Damar mengabaikan panggilan itu, ia malas untuk berbicara dengan Jihan. Sejak Damar pergi ke rumah Viona, sampai sekarang belum menghubungi Jihan. Pikirannya dipenuhi dengan wajah Viona dan Arka."Kenapa tidak kamu terima panggilan dari Jihan?" tanya Irfan dengan heran."Malas berdebat dengannya.""Kok bisa?""Tentu saja bisa, karena setiap berbicara dengannya selalu diakhiri dengan perdebatan. Apapun yang aku katakan selalu salah, tidak ada kata sepakat."Irfan hanya menggelengkan kepalanya."Dia itu calon istrimu. Mau tidak mau kamu harus menerima semua yang ada pada dirinya.""Iya, aku tahu. Tapi semakin kesini, Jihan itu semakin membuatku tidak respek lagi. Tingkahnya menjadi semakin kekanak-kanakan, gampang merajuk, posesif.""Apalagi sejak kamu bertemu dengan Viona dan Arka. Aku yakin kalau kamu selalu memikirkan mereka," sahut Irfan."Benar apa yang kamu katakan. Bahkan Mama pernah berkata pada Viona, kalau ia masih berharap aku dan Viona bisa rujuk.""Terus jawaban Viona bagai
"Ada apa, Om?" tanya Viona penasaran dengan ucapan Rusman."Tadi siang, Edi menemuiku. Ia bercerita tentang Satria.""Kenapa dengan Satria? Bukankah kemarin sudah jelas kalau Viona menolak lamarannya?" Pak Baskoro tampak heran."Iya, memang benar. Yang dibicarakan Edi itu adalah dampak dari penolakan Viona. Ia merasa direndahkan dan dipermalukan karena penolakan itu." Rusman menjelaskan."Waktu dia datang pertama kali dengan istrinya itu, aku sudah bilang kalau aku tidak menerima lamarannya. Tapi memang waktu itu kelihatan sekali kalau ia tidak terima dengan penolakan ku. Akhirnya dia bilang kalau aku disuruh memikirkan jawabannya lagi. Eh ko malah ia nekat datang lagi." Viona kesal dengan kelakuan Satria."Mungkin karena selama ini tidak ada perempuan yang berani menolaknya. Jadi ia merasa kalau kamu juga nggak akan menolak. Ia terlalu percaya diri," sahut Yunita."Betul itu! Menurut Edi, sepertinya Satria akan menggunakan cara-cara yang kotor," lanjut Rusman."Maksudnya?" Bu Paramit
"Maaf, Bu. Saya belum bisa menyanggupi keinginan Ibu." Damar berkata dengan pelan."Kalau belum sanggup menikahi Jihan, kenapa kemarin kamu melamarnya? Kamu serius nggak sih dengan Jihan?" Mega tampak berang."Saya serius dengan Jihan, kemarin saya melamar Jihan itu kan karena Ibu yang meminta acara lamaran dipercepat?" kilah Damar."Begini saja, silahkan kamu pilih. Menikah bulan depan atau tidak sama sekali!" Mega memberi pilihan pada Damar."Ibu!" Jihan dan Dedi berteriak dengan berbarengan."Ibu, jangan seperti itu! Yang namanya menikah itu kan banyak persiapannya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau bulan depan, tentu saja Damar nggak sanggup. Apalagi sekarang sudah tanggal lima belas, sudah pertengahan bulan. Kalau berbicara itu jangan asal bunyi, Bu." Dedi juga kesal dengan kelakuan istrinya, tapi ia tetap berusaha menenangkan Mega."Kalau Ibu mau kami menikah bulan depan, menikah di KUA saja. Nggak usah ada pesta sama sekali," kata Damar."Menikah di KUA? Apa kata
"Viona?" Laki-laki itu berkata untuk memastikan kalau yang ada di depannya itu adalah Viona."Iya, Mas. Aku Viona." Viona tersenyum pada laki-laki bernama Gibran itu. Gibran adalah suami dari Adel, kakaknya Damar. "Apa kabar Viona? Kamu kesini ngapain? Sama siapa? Mana Arka?" Gibran mencecar Viona dengan beberapa pertanyaan."Alhamdulillah, kabar baik. Arka di hotel sama Bapak dan Ibu.""Ehem!" Laki-laki di sebelah Gibran berdehem karena merasa dicuekin."Eh, maaf. Ini temanku Tedi." Gibran memperkenalkan diri.Viona dan Hana segera bersalaman tangan dengan Tedi."Oh, ini Bu Hana yang janji bertemu dengan saya, kan? Mau melihat-lihat apartemen," tanya Tedi."Iya, Pak. Saya Hana.""Untuk siapa apartemennya?" "Untuk teman saya, Mbak Viona." Gibran yang mendengarkan perbincangan Hana dan Tedi, mengernyitkan dahi. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Tapi ia tidak berani untuk bertanya lebih lanjut."Ayo kalau mau melihat. Ada di lantai lima," ajak Tedi. Viona dan Hana mengikuti Ted
"Kok malah melamun?" celetuk Adel.Viona kaget mendengar ucapan Adel, ia pun tersadar dari lamunannya."Aku iri melihat kehangatan Mbak Adel dan Mas Gibran." Viona menjawab dengan pelan."Yakinlah, suatu saat kamu akan menemukan teman hidup yang baik untukmu," sahut Adel."Aku belum kepikiran kesitu, Mbak. Fokusku sekarang adalah Arka.""Viona, kamu masih muda. Kamu berhak untuk hidup bahagia. Carilah kebahagiaanmu sendiri. Walaupun kamu tidak bersama Damar, kamu tetaplah adikku.""Terima kasih, Mbak." Viona sangat terharu dengan perlakuan Adel padanya."Apa yang membuatmu memutuskan pindah kesini?" Adel masih penasaran."Karena seorang laki-laki," sahut Viona."Oh, ada laki-laki yang mau melamarmu. Terus karena kamu nggak suka, akhirnya kamu pergi? Begitu?" Adel berkata seolah-olah ia tahu apa yang terjadi.Viona mengangguk."Kayak Mama tahu saja, sih." Gibran mengomentari pendapat istrinya."Kurang lebih seperti itu, Pa. Buktinya Viona mengiyakan. O ya, Viona, kenapa kamu tidak meny
"Damar, kamu kan sudah melamar Jihan! Jangan sembarangan memutuskan hubungan. Bisa malu keluarga kita," kata Adel."Tapi Mbak, kalau diteruskan nanti malah akan selalu terjadi pertengkaran.""Kenapa kamu melamarnya?" Adel mulai emosi."Itu karena ibunya Jihan yang mendesak," kilah Damar."Aku jadi pusing mikirin masalahmu.""Nggak usah dipikirin, Mbak. Aku saja santai kok, hehe." Damar malah tertawa meledek Adel."Sudah ah, aku mau ganti baju." Adel pun masuk ke dalam kamar."Mas, apa aku salah kalau aku memutuskan hubungan?" tanya Damar."Enggak salah, sih. Semua ini demi masa depanmu sendiri. Kamu pernah menikah, kamu nggak mau gagal lagi, kan?" tanya Gibran."Aku ingin pernikahanku ini yang terakhir kalinya.""Pikirkan lagi semuanya. Jangan mengambil keputusan ketika marah. Nanti akan menyesalinya.""Ayo Pa, cepat ganti baju," kata Adel yang sudah keluar dari kamarnya."Ya sudah, aku pergi duluan ya?" pamit Damar, kemudian ia beranjak dari duduknya dan melangkah pergi."Kok bisa-b
"Assalamualaikum." Jihan mengucapkan salam dengan sopan. Semua yang ada di meja itu menoleh ke arah Jihan, mereka kaget melihat sosok yang mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Pak Yuda menjawab salam Jihan."Wah, rupanya sedang berkumpul disini ya? Kalau boleh tahu, ada acara apa?" tanya Jihan. Ia tersenyum melihat ke sekeliling. Adel dan Danish membalas senyuman Jihan, sedangkan Mama Laras dan Damar tak menghiraukan sapaan dan senyuman Jihan. Jihan tampak kecewa melihat Damar mengabaikan dirinya."Enggak ada acara apa-apa, cuma makan bersama saja," kata Damar dengan nada suara yang ketus."Kamu sama siapa disini?" tanya Adel, ia berusaha untuk ramah supaya Jihan tidak tersinggung. "Sama teman, Mbak. Tapi dia sudah pulang.""Oh, gitu." Adel tampak manggut-manggut."Ayo ikut bergabung." Pak Yuda berkata pada Jihan. Jihan menatap wajah Damar, ekspresi Damar hanya datar saja. Adel menjadi kasihan melihat Jihan diabaikan oleh Damar."Duduklah, bergabung bersama kami." Adel menawari Jihan
"Kamu nggak akan bisa melepaskan aku begitu saja, Mas. Aku terlalu berharga untuk kamu lepaskan," kata Jihan dalam hati dengan penuh kemenangan."Ada banyak hal yang harus kita bicarakan." Alan berkata dengan tegas."Oh, tentang rencana pernikahan kita ya?" sahut Jihan dengan tersenyum. Jihan tidak jadi keluar dari mobil. Ia pun menghadapkan wajahnya ke arah Damar. Mereka berdua saling berpandangan. Damar menghela nafas panjang."Aku ingin berbicara tentang kita. Hubungan kita, apakah akan berlanjut atau berhenti sampai disini.""Maksud Mas, kita putus? Tapi kita kan sudah bertunangan, apa kata orang kalau sampai tidak jadi menikah." Jihan sangat syok dengan ucapan Damar."Orang menikah saja bisa cerai, apalagi baru bertunangan.""Oh, jadi Mas mau rujuk dengan ibunya Arka ya? Berarti tadi ngumpul di restoran untuk membahas rujuknya kalian? Pantas saja kalau Mama tidak menyukai kehadiranku." Jihan langsung nyerocos."Sudahlah, nggak ada gunanya berbicara denganmu. Kamu tidak mau menden