seorang mahasiswa, sungguh tidak pernah terpikirkan oleh Hana gaun pengantin akan mendahului baju toga yang didambakannya sejak lama."Apa mau dicoba yang ini saja dulu?"Hana tersadar dari lamunan, "Boleh""Mari disini.." Staf wanita itu menunjuk tempat ruang ganti.Selesai berganti, Hana berjalan keluar menunjukkan penampilannya pada ketiga sahabatnya, "Gimana?""MasyaAllah Hann, kamu cantik banget!" Seru Miftah dan Chaca serempak. Mata keduanya berb