Tiga puluh menit berlalu, saat ini langkah kaki Rima terlalu berat untuk meninggalkan kediaman Alea, tetapi waktu memburunya. “Aku akan mengunjungi rumah bu Rina, lalu kami akan menuju rumah pak Rt. Jika aku masih ada waktu, aku berjanji akan datang lagi kesini.” Kini Rima melukis wajah sendu. Wanita semampai dengan kecantikan alami ini memandangi Alea tanpa berniat melepaskan saudaranya dari jarak pandangnya.“Jangan memaksakan diri, selesaikan saja urusan kamu.” Pun, Alea menunjukan tatapan yang sama hingga akhirnya mereka saling memeluk. “Berjanjilah jangan mengatakan keadaanku pada siapapun dan kamu juga tidak perlu merasa iba padaku karena Ansel adalah sosok suami bertanggung jawab, aku tidak pernah merasa kekurangan, aku dan Ocean juga selalu mendapatkan banyak cinta dari Ansel.” Sedikitnya, Alea terisak karena hanya ini satu-satunya kalimat aduan yang mampu diungkapkannya pada Rima setelah ribuan kesulitan menimpanya.“Iya, hanya aku yang tahu.” Pun, Rima meneteskan air matanya
Ketukan halus terdengar mengambang di udara, maka Ansel dan Aisha segera menengok ke arah sumber suara. “Siapa?” tanya pria ini. “Entahlah, Aisha lihat dulu.” Segera, wanita ini bangkit dari duduknya, meninggalkan sarapannya. Pintu dibuka perlahan hingga dia melihat Evan yang berdiri bersama senyuman teduh yang diberikan khusus padanya. “Selamat pagi, Sayang. Aku bawakan sarapan sekalian buah-buahan dan camilan untukmu. Syukur-syukur jika papa bisa memakannya juga.” Tutur kata Evan terdengar lembut selayaknya suami penyayang istri. “Masuklah.” Suara pelan Aisha yang tidak menginginkan kehadiran Evan karena selain tidak ingin melihat wajahnya, kehadiran pria itu juga mengganggu waktunya dengan Ansel padahal momen bersama kakaknya sangat jarang dia temui bahkan sebelum ini pertemuan itu seakan mustahil akibat tindakan keji Evan. Saat ini Evan segera berpura-pura tidak mengetahui kehadiran Ansel. “Oh, kakak ipar, kau di sini!” Senyuman hangat dipasang. Namun, ekspresi Ansel sangat
Evan memerintahkan Aisha untuk duduk tenang dan nyaman saat makanan mulai dibuka satu-persatu. “Aku menyuruh bibi membuatkan berbagai macam menu, dari mulai manis, asin lalu pedas. Pasti kamu akan menyukainya, Sayang.” Senyuman teduh Evan kembali dibentuk saat menunjukan perhatian palsunya walaupun di luar tampak tulus, tetapi itu hanya di mata orang yang tidak tahu bagaimana monster dalam dirinya. Maka, Aisha tidak pernah tersentuh bahkan sampai detik ini. “Ya, terimakasih.” Datar Aisha.“Seharusnya kamu mengatakan menu yang kamu inginkan karena setiap hari aku kebingungan saat memerintah bibi memasak menu,” kekeh teduh Evan. Saat ini adalah jalan emas untuk Aisha membahas tentang kartu ATMnya, tetapi wanita ini terlalu ragu karena mungkin tanggapan Evan akan terdengar menyebalkan walaupun cara penyampaiannya sangat lembut. “Buatkan menu apa saja,” sahut datarnya lagi. “Baiklah. Sekarang makanlah.” Senyuman teduh dipasang seiring membantu mengisi piring milik Aisha, “aku sudah sar
Setelah lewat siang hari Ansel barusaja mengatakan rencananya pada Alea, “Bagaimana kalau aku melamar kerja di perusahaan papa. Dengan begitu aku bisa leluasa mencari tahu celah kelemahan Evan.”“Apa tidak ada cara lain?” Alea tidak lantas menyetujui keputusan Ansel karena berada di perusahaan artinya berhadapan langsung dengan Evan karena mereka berada di bawah atas yang sama. Pun, jangankan berada di gedung yang sama saat ini saja Alea selalu mengkhawatirkan Ansel walaupun suaminya tidak akan setiap saat bertemu dengan Evan. “Entahlah. Aku kesulitan menjangkau Evan. Akses masuk ke rumah diblokir total, lalu Aisha bilang Evan memasang CCTV di dalam kamar mereka, ada kemungkinan Evan juga memasang CCTV di ruangan lainnya. Hal itu membatasi pergerakan kami, apalagi aku. Mungkin Aisha masih mending, dia tidak akan langsung dicurigai, berbeda denganku yang memang tidak tinggal di rumah.”Alea bergeming cukup lama karena menghadapi seorang Evan memang rumit, dia adalah rubah paling licik
Sore hari tiba, Ansel bersiap-siap menuju gedung tempat penjualan berlian, tetapi sebuah chat masuk sebelum dia sempat meninggalkan rumah. [Mari bertemu di apartemen, ada hal yang ingin aku bicarakan.] Pesan singkat ini membuat Ansel mengerutkan dahi sangat heran. ‘Aku tidak mengenali nomor ini. Apa Evan?’[Siapa?] Balas singkat Ansel.[Kenapa kamu tidak menghubungiku, padahal aku sudah memberikan nomor handphoneku padamu.] Kalimat ini segera menyadarkan Ansel. ‘Apa dia wanita yang semalam. Dari mana dia tahu nomorku?’ Ansel tidak ingin mengambil resiko di dalam masalahnya yang tidak pernah selesai. Maka segera wanita itu diabaikan. Pria ini bergegas menuju tempatnya bekerja. “Aku tidak bisa ke rumah sakit karena mungkin seseorang mengintaiku. Kakak minta maaf ....” Kalimatnya tertuju pada Aisha yang masih setia menemani Adhitia. Namun, rupanya seseorang di seberang sana tidak suka diabaikan. Maka, panggilan segera mengudara pada nomor ponsel milik Ansel. “Keras kepala sekali orang
Alea sudah berada di rumah Rina, tetapi saat ini chat dari wanita itu tidak mendapatkan tanggapan dari Ansel. “Mungkin suamimu sedang bekerja. Simpan saja barangnya, tapi jangan dibuka dulu. Tapi itu hanya usulan dari ibu,” kekeh lembut Rina.Entah kenapa raut wajah dan sikap hangat Rina selalu membuat Alea merasa nyaman, seolah sedang melihat sosok ibu yang tidak pernah dilihatnya. “Iya, Alea akan menyimpannya.” Senyuman melengkapi. Cukup lama Alea mengunjungi kediaman Rina untuk membicarakan hal-hal kecil sebagaimana dengan seorang tetangga, terlebih di daerah ini hanya Rina yang bersedia berbaik hati pada keluarga kecil Ansel.Di sisi lain, akhirnya Adhitia mendapatkan izin pulang tetapi tidak sore ini. Dokter menahan pria itu hingga besok. “Kondisi tuan Adhitia sudah membaik dan bisa melanjutkan perawatan di rumah.” Cara penyampaiannya sangat santun.“Syukurlah ....” Senyuman Aisha merekah ke arah Adhitia.“Tetapi saya sarankan tuan Adhitia menjalani terapi. Bukankah kondisi tuan
Ansel tidak mendukung keputusan Deon, dia tetap bergerak saat rekannya memilih bersembunyi di dalam ruangan karyawan. Namun, ternyata malam ini memang bukan Naima yang datang, tetapi sekelompok mafia yang berhasil menjarah satu etalase berlian. Salah seorang penjaga keamanan menjadi sandera maka semua penjaga keamanan lainnya tidak dapar bergerak dengan gegabah, pun jumlah mereka lebih dari lima orang. Jadi, pada pagi harinya semua penjaga keamanan diberikan sanksi yaitu pemotongan gaji. Setiap bulan mereka harus mengganti berlian yang hilang. “Sial!” Ansel adalah orang yang paling keberatan karena hidupnya sudah di bawah rata-rata, maka dengan pemotongan gaji itu artinya kehidupannya dengan Alea akan semakin rumit bahkan mungkin semakin sekarat. “50% gaji kalian tidak akan dibayarkan hingga semua kerugian tertutupi. Satu hal lagi yang perlu kalian ingat, kami tidak menerima resign!” ucap supervisor sangat tegas di hadapan semua karyawannya tidak terkecuali. Maka, upah Ansel menjadi
Sopir memberikan laporan tentang Adhitia dan Aisha, tetapi selain itu dia juga mengatakan jika Ansel bersama mereka, tetapi Evan menanggapinya dengan santai toh dia sudah berhasil memaikan iparnya semalam. Adhitia menyukai tempat barunya ini karena selain bisa terbebas dari pengapnya perbuatan Evan, dia juga dapat mengenang masa bahagianya ketika anak-anaknya masih sangat kecil. Dulu Ansel dan Aisha dibesarkan di sini oleh tangan lembut sang istri. Begitupun dengan Ansel dan Aisha, keduanya seakan bernostalgia. “Sejak pindah ke rumah, jarang sekali kita mengunjungi rumah pertama,” ucap pria ini pada adiknya. “Iya, karena Aisha merasa lebih nyaman di sana.” Senyuman bahagianya, tetapi diakhiri dengan senyuman sendu karena sekarang tempat yang dianggap lebih nyaman sudah berubah menjadi tempat penyiksaan. Lagi, Ansel harus mencoba menekan kesedihan yang dirasakan adiknya. “Sampai berapa lama papa dan adikku di sini, hm ...,” godanya bersama tawa kecil hingga Aisha ikut ke dalam suas