"Yah, gimana kalau kita buntuti saja si pelakor itu?" ucap Iva meminta persetujuan dari suaminya."Jangan bun.""Lagi pula dia sudah jauh bun, kita tak mungkin bisa mengejarnya. Sudah kita pulang saja."Mereka memutuskan untuk pulang ke kontrakan.Sesampai di kontrakan, Iva segera mengirim pesan kepada Shafira, {Assalamualaikum mbak Shafira. Apa mbak sudah tidur?}{Waalaikum salam, aku sedang nonton tv Va, ada apa?} {Aku mau memberitahukan satu hal kepadamu mbak, aku baru saja ketemu langsung dengan Thika mbak. Dia memakai sepeda Beat milikmu dan membonceng ibu beserta tiga anak. Sepeda milikmu dibuat boncengan seperti itu mbak, gimana sih mas Satria itu?}Membaca pesan Iva, entah mengapa hati Shafira kembali sakit. Gara gara masalah sepeda, Shafira harus berurusan dengan Aini, anak mereka terlantar dan Satria marah marah terus kepadanya sedangkan Thika? Dua hidup nyaman, tertawa bahagia diatas penderitaan keluarga Shafira.Kenapa kehidupan dunia ini terasa tak adil? Dosa apa yang di
Shafira bangun pagi sesuai kebiasaan yang dilakukan seorang istri. Menunaikan sholat subuh, mencuci baju, piring, memasak dan membersihkan rumah. Setelah semua beres, Shafira mandi dan bersolek. Dia mengingat kata kata Iva dan menyadari satu hal, mungkin selama ini Shafira memang kurang memperhatikan penampilannya.Wajah tak memakai make up, rambut selalu dikuncir bawah, tak pakai lotion, pakaian cuma berdaster bahkan parfum habis tak beli lagi. Berbeda dengan Shafira yang dulu, sebelum menikah dengan Satria. Dia selalu mengedepankan penampilan namun setelah menikah dan mengurus anak, Shafira tak memprioritaskan penampilan. Baginya sudah menjadi istri ya cukup berpenampilan seperlunya saja. Namun hal itu berbeda dengan penilaian Satria. Yang diinginkan, tentu istrinya itu berdandan sehingga jika saudara atau kliennya bertamu tak membuatnya malu. Sebetulnya hanya ada kesalahpahaman disini namun Satria tak mau mengatakan unek uneknya kepada istrinya sehingga disaat melihat Thika yang p
Shafira sungguh tak tahan dengan sikap Satria. Emosi di dada sudah tak tertahan, menderu untuk dikeluarkan. Shafira berlari ke kamar dan menangis sepuasnya disana.Disaat seperti ini, ayah dan ibu yang terlintas di benaknya."Ya Allah aku sungguh merindukan ayah dan ibu? Kenapa semua ini harus terjadi ya Allah? Aku hamil tua, tak punya orang tua tapi kenapa mas Satria tidak punya rasa kasihan kepadaku? Malah lebih mementingkan Thika, wanita masa lalunya?"Shafira bergumam tak karuan diiringi derai air mata.Wanita manapun jika di posisi Shafira mungkin tak akan tahan diperlakukan seperti itu oleh suaminya. Shafira sendiri pun merasa tak sanggup untuk bertahan namun lagi lagi kandungan yang tinggal menunggu hari hari ini lah terus menjadi pengganjal niatnya untuk pergi.Satria kembali menghubungi Thika dan di dengarkan oleh Aini."Halo.""Halo mas, aku sudah sampai rumah. Bagaimana sekarang mas?""Aku akan kesana mengganti Aki, tolong kamu bawa sepeda motornya ke rumah saudaraku Afan.
Satria pulang setelah memasang aki baru ke sepeda Beat. Wajahnya terlihat lesu dan kuyu."Mas kamu sudah pulang?" tanya Shafira halus. Tak lupa dia mengulas senyum dan memandang lekat sang suami. Senyuman dan tatapan teduh Shafira berhasil membuat Satria merasa bersalah. Dirinya tak pernah memberlakukan sang istri seperti ini."Ya. Tolong buatkan aku teh saja, aku habis ngopi.""Baik mas."Tiba tiba Aini datang dari luar dengan ekspresi yang sulit dijelaskan."Mana sepeda beatnya?""Aku tinggalkan di sana, tadi aku cuma memasang aki."Aini menggeleng tak percaya jika anaknya mau saja di peralat oleh Thika."Sampai kapan kamu akan mengutamakan Thika daripada aku ibumu dan keluargamu?"Satria memandang marah pada Aini."Bu, bisa tidak kamu diam saja? Jangan campuri urusanku."Shafira hanya bisa menghela nafas berat melihat ibu dan anak itu berbeda pendapat. Ada rasa bahagia karena sang mertua membelanya namun di sisi lain Shafira juga ikut kesal melihat sikap Satria yang berani membent
Seharian Satria memikirkan ucapan Shafira tentang hari ini. Dia sama sekali tak ingat tentang ulang tahun istrinya. Berbeda dengan Satria yang dulu, Satria yang selalu mengucapkan selamat ulang tahun untuk pertama kalinya. Shafira sendiri berusaha melupakan sikap pelupa Satria."Assalamualaikum," ucap Iva main ke rumah Satria."Waalaikumsalam, masuk Va," jawab Shafira, menjamu sahabatnya itu dengan minuman dan cemilan."Nggak potong kue ya mbak?" goda Iva sekenanya saat duduk di sofa.Shafira memandang Satria sekilas dan berkata, "untuk apa potong kue Va, toh gak ada yang spesial hari ini"."Uhuk, uhuk, uhuk."Satria seketika batuk mendengar ucapan Shafira yang ditangkap mengejeknya."Ada apa mas? Pelan pelan dong kalau minum kopi."Shafira menepuk nepuk punggung Satria membuat lelaki itu memandang aneh pada sang istri.Shafira segera ke dapur berniat mengambilkan air putih untuk sang suami."Hari ini hari apa sih Va?" bisik Satria saat sang istri tak ada."Ya ampun mas, kamu lupa ya?
[Besok aku mau ambil sepeda, kita bertemu di tempat biasanya.][Ambil sepeda?][Iya, aku ada urusan dan akan pergi menggunakan sepeda beat.][Iya, baiklah kalau begitu mas, sampai ketemu besok.][Ya.]Suara Thika terdengar tak rela jika sepeda diambil.Satria menutup telepon dan berkata, "aku sudah menelponnya, sekarang kamu puas kan?""Kita lihat saja besok," jawab Shafira tenang. Jauh di lubuk hati, Shafira tak sabar menunggu hari esok, apakah Satria akan memenuhi ucapannya atau tidak. "Ya sudah kalau begitu, kita bahas masalah lain saja,"ucap Tutik menengahi.Disini, Tutik sebagai orang tertua sudah sewajarnya memberikan nasehat kepada Satria dan Shafira, terlebih Shafira sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Tutik memberi kode kepada Indra agar menceritakan masalahnya kepada Satria. Dengan ragu, Indra mulai mengeluarkan unek unek di hatinya."Mas, aku mengundangmu kesini karena ada hal penting yang perlu aku bicarakan.""Tentang apa itu mas?" tanya Satria heran."Ini tentang pe
"Kamu?""Kamu kenapa kemari?""Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?" cerca Thika kepada Sholeh, suaminya."Aku kan sudah bilang jika aku ingin membenahi hubungan kita.""Aku meragukanmu mas?""Kenapa ragu, semua ini demi anak kita," jawab Sholeh mantap.Seminggu yang lalu Sholeh memang mendatangi Thika dan meminta maaf. Dia juga menjelaskan alasannya datang menemui Thika jika dirinya telah bangkrut dan semuanya sudah terjual. Sholeh tak punya apa apa lagi sehingga dia menemui Thika dan meminta rujuk.Saat itu Satria melihat dengan mata kepalanya sendiri sehingga dirinya merasa bodoh, mau saja percaya pada Thika."Demi anak anak katamu mas?" tanya Thika emosi."Lalu saat kamu menceraikanku, apakah kamu memikirkan mereka mas?""Aku menyesal Thik, maafkan aku?" pinta Sholeh dengan sujud menyembah kaki Thika."Mas, jangan seperti ini. Malu dilihat orang."Thika memundurkan tubuhnya membuat Sholeh kecewa dan berdiri tegak, seketika membuat nyali Thika menciut.Dia kembali mengingat betapa
"Tega apanya, wong kamu tak ingatkan tetep saja membangkang, melakukan cara agar Thika dihina. Thika itu sedang down mentalnya. Kenapa kamu tak mengerti sama sekali sih?" keluh Satria pada Shafira istrinya."Aku melakukan apa mas? Aku tak paham apa maksud ucapanmu.""Terus saja berkilah. Kamu kan yang menyuruh tante Ipung ngelabrak Thika?"Aini datang mendekat karena mendengar perdebatan dari anak dan menantunya."Ada apa ini kok ramai ramai?""Shafira ini bu, selalu mencurigai aku sama Thika. Dia nyuruh Tante Ipung ngelabrak Thika."Shafira menghembuskan nafas berat. Dia tak mau debat dengan sang suami. Percuma saja dia membela, toh akan terus disalahkan."Kamu jangan nuduh Shafira karena aku yang melakukannya. Ya, akulah yang menyuruh Ipung mengingatkan Thika agar tak mengganggu kehidupan rumah tanggamu!" seru Aini merasa kesal."Bu, bisakah-""Diam Satria. Sudah cukup ibu melihatmu seperti ini, tak akan aku biarkan si pelakor genit itu mengusik kehidupan anakku."Satria memandang p