‘’Papa!’’Gia berseru dan berlari menghampiri Gavi.Gavi sendiri terkejut karena Gia menyadari keberadaannya. ‘’Anak papa sudah pulang sekolah.’’ Walau lelah, Gavi tetap menggendong putrinya. Tangan Gia segera melingkar kuat di leher sang ayah.Tak ingin melepaskan karena cukup lama tidak bermanja-manja seperti ini.‘’Sudah, Papa. Papa Gia mau makan,’’ pintanya.‘’Ayo.’’ Gavi segera berbalik, namun Gia membuat langkahnya berhenti.‘’Tapi sama mama sama oma, Papa. Ayo, ayo. Kita makan.’’ Tangan mungil itu berayun mengajak dua wanita yang sedang terpaku memandang satu sama lain.‘’Loh, kok diam. Ayo oma. Ayo mama. Perut Gia sudah bunyi kukuruyuk.’’ ‘’Suara perut itu kriuk, Gia. kalau kukuruyuk itu ayam,’’ jelas Gavi. Namun Gia mengangkat bahu tak peduli. Gia lebih peduli pada dua orang di hadapannya.‘’Papa, kok oma sama mama nggak bergerak, ya?’’ tanyanya penasaran. Gavi sendiri paham mengapa keduanya belum beranjak. Setelah menyakiti Vania, Gavi tak bisa berharap banyak keduany
Melihat Sandra sekarang, Gavi berkacak pinggang sembari menghela nafas berat. Rasanya begitu letih menghadapi dua wanita yang sedang tantrum. Sesal pun tiada guna. Garam sudah ditabur dan kini baru terasa asinnya.‘’Sandra.’’ Gavi jongkok menyetarakan posisi. Tetapi Sandra tetap menunduk tak menggubris.‘’Mau kamu apa? Jangan pakai sikap gadis-gadis muda yang ingin dimengerti. Cukup katakan saja,’’ serunya berharap tak ada drama lagi.Entahlah. Mungkin karena sadar, tak ada satupun orang di rumah ini yang peduli, Sandra merasa sangat kesepian. Mereka hanya memikirkan agar dirinya tidak mengambil jalan pintas. Namun begitu, Gavi sebagai sosok suami tidak membantunya untuk melalui penderitaan hingga membuatnya marah.‘’Tidur di sini,’’ seru Sandra dengan pandangan memelas. ‘’Tidur di sini?’’ Vania rasanya tak rela mendengar permintaan itu.Sebelumnya Gavi mendatanginya memohon agar Vania mengizinkannya tidur di kamar mereka. Mungkin itu cara Gavi untuk mencairkan suasana. Gavi memo
‘’Dari mana kamu?’’ serang Gavi begitu Sandra akan naik ke ranjang.Padahal sudah memastikan bahwa Gavi sudah tidur pulas. Ternyata Sandra salah.‘’Aku habis dari dapur.’’Gavi memicing mencari kebohongan. Tetapi rasa kantuk membuatnya tak ingin ambil pusing. Selagi bukan Vania yang ditemui Sandra, maka tidak ada masalah.‘’Ya sudah tidur cepat. Jangan keluyuran kemana-mana lagi. Kamu sedang hamil.’’ Gavi tak mau Sandra lepas dari pantauannya. Wanita itu bisa saja nekat.‘’Iya, Gav,’’ serunya buru-buru berbaring.‘’Kamu mengkhawatirkan aku?’’ Sandra menatap wajah tampan yang sedang memejam itu.Tapi bukannya jawaban yang didapat, melainkan sikap acuh Gavi. Pria itu merubah posisi tidurnya agar tak berhadapan. Sehingga kini malah membelakangi.Sampai kapan kamu mau seperti ini, Gavi? Batin Sandra menjerit. Lagi-lagi dirinya menangis. Jangankan madu, suaminya pun tak menganggapnya ada.***Langit-langit putih bercorak jelas, menjadi pemandangan pertama ketika Gavi terbangun dari tidurn
Bagaimana agar Vania mau memaafkannya. Hanya itu yang Gavi pikirkan. Apapun dan bagaimanapun caranya, Gavi harus mencairkan sikap dingin sang istri.Tidak bisa hidup tanpa Vania. Semua kesalahan ini membawanya ke lubang nestapa tak berujung. ‘’Aku tidak ingin ada jarak di antara kita, Sayang. Aku tersiksa melihatmu begitu acuh,’’ lirihnya memeluk Vania erat. ‘’Karena itu, izinkan aku menceraikannya. Kalau dia memang mau mati, biarkan saja. Kita tidak bisa menghalangi takdir seseorang, bukan?’’Vania menjauhkan Gavi dan lekas menutupi tubuhnya dengan selimut.Vania seperti tidak mengenal Gavi lagi.‘’Jangan pernah lakukan itu. Hidupnya sudah hancur. Jangan membuatnya semakin kesulitan, Gavi. Apa kamu tidak berpikir kalau kita punya anak perempuan? Bagaimana jika dia bernasib buruk seperti Sandra?’’ Walau mengharapkan mereka berpisah, tetapi Vania masih punya hati.‘’Pikirkan anak kita. Karma itu ada Gavi.’’ Vania tak mau anaknya menjadi korban. Cukup dirinya yang mendapat karma karena
Dengan cepat Gia berlari memeluk Vania, begitu juga dengan Vania yang langsung menggendongnya.‘’Mama, Tante Sandra bilang, Vania harus panggil tante dengan sebutan mama. Karena, papa sudah menikah dengan tante, Ma,’’ ungkap Gia sembari sesegukan. ‘’Gia nggak mau, Ma. Gia nggak mau punya mama lagi. Gia nggak mau.’’‘’Maaf, Vania. Aku hanya menjelaskan apa adanya,’’ ujar Sandra membela diri. Berdiri dari duduknya.‘’Bicara dengan anak-anak bukan seperti itu, Sandra!’’ seru Vania dengan bola mata sebesar kemarahannya. ‘’Namun sampai kapan harus disembunyikan? Gia pasti akan bertanya mengapa aku masih di sini.’’Dada Vania benar-benar bergemuruh. Vania palingkan wajahnya pada Gia dan mengusap air matanya. Anak kecil itu tidak terima ayahnya punya istri dua.‘’Tidak perlu terburu-buru. Apa jangan-jangan kamu memang sengaja ingin diakui di rumah ini?’’‘’Bukankah seharusnya memang begitu? Apa aku tidak berhak mendapat penerimaan? Bahkan ART di rumah ini pun tidak melakukannya.’’ Telunjuk
‘’Valerie sayang. Bawa kemari minumannya, Nak.’’ Pekikan dari ruang tamu terdengar jelas sampai ke dapur. Valerie gesit mengangkat nampan berisi lima gelas air jeruk dingin dan membawanya ke depan. Minuman-minuman itu untuk tamu-tamu orang tuanya yang datang melamar sang kakak— Vania. Seulas senyum terpatri bersama tangan yang sibuk menata gelas di meja. Dan Valerie langsung mendapatkan pujian atas sikap baiknya dari keluarga besan. Setelah kembali ke dapur, Valerie langsung naik ke lantai dua untuk membereskan tempat tidur di kamar tamu. Keluarga besan akan menginap karena besok akan diadakan pertunangan dan juga penentuan hari pernikahan. Berkutat dengan sapu, pel lantai dan ember berisi air selama kurang lebih lima belas menit, akhirnya pekerjaan itu selesai. Valerie masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Merebahkan tubuh di kasur dan menutupinya dengan selimut. Dan tak lupa mematikan lampu. Masih dalam keadaan setengah terlelap, Valerie mendengar suara gagang pintu yang dig
Tak mengindahkan acara yang sedang berlangsung, Leo segera ke kamarnya. Mengambil celana tidur berbahan satin dengan rahang menegang. Membiarkan suasana ramai diiringi dengan gelak tawa dan juga obrolan riang khas keluarga di bawah sana. Waktu terasa berjalan begitu lambat seiring langkah kaki yang bergerak menuju kamar Valerie. Perasaan Leo berdebar tak karuan. Bahkan kegugupannya mengalahkan momen ketika ia mengatakan ingin menikahi Vania pada sang calon ayah mertua. Tapi bagaimanapun— ia harus memastikannya sendiri. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi tentang semalam. ‘’Val,’’ panggil Leo, pelan. Tak ada suara ataupun tanda-tanda pintu yang akan dibuka dari dalam. Jadi ia mencoba mengetuk. Tok… tok… tok ‘’Valerie.’’ Memanggil sekali lagi. Karena tak juga mendapatkan jawaban, akhirny Leo langsung masuk setelah memastikan tak ada orang yang melihat. Hati Leo seakan diremas kala mengedarkan pemandangan ke seluruh ruangan selama beberapa detik. Bukan karena ia tak mend
Setelah berada di dalam kamar, Leo lantas mengambil kemeja batik motif lain. Kemudian mengenakannya secepat kilat. Tadi, ia sempat melihat Vania yang memergokinya keluar dari kamar Valerie. Namun ia berpura-pura acuh. Jadi ia telah menyusun beberapa kalimat untuk menangkis tudingan dan kecurigaan Vania. Padahal selama ini ia tidak pernah menutupi apapun dari wanita yang sangat ia cintai itu. Mempersiapkan mental, Leo menghela oksigen berselimutkan kegelisahan. Lalu menghembuskan kegugupan berbalut karbodioksida. Berharap dapat membantunya mengatasi kegugupan. Kemudian ia keluar dari kamar, melangkahkan kaki dengan tenang. ‘’Kenapa berganti pakaian?’’ Manik Vania memandangi setelan Leo. Laki-laki itu masih berada satu langkah dari pintu. Dan Vania berada di anak tangga terakhir. Rupanya Vania masih di tempat yang sama ketika memergokinya tadi. ‘’Ada apa dengan Valerie? Kenapa kamu keluar dari kamarnya basah-basah?’’ ‘’Aku tidak sengaja melihat pintu kamar Valerie terbuka. Dia te