Marren mencoba mengabaikan pesan kode rahasia dari Arland. la hanya ingin fokus memperbaiki hubungannya dengan Arsan yang tiba-tiba memburuk karena saling salah paham.Marren menghela napasnya dengan berat seraya menghapus pesan masuk dari Arland. 'Saya merasa semua ini harus dihentikan dan harus diakhiri sampai di sini. Entah benar atau tidak, Saya merasa orang-orang itu meninggal karena korban dari dalang di balik tragedi itu. Dan sepertinya orang ini terlalu besar dan kuat untuk dijamah,' pikir Marren dengan wajah lelah. Marren menghela napas dengan berat, tanpa diketahuinya Arsan telah berada di belakangnya dan memperhatikan setiap gerak geriknya yang terlihat gelisah seraya sesekali memandang ponselnya. Dan karena melihat Marren yang melamun tak berdaya membuat Arsan berniat sedikit menjahilinya.'Arsan juga tak sekali pun mengirim pesan, apalagi menelepon. Dia pasti semarah itu denganku.''Oh, ya ampun, Saya harus bagaimana lagi sekarang?' pikir Marren seraya meletakkan ponse
"Arsan, apa maksudmu? Tolong jangan seperti ini," elak Marren berpaling menatap wajah Arsan. Mereka saling menatap dalam diam. "Tolong, jangan membuat semuanya menjadi lebih rumit, Arsan," tegur Marren dengan wajah sendu. "Entahlah. Maafkan Saya, Saya hanya merasa terkadang kamu begitu membenci Saya tapi terkadang...." Ucapan Arsan terhenti seketika karena Marren menggigit bibir bawah Arsan dan menariknya dengan gemas."Ya, Saya sangat membencimu, bahkan Saya ingin melahapmu sampai tak tersisa," ucap Marren berbisik di bibir Arsan dengan mata nyalang menantang. Arsan terkekeh senang, "Begitu? Baiklah, as you wish my lady," sahut Arsan mengangkat tubuh Marren ke atas meja dan melumat bibir Marren dengan penuh gairah.Sementara tangannya menggenggam kedua tangan Marren. Mereka saling memagut seolah saling melahap satu sama lain karena kelaparan. Hingga gerakan Arsan yang ingin menarik kaki Marren melingkari pinggangnya malah menyenggol air teh yang disiapkan Marren untuknya.Gelas
Marren meletakkan ponselnya dengan gelisah setelah membaca pesan rahasia dan berbicara dengan arland melalui nomor barunya. Wanita cantik itu merasakan sesak di dadanya setiap kali mendengar suara Arland yang kini selalu menghantuinya dengan fakta-fakta yang mencengangkan sekaligus menakutkan. Dalam dilema yang semakin lama semakin membuatnya merasa terimpit dan ingin meledak sewaktu-waktu, apalagi setiap kali ia menatap wajah Arsan dan setiap kali Arsan menyentuhnya penuh cinta. Membuat Marren semakin tak bisa lagi menahan diri untuk lepas dari semua kemelut yang ada.Apalagi setelah ia menyadari, seseorang yang ia hadapi bukanlah seorang yang pemaaf, namun seseorang yang terlalu kuat dan nekat melakukan segala macam cara untuk menutupi kebusukannya. Dan Marren tak mau mengambil risiko demi ibunya. "Kenapa Arland bersikap begitu memaksakan diri semua ini harus terkuak? Walau bagaimanapun itu tak akan mengembalikan Daddy dan Kakek. Juga orang tua mereka. Lagi pula orang-orang it
Sore hari seperti biasa Marren sudah menyelesaikan semua tugas kuliah, ia bergegas menemui Ibunya yang sedang sibuk di dapur. ''Marren? apa yang kamu lakukan, Nak? Sudah biar Mama saja. Kerjakan saja tugas kuliahmu" tegur mommy Marren yang melihat putri semata wayangnya itu meraih rendaman baju kotor yang siap di cuci. "Marren sudah selesai semua, Mom. Mommy yang harusnya istirahat, Mom sudah seharian ini bekerja, Marren tidak mau Mommy nanti sakit.'' Marren segera menggandeng tangan Ibunya dan membawanya ke ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah kecil itu. Meyda menepuk pipi putrinya dengan sayang, wanita itu menuruti perintah Marren dengan senyum mengembang. "Iya, iya... Galak sekali, Putri Mommy ini..." keluh wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu menerima tangan Marren yang membimbingnya masuk rumah. ''Biar saja, daripada Mommy sakitnya kambuh lagi, Marren tidak mau. Lagian ini juga Mommy masih terima cucian lagi sih? Kan Marren sudah kerja.
Marren sesegera mungkin meninggalkan warung makan dan segera berlari pulang dengan jalan memutar, ia tak mau mengambil risiko ia akan di culik diam-diam saat ia melewati lahan kosong. Sambil membawa beberapa camilan ia mengetuk pintu dan mengucap salam sebelum masuk. "Sayang, ke mana saja kamu, Nak? Kenapa lama sekali baru pulang?" Tanya Mommy-nya dengan wajah yang sangat terlihat panik. "Maaf Mom, tadi Marren berjalan-jalan di pasar malam, Marren bawa camilan untuk Mommy. Tadi dapat bonus lumayan. Mereka baik ya Mom, yuk makan" jawab Marren sedikit berbohong untuk menghilangkan kekhawatiran sang Mommy. "Ya sudah kalau begitu. Mommy khawatir jika Marren belum pulang, mana tidak bawa handphone lagi kamu, Nak!" "Hah! Iya Maaf Mom, Marren pikir cuma sebentar." Marren membuka roti bakar coklat yang masih menguarkan asap panas dan wewangian makanan itu. "Mom... Tuan Jack itu siapa? Kok Mommy bisa punya pelanggan itu? Baru kali ini kan Mommy mencuci bajunya?" Marren mulai
Sesampainya dalam kelas, dengan kesal Marren menghempaskan tubuhnya. Wira terheran-heran menatap sahabatnya yang terlihat kacau dan berantakan."Pagi Ren, ada apa kamu? Tidak seperti biasanya kamu terlambat?" "Saya sedang kesal! Dan... Ah... Ini kenapa harus terbawa?" Marren tersadar bahwa ia masih membawa sapu tangan Pemuda tampan itu di tangannya saat ia akan mendekap wajahnya. Buru-buru ia memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas selempangnya dan mengambil botol minuman dari dalam tasnya.la minum dengan sangat puasnya, hal itu membuat Wira terkekeh geli melihat Marren terengah setelah hampir menghabiskan setengah botol air minumnya."Jadi?" "Ya, jadi hari ini Saya dua kali berkelahi dengan preman! Yang satu karena dia menjambret tas dan satu lagi karena menolong bocah dipalak tapi malah dia seolah-olah 'tidak apa-apa kok, duit kecil ini! Benar-benar menyebalkan! Sumpah! Dan siapa pula dia?" Marren bersandar dengan kasar sambil menutup botol minumnya lalu memasukkannya kembali
Seperti biasa seusai kuliah Marren langsung menuju sebuah restoran yang ada di sebuah mall kecil yang terletak tak jauh dari Kampusnya. Marren segera menuju ruang karyawan untuk berganti pakaian. Kini gadis itu telah berganti seragam pramusaji restoran. Marren menyapa beberapa rekan kerja dan seorang manajer restoran yang sangat mengenalnya dengan baik. "Hai Ren, apa kabar hari ini?" sapa Manajer yang sedang duduk di sebuah ceruk ruang karyawan melepas kesibukannya dengan pembukuan yang ada di hadapannya. "Baik Pak! Sangat baik!" jawab Marren dengan antusias yang membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan bertampang maskulin itu mengangkat wajahnya dari aktivitasnya. menatap lembaran bon dan buku kas. "Hei, ada apa? Sepertinya kamu sedang sangat bersemangat, ya?" Pak Evan meneguk kopinya dengan senyuman khasnya yang membuat aura maskulinnya terlihat lebih ramah. "Marren kan memang selalu kelebihan energi pak! Seperti baterai Kelinci itu Pak!" sahut Radi yang sedang me
''Ya Tuhan... Kumohon pertolongan-Mu, tolong selamatkanlah Mommy..." Marren mulai menitikkan air mata. Sekuat apa pun dia jika sesuatu menimpa Mommy-nya, ia akan hancur berkeping-keping. Segala yang ia lakukan demi kebahagiaan Mommy-nya yang kini sakit-sakitan akibat jantung lemah sejak kepergian Daddy Marren yang mengalami sebuah kecelakaan pesawat dalam perjalanan bisnis bersama Kakeknya, serasa tak ada artinya jika ia tak bisa menjaga Mommy-nya dengan benar. Dan kini Mommy-nya berada dalam bahaya di tangan seorang penculik atau bahkan lebih dari satu orang. ''Tidak! tidak ada waktu untuk menangis! Aku harus kuat demi Mommy, apa pun yang terjadi. Aku harus bisa menyelamatkan Mommy!" Sumpah Marren kepda dirinya sendiri. Gadis itu berlari ke gerbang utama rumah susun dan berdiri menunggu dengan tenang. Benar saja, tak berapa lama kemudian sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap memasuki jalanan rumah susun sederhana yang mengesankan pemandangan yang sangat kontras