Kedua petugas sipil itu menarik paksa Mamah Sina kembali ke sel. Wanita paruh baya itu, meronta minta dilepaskan.
Raka yang saat itu masih menjadikan dirinya tameng untuk Hana. Kini mulai melonggarkan rengkuhannya. Melihat ketiganya semakin jauh dari tempatnya berpijak.
Raka melihat bagaimana Hana terlihat bernafas dengan tak beraturan. Bagaimana dadanya kembang kempis dengan cepat. Seolah ia tak cukup mendapatkan pasokan oksigen ke paru-paru-parunya.
“Sayang, kita pulang sekarang!”
Tanpa menunggu persetujuan dari istrinya. Raka langsung membawa Hana ke luar tempat pengap dan lembap itu. Setelah sebelumnya ia membereskan kekacauan di meja.
Ia membawa kembali kotak makan yang bercecer di bawah. Sementara, sisa makanannya dibersihkan petugas kebersihan.
Teriknya sinar mentari siang itu, membuat Hana sampai menyipitkan matanya.
“Sayang, minum dulu!”
Mana kala mereka berada di dalam mobil, Raka menyerahkan a
“Tidak akan pergi sesuatu yang indah, kecuali digantikan dengan yang lebih indah,” ucap Raka kala Hana semakin melangkah jauh.Wanita itu tak berbalik, tetapi ia hanya memelankan langkah. Ia sengaja tak menahannya untuk tetap tinggal. Ia tahu jika, berat berada di posisi Hana sekarang. Ia mungkin butuh ruang dan waktu untuk bisa menenangkan diri, seperti ia yang sering kali butuh menepi sejenak setiap kali asa itu hampir pupus.“Dan sampai detik ini, kamu masih menjadi alasan kenapa hatiku enggak bisa menerima siapa pun, selain kamu.”Raka sengaja mengeraskan nada bicaranya. Hanya agar Hana masih bisa menangkap suaranya. Dan ya, usahanya tak mengkhianati. Hana berbalik dan berhenti melangkah.“Dia lebih cantik dan modis. Pengetahuannya luas, enggak sepertiku yang sederhana dan apa adanya begini.”“Aku menyukai kesederhanaanmu dan semua tentang kamu. Jadi peduli, apa tentang Sawa.”“Bohong
“Sabar, mungkin Allah mau angkat drajat kamu Mbak.”“Aamiin.”“Dia pasti enggak akan tinggal diam melihat pengorbanan seorang istri demi mempertahankan rumah tangganya.”“Aku berharap begitu, tapi aku paling lemah jika masalahnya tentang pengkhianatan.”“Posisimu kuat Mbak, ada mereka di sisi kamu! Mas Raka pasti bakal mikir ulang buat kembali sama mantannya itu.”Hana melirik pada kedua putranya yang kini telah menyuapkan sendok demi sendok berisi es krim. Melihat mulutnya yang berantakan. Wanita mengusap kedua wajah putranya dengan tisu secara bergantian.“Enak?”“Enak, Bunda. Makasih,” ucap Rafa.“Lihat mereka La, yakin masih takut buat menikah?”“Hm, lucu sih, tapi enggak mau ah. Nanti kalau dapat mertua jahanam macam Mbak, bisa mati berdiri aku.”“Haha mana ada orang mati berdiri, ngarang aja kamu
Hari itu mempertimbangkan permintaan putra dan menantunya. Pria berusia 56 tahun itu, untuk pertama kalinya menyambangi sel, tempat Sina ditahan.Melihat kedatangan mantan suaminya. Ekspresi Sina yang seperti ogah-ogahan itu, mendadak berubah. Ia tak menyangka jika yang datang kali ini Adi.“Sehat?” tanya Adi.“Mau apa ke sini?”Bukannya menjawab pertanyaan Adi, Sina justru memalingkan wajahnya ke arah lain.“Bertemu kamu.”“Enggak perlu, di antara kita enggak ada hubungan apa pun.”“Aku tahu, saya ke sini juga bukan untuk membahas hal itu.”“Terus mau apa?”“Menantumu –““Kenapa lagi dengan dia? Menggodamu lagi? Belum puas mendapat putraku, masih berharap orang lain.”Mendengar kalimat pedas dari mulut Sina. Adi malah terkekeh pelan. Sudah hampir sebulan ia melewati masa taha
Petang itu Raka tiba di kediamannya dengan wajah yang tampak lelah. Ia melangkah gontai, memasuki ruangan demi ruangan mencari Hana yang rupanya tengah berada di tempat favoritnya, di taman belakangWanita itu sibuk memotong dedaunan yang mulai menguning, lantas menyiram beberapa tanaman lain di sekitarnya. Saking asyiknya, sampai-sampai wanita itu tak menyadari akan kehadiran suaminya.Raka mendekatinya diam-diam, lantas tanpa basa-basi ia memeluk tubuh wanitanya itu dari arah belakang. Hana sedikit mengerjap. Hingga refleks menjatuhkan gunting dalam genggamannya.Hana tersenyum, saat ia merasakan kepala Raka menyelusup di antara telinga dan pundaknya. Hana mengusap kepala Raka perlahan. Sejenak ia membiarkan bahunya menjadi sandaran bagi pria yang kali ini dilanda gundah yang entah.Wajahnya yang muram, sudah cukup mengartikan apa-apa yang coba dia sembunyikan di bilik perasaannya.“Capek?” tanya Hana.“Banget.”
“Dulu aman-aman aja, enggak pernah ada yang mencurigakan. Dia karyawan yang baik, bahkan Abang milih dia, karena nurut dan enggak neko-neko.”“Terus sekarang kenapa jadi begini? Bagaimana kalau itu racun, obat atau—“Raka meletakan telunjuknya tepat di bibir Hana.“Makanya sekarang kita cari tahu siapa dalangnya.”Hana mendesah. Ia tahu setelah rujuk, mustahil semuanya akan baik-baik saja. Meskipun, ia ingin selalu mendamaikan semua orang, tetapi ia sendiri tak menampik. Rasa cemas sering kali menyertai setiap langkahnya. Apa lagi sekarang bahkan tempat yang paling nyaman, bisa menjadi ancaman yang paling nyata.Sepasang suami istri itu, masih memperhatikan gerak-gerik Daniah lewat CCTV. Sampai ketika layar laptop itu memutar ke waktu yang sedang berjalan. Ia melihat Daniah sedang berdiri mondar-mandir di depan kamar mereka.Wanita itu bahkan terlihat menempelkan daun telinganya pada pintu.&l
Raka mendatangi kediaman Sina, sebuah bangunan bergaya eropa modern tempat ia dibesarkan. Bangunan yang tampak kotor, karena lama ditinggalkan penghuninya itu kini terlihat cukup rakaki ada sekitar 5 orang berseragam kebersihan tengah sibuk mengelap dan menyapu lantai serta halaman rumah yang antah berantah. Tampak sebagian tanaman juga mengering, karena tak dirawat dengan baik.Tak jauh dari ambang pintu. Seorang wanita paruh baya tengah berkecak pinggang, sambil menunjuk-nunjuk beberapa sudut rumahnya. Volume bicaranya terus saja meningkat, tak peduli jika hari semakin gelap.Nyatanya Sina nekat menempati rumah itu.“Kamu? Kenapa ke sini lagi?”Wanita itu sedikit heran, tetapi melihat cara Raka memandangnya yang seperti diselimuti amarah itu. Ia sedikit kikuk.Raka duduk tepat di kursi di mana sejak tadi Sina berdiri sembari mengawasi para petugas kebersihan. Bukannya menjawab Raka justru merogoh saku ho
“Hay.”Hana mendekatkan diri pada Raka yang sejak tadi duduk sembari menunduk. Belaian lembut dari Hana seolah memberi kekuatan tersendiri bagi pria yang hatinya dilanda gelisah.“Sayang, Abang belum siap.”“Hm.”Seolah memberi jeda, ia membiarkan pria itu merunduk di bawah rengkuhannya. Sampai ketika ia rasa pundak itu mulai berguncang hebat. Wanita itu sedikit membungkuk.Ia raih kedua tangan suaminya itu dalam genggaman, lalu membuatnya menengadah. Selayaknya orang yang tengah meminta pengampunan dan doa.Raka perlahan mengangkat kepalanya, bulir-bulir bening yang menggenang di kelopak matanya yang memerah, cukup menjelaskan seberapa sesal itu telah begitu menyiksanya.“Jangan berhenti berdoa!”“Dia akan hidup ‘kan, Sayang?”Hana hanya mengangguk.“Cuci muka dulu, ambil wudu terus salat hajat. Biar aku yang berjaga di sini?”&l
“Aku masih berharap kalau kita masih punya solusi lain. Long distance marriage itu enggak mudah. Apa lagi buat kita yang sebelumnya belum pernah melakukannya,” ucap Hana sembari melipat pakaian yang hendak ia masukan ke dalam koper.“Semua hal baru memang sulit, tapi akan mudah kalau sudah terbiasa.”Raka yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya kini membalikan punggungnya. Ia menatap Hana yang tengah memajukan bibirnya. Merasa gemas, pria itu menghampiri Hana, lantas mulai membantu memasukan tumpukan pakaian ke dalam koper.“Aku bisa sendiri!”“Ngambek?”“Enggak.”“Terus kenapa ini maju terus? Kayak jambu –““Enggak usah diterusin!” pangkas Hana yang semakin memajukan bibirnya.“Tuh ‘kan ngambek.”Hana memilih menghembuskan nafas kasar. Ia lelah berpura-pura kuat, tetapi melihat pria di hadapannya. Hatinya sea