"Sekar, kapan aku akan benar-benar pulih dan bisa bertarung kembali. Saudara-saudaraku sudah membutuhkanku," keluhnya.
Sekar Pandan membalasnya dengan tersenyum pedih. Lalu pergi ke bagian lain dari gua untuk membuat ramuan obat yang sudah ia kumpulkan dalam keranjang. Umang Sari pun segera mengambil umbi yang mereka dapatkan untuk dibakar sebagai pengganjal perut. Sengaja mereka tidak membuat api di luar gua, takutnya pihak musuh akan dapat mencium tempat persembunyian mereka.Dengan telaten, Sekar Pandan mengganti ramuan obat pada tubuh Mahisa Dahana dengan ramuan yang baru."Kau harus tenang dan sabar," ujarnya dengan gerakan tangan disela-sela jari lentik miliknya mengurut dan membetulkan tulang Mahisa Dahana, yang tentu saja sembari dilambari ilmu tenaga dalam.Mahisa Dahana merasakan hawa hangat menjalar ke dalam tubuhnya, lalu berkumpul menjadi satu di tulang yang terluka. Hawa hangat itu semakin panas hingga membuat sekujur tubuhnya berkDewa Jari Maut melompat turun diikuti empat anak buahnya. Membiarkan kuda mereka dibawa murid yang bertugas membersihkan kandang kuda.Dengan langkah gagah dan angkuh, Dewa Jari Maut menemui ketua padepokan di ruang Sanggar Pamujan. Dia tahu, setiap saat ketua selalu bermeditasi di sana. Empat anak buahnya mengikutinya dari belakang.Dewa Jari Maut menyapa ketua Perguruan Tangan Seribu dari luar. Pria yang telah berusia lanjut tapi tetap gagah itu membuka matanya yang tertutup alis yang mulai putih. Pandangannya teduh."Rupanya kau yang datang, Adhi. Kok janur gunung ( tumben) datang di waktu matahari akan beristirahat di peraduannya. Ada masalah apa, Adhi?" Ketua perguruan Tangan Seribu bertanya dengan sopan dan halus. Dia tetap duduk bersila. Dewa Jari Maut mendekat."Aku sangat membutuhkan bantuanmu, Kakang." Suaranya mengiba."Apa itu, Adhi?""Sebuah tempat tinggal.""Kenapa dengan tempat tinggalmu yang lama?"
Lain halnya dengan Layangsewu, laki-laki tak berjari tangan kanan itu duduk menyeruput wedang jahe hangat kesukaannya. Murid pelayan di sini sudah hafal dengan segala hal tentang dirinya. Baik itu tentang sesuatu yang disukai maupun yang tidak disukai.Pria itu hampir saja melompat dari tempat duduknya, saking kagetnya, ketika mendengar kakangnya menyemburkan cairan berwarna merah."Kakang …! Kau baik-baik saja …?" Layangsewu memapah tubuh Ki Anjarsewu yang mulai sempoyongan akibat pengaruh racun. Wajah pria tua itu pucat dan gemetar. Seluruh tubuhnya bagai dicengkeram sebuah kekuatan yang sulit dikendalikan. Semua kekuatannya telah dikerahkan untuk melawan pengaruh kekuatan racun yang telah merasuk dan mengendap pada darah."Kau … kau membubuhkan racun dalam minumanku, Layangsewu?!" sergahnya seraya mengibaskan lengan adiknya. Matanya yang sayu menatap adiknya dengan kecewa dan pedih."Apa maksudmu, Kakang?" tanya Layangsewu
"Cepat pergi, Sempana!" bentak Ki Anjarsewu menekan dadanya yang sakit.Tidak ada jalan lain bagi Ki Sempana selain meninggalkan Ki Anjarsewu untuk mencari kedua anaknya serta membawa Nyai Anjarsewu dan pelayan wanita itu menyingkir. Mereka meninggalkan laki-laki tua itu sekarat seorang diri. "Kakang ...." Nyai Anjarsewu berat meninggalkan suaminya. "Pergilah, Nyai." Tangan ketua Perguruan Tangan Seribu bergerak menyuruhnya pergi."Layangsewu, iblis apa yang telah bercokol di otakmu hingga kau tega melakukan semua ini padaku?" Tubuh ketua yang selama ini menjadi panutan dan pelindung padepokan justru terkulai meregang nyawa. Dari ujung lorong, muncul dua bayangan hitam memegang pedang terhunus. Keduanya terus maju dengan sikap waspada."Kalian … begundal-begundal Layangsewu.""Rupanya kau belum mampus , Orang tua!" Salah satu bayangan hitam itu berkata. Ki Anjarsewu tidak mengenali wajah dua orang itu karena tert
"Menurut keterangan yang berhasil aku korek dari mulutnya, pelaku itu juga murid Padepokan ini sendiri. Hah! Padepokan macam apa ini? Kasihan sekali saudaraku itu, murid yang siang malam dididik untuk menjadi baik justru balik menyerangnya. Ohh … Dewata, tunjukkan keadilanmu!"Layangsewu mendongak ke langit sambil berteriak-teriak memohon keadilan kepada Sang Maha Pemberi Keadilan. Semua murid padepokan semakin geram. Di barisan paling belakang, tepatnya untuk beberapa murid perempuan. Salah satu perempuan muda berdiri dengan suara lantang."Paman Layangsewu, siapakah orang yang telah membutakan hati murid penghianat itu? Tolong tunjukkan pada kami agar keadilan ini bisa ditegakkan."Layangsewu tersenyum dingin."Untuk apa?" tanyanya "Dia harus diadili sekarang juga!" jawab gadis itu lantang."Benar!" sahut yang lain penuh kemarahan."Bawa dia ke sini! Adili murid penghianat itu!"
"Anggapati, aku memberimu tugas untuk mencari dan menangkap mereka hidup atau mati. Jika perlu cari mereka di seluruh Jawa Dwipa dan daerah lain di Nusantara ini. Aku tidak ingin mereka ada yang hidup," perintah Layangsewu atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Jari Maut. Pria bernama Anggapati itu membungkuk kemudian undur diri melaksanakan perintah ketuanya.Layangsewu duduk di kursi dampar yang ada di Pendopo. Matanya menyapu tubuh-tubuh tak berdosa yang mulai dirapikan anak buahnya, Lalu pandangannya beralih ke atap pendopo. Dia ingat, Pendopo ini dulu dibuat ayahnya dengan susah payah.Masih ingat pesan hari itu, "Kau lihatlah, pendopo ini, Anakku. Kokoh dan kuat. Harapannya, kelak perguruan Tangan Seribu ini akan seperti itu. Menjadi perguruan yang kokoh dalam hal memerangi kejahatan juga kuat di dunia persilatan karena persaudaraan antar murid sangat erat. Semua itu kelak dirimu yang harus mewujudkannya." Ketua pendiri perguruan Tangan Seribu berka
Sejak penyerangan hari itu, perguruan diambil alih oleh Layangsewu dan anak buahnya. Para murid yang tewas dikubur jadi satu di luar area perguruan. Sedangkan yang terluka di penjara di ruang khusus. Meski demikian, banyak juga yang berhasil melarikan diri dari penyergapan anak buah Layangsewu.Laki-laki tanpa jari kanan memang licik. Sebelum dia mengunjungi saudara tirinya di sanggar pamujan, dia telah menyiapkan sebutir kecil racun yang ia simpan di balik ikat pinggangnya. Sebuah racun keras yang cepat larut dalam minuman. Racun itu tidak merubah rasa dan warna minuman, sehingga sangat aman saat dicampurkan pada jamu yang biasanya Ki Anjarsewu minum selepas bersemadhi.Hatinya berbisik senang saat yang ditunggu-tunggu tiba. Murid yang bertugas mengantar jamu untuk ketua perguruan Tangan Seribu akhirnya datang. Dengan alasan kasih sayang seorang adik kepada kakangnya, mulailah Layangsewu mengambil alih tugas si murid. Tanpa sepengetahuan siapa pun bahkan
Kembali semua orang diam. Nyai Limbuk menambahkan kayu kering ke dalam api unggun. Api yang semula mulai mengecil, kini membesar kembali. Menyinari wajah dan tubuh depan mereka yang berkilat-kilat karena keringat yang menempel kering di tubuh mereka."Begitu juga dengan angger Mahisa Dahana. Mereka harus bersembunyi, agar keberadaannya tak tercium anak buah Dewa Jari Maut.""Kurasa cara itu lah yang harus kita jalankan, Nyai." Ki Gondo menambahkan.Nyai Anjarsewu merangkul putra sulungnya dengan sedih. Kemudian mencium kening Paksi Jingga dan Mahisa Dahana. "Jika menuruti hati, ibu tidak ingin semua ini terjadi. Kita berempat bekumpul bersama dan bahagia, untuk saat ini harus kita simpan rapat dalam hati. Ibu hanya berpesan padamu, Paksi Jingga. Jadilah manusia yang tangguh dalam mewujudkan cita-cita Padepokan. "Paksi Jingga mengangguk sedih. Dia sekuat hati menahan rasa sedih dan gundah gulana. Sebagai anak sulung, tugas bera
"Hahaha!" Tawa menggema itu terdengar memutari tempat. Mereka menambah kesiagaan penuh, siap menghadapi serangan musuh yang tak tampak. ."Siapa kau?!" Ki Gondo bertanya dengan keras."Mau apa kalian ke hutan ini? Cepat kembali!" Suara itu terdengar lagi."Apa hakmu menyuruh kami kembali? Kami tidak akan pergi sebelum bertemu pendekar penguasa bukit tengkorak ini," ujar salah satu murid Perguruan Tangan Seribu berani.Serangkum angin kencang datang melabrak tubuh murid itu. Untuk sesaat dia terpana. Angin serangan demikian cepat dan tidak tahu siapa yang mengirim. Saking terpananya, hingga lupa untuk menghindar. Tubuh murid yang tergolong tingkat tinggi itu terpental melabrak pohon di belakangnya.Setelah bergelojotan, tubuhnya diam, mati.Nyai Anjarsewu dan Nyai Limbuk menjerit ketakutan."Kakang Gondo, lebih baik kita kembali," bisik Nyai Limbuk semakin ketakutan.