"Apa yang kalian lakukan? Kenapa kau menembaknya? Apa kau sudah gila!" teriak Bima. Dia ingin sekali menyentuh tubuh Sera. Tapi Anggoro segera menamparnya dengan sangat keras.Plak!!"Dia adalah istriku. Hanya aku yang bisa menyentuhnya." Tidak peduli semua orang menatapnya, Anggoro segera menggendong tubuh istrinya. Namun, dia terkejut tidak ada darah yang keluar dari tubuh Sera. Dia melihat kalung berlian berwarna biru itu dan ternyata peluru kayu kecil yang seharusnya mengenai dada Sera, tertancap di sana. Sera pun perlahan membuka kedua matanya. Kemudian segera turun dari gendongan Anggoro. Kembali menatap tajam semua warga."Aku tidak akan pernah mati," ucapnya sambil menepuk-nepuk dadanya yang masih sangat sesak. Dia terus memaksakan dirinya, walaupun pandangannya semakin kabur.Peluru itu untung saja bukan peluru api yang biasanya digunakan untuk menembak musuh. Sebuah peluru kecil yang biasanya digunakan untuk melumpuhkan binatang yang terbuat dari kayu. Namun, tetap saja jant
Anggoro semakin tidak mengerti. Gubernur mendadak ingin menemuinya? Pasti kabar para warga yang berdemo sudah sampai di sana. Namun, kenapa Sera harus ikut andil dengan semua pekerjaan yang harus dilakukannya? Anggoro sangat cemas dengan hal ini."Apa kau tidak sadar juga, Bupati yang terhormat? Istrimu sudah mempesona semua orang ... termasuk Gubernur. Pasti berita kau diselamatkan istrimu itu sudah tersebar sampai kepala pemerintahan itu." Willem mendekati Bupati yang kini hanya bergeming kaku dan memikirkan semuanya."Mungkin Bima yang pantas menggantikanmu. Kau sama sekali tidak pantas menjadi seorang pemimpin," ejek Willem dengan terkekeh pelan."Katakan saja apa yang kau inginkan? Ya, terserah kau mau berkata apa. Yang jelas aku tidak akan pernah mau melihatmu berada di sini. Apalagi mendekati istriku. Seharusnya kau malu. Banyak sekali wanita di luar sana. Untuk apa menjadi lelaki perebut istri orang?""Dia budakmu. Dia bukan istrimu. Jika dia istrimu, dia tidak akan pernah kau
Sera hanya bisa menundukkan kepala. Tamparan itu semakin membuatnya bergetar. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Anggoro pun hanya terdiam lalu meninggalkan semuanya dan masuk ke dalam kamarnya. Pamela semakin tersenyum sambil bersedekap. Dia sangat puas menatap Sera akhirnya kalah mutlak di hadapannya."Aku yang membantumu ketika itu. Aku bisa saja membiarkanmu di sana bersama Bima. Bagaimana jadinya jika anakku menemukanmu di kamar itu?" Simbah semakin mendekati Sera dan mengangkat tongkatnya. Menunjuk tepat di wajah Sera yang masih saja menundukkan kapala."Kau berjanji akan menolong anakku. Jangan pernah membuatnya celaka. Waktumu bertahan hanya satu bulan. Ingat itu."Pamela mendekati Sera setelah Simbah meninggalkan ruangan. "Kau tidak tahu apa pun, budak. Ah, mana mungkin kau mengerti. Seorang budak tanpa pendidikan. Yang diketahuinya hanya melayani karena memang tugasnya adalah pembantu.""Selain pembantu, dia adalah pengkhianat. Mana mungkin istri Bupati bisa menemui calon su
Sera menatap anak itu. Satria pun membalas dengan tatapan tegang. Simbah menarik napas panjang, dan terus berpikir. Memang sejak kehadiran Sera, masalah datang bertubi-tubi. Wanita desa yang kumuh dan sangat berantakan datang ketika itu, yang dianggapnya bisa menurut seperti robot, justru kebalikannya. Sangat pintar dan membahayakan."Waktu saya hanya satu bulan saja bukan?" sela Sera mengejutkan Simbah. Dia berjalan mendekati wanita itu yang masih menatap tegang. "Apa yang bisa seorang budak lakukan? Apalagi malam-malam masuk ke dalam ruangan suaminya. Mencuri? Ya, itulah yang dituduhkan dan aku tidak menyangkal. Untuk apa aku membela diriku sendiri. Seorang budak pasti akan selamanya menjadi maling.""Mengakui diri sendiri. Baguslah, kalau begitu. Sekarang kemasi semua barangmu dan enyahlah--""Cukup, Pamela!" balas Simbah keras. "Tidak akan ada yang pergi dari sini.""Mbok!" teriak Simbah. "Bagaimana dengan dokternya?""Simbah, dokter sudah berada di depan.""Cepat suruh masuk."Mb
Sera benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Anggoro menariknya, lalu menatap dengan sangat dekat. Tubuhnya masih sangat terasa panas. Hal ini tidak bisa Sera biarkan. Dia harus mencegah Anggoro marah, karena tidak baik untuk kesehatannya."Tuan lebih baik beristirahat dulu. Jangan berkata apa pun," ucapnya kemudian menarik selimut itu karena kembali terlepas dari tubuh Anggoro."Jadi kau tidak mau membahasnya? Kamu tidak membenarkan ucapanku? Sera, aku melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Kau berada di jalanan bersama dengan Bima. Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" balas Anggoro masih dengan suara yang sangat serak."Kau merencanakan sesuatu untuk membunuhku bukan? Kau memberikan racun itu di dalam gelas ku. Kenapa kau melakukan itu?"Spontan Sera melepaskan tangannya yang semula mencengkeram selimut. Dia menggelengkan kepala. Jelas-jelas akan membantah apa yang sudah dituduhkan oleh Anggoro kepadanya."Untuk apa saya melakukan itu, Tuan? Berada di rumah ini dan menikahi Tuan ..
Sungguh biadab! Itulah rencana Pamela. Apa pun akan dia lakukan untuk memuaskan dirinya. Padahal dia sudah jelas-jelas meninggalkan Anggoro begitu saja dengan lelaki lain. Tapi karena dia merasa tersaingi, dia memutuskan untuk kembali dan melawan. Pamela selalu ingin menjadi wanita satu-satunya yang akan mendampingi Anggoro. Sera hanya bisa menahan napas karena bubuk itu sudah masuk ke dalam tubuhnya. Rasa mual itu semakin hebat dia rasakan. Hingga akhirnya dia memuntahkan semua yang berada dalam perutnya, sampai mengenai tubuh Pamela. "Apa-apaan ini? Kau dasar tidak tahu malu. Wanita miskin pasti selalu seperti ini. Gara-gara kau aku sangat kotor. Kurang ajar!" teriak Pamela segera menjauh dari Sera yang semakin lemah. "Kau ..." Pandangannya pun kabur. "Aku sangat ..." Sera tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Mendadak dia terjatuh bersama dengan kursi yang didudukinya. "Hentikan! Sudah hentikan, Nyonya Pamela. Aku mohon hentikan." Tukang kebun itu pun iba melihat Sera. Wajahnya sem
Mbok semakin terguncang. Pamela tentu saja akan mengetahui semua yang berada di sana. Walaupun dengan sangat manis dia menyembunyikan hal itu, apa yang tidak bisa dilakukan Pamela? Dulu ketika Mbok diam-diam tidak melakukan perintah Pamela yang tidak sesuai hatinya, wanita itu segera mengetahuinya. Bahkan tidak segan-segan untuk menampar Mbok. Sejak saat itu Mbok sangat membenci Pamela. Berharap wanita itu pergi dari sana. Seketika Mbok sangat senang melihat kepergian Pamela. Namun, ternyata dia sekarang harus bersedih kembali. Pamela mendadak datang dan membuat keributan untuk kesekian kalinya."Aku melihatmu bersama dengan lelaki Belanda itu. Ah ... tentu saja namanya Willem bukan?" ucapnya membuat Anggoro kini menolehkan pandangan ke arahnya dan memandang tajam. "Apa?" Anggoro sangat terkejut. Sang sahabat yang sudah putus dengannya sejak pertemuan bersama Sera ketika itu, muncul diam-diam di rumahnya? Sebenarnya ada apa ini?"Apa yang kau katakan Pamela? Ingatlah, kedatanganmu
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika kau membuat wanita ini sangat menderita. Camkan itu, Anggoro."Willem masih saja membenarkan posisi Sera dengan sangat baik. Tidak peduli Anggoro berdiri di belakangnya dan siap untuk mencabik-cabiknya karena marah!"Bahkan kau memarahi istrimu saat dia sangat lemah seperti itu?!" teriak Willem dengan keras sambil menunjuk Sera yang sudah terbaring dengan sangat lemah. "Kau ini sebenarnya binatang atau manusia? Tingkah lakumu tidak seperti seorang Bupati!""Willem, kalau kau dengan nekat membawanya, aku akan menghubungi polisi!" Anggoro mendorong tubuh Willem dengan sangat keras. Untung saja lelaki itu dengan kuat menahan. Tubuhnya terkena tubuh mobilnya. Jika tidak, pasti dia sudah tersungkur ke tanah. Anggoro segera masuk ke dalam mobil itu dan kembali mengangkat tubuh Sera."Bagaimanapun juga dia adalah istriku. Sedangkan kau, bukan siapa-siapa!" Lelaki Belanda itu ingin sekali menarik Sera dan kembali membawanya. "Sialan!" Willem menghenti