Jantung Marren berdegup sangat kencang, akan tetapi Marren segera menguasainya agar Arsan tidak merasakan segala kegelisahannya itu."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa kamu sedang menuduh Saya?" Marren balik bertanya menanggapi pertanyaan Arsan. Arsan menghela napas panjang, "Bukan seperti itu, Marren. Maksud Saya, kalau kamu ada masalah tentang diri Saya yang tidak berkenan di hatimu, sebaiknya kamu jujur saja pada Saya. Agar, Saya tahu harus bagaimana. Saya tidak mau melihatmu sakit seperti kemarin. Kamu pikir bagaimana perasaan Saya saat melihatmu pingsan, tergeletak di lantai?" papar Arsan dengan tatapan penuh dengan kekhawatiran. "Untung saja kemarin kamu tidak terluka. Coba hagaimana kalau kepalamu terbentur atau semacamnya? Kamu pikir Saya idtak panik? Kamu pikir saya tidak khawatir? Rasa-rasanya Saya tidak mau sedikit pun memejamkan mata sebelum kamu terbangun," Imbuh Arsan berbicara dengan wajah bersungut-sungut dan membuat Marren mengemyit menahan kedukaan di wajah ca
Siang itu, Marren telah berada di sebuah mall untuk makan siang bersama Arsan.Tidak berapa lama Wira datang dan bergabung bersama mereka. "Baiklah, sudah waktunya Saya pergi. Bersenang-senanglah kalian. Sayq akan kembali ke kantor," sahut Arsan pada Marren dan Wira. Arsan mengecup lembut pipi dan bibir Marren, "Jaga dirimu, jangan terlalu lelah," ucap Arsan dengan lembut pada Marren yang menatapnya dalam. "lya, terima kasih, Arsan. Kamu juga, ya, Saya tidak akan lama, hanya menemani Wira mencari buku lalu langsung pulang," sahut Marren membalas kecupan di bibir Arsan.Sebelum Arsan akhirnya beranjak pergi seraya menyapa Wira sekedarnya. "Sekarang Saya paham kenapa kamu sampai sakit seperti itu, Marren. Arsan seorang suami yang begitu sempurna. Dan bahkan saya merasakan bagaimana ia sangat mencintaimu hanya dengan menatapnya saja. Rasa cintanya terlalu jelas untukmu, Marren," ucap Wira sepeninggal Arsan.Mereka masih menatap sosok Arsan dari belakang yang berjalan menjauh menuju
Sesampainya di rumah, Marren yang sudah bisa menguasai dirinya, berjalan tertatih-tatih diiringi Wira.Sementara Arland memarkirkan kendaraannya. Melihat rombongan yang tidak biasa itu, Madya segera menyongsong Marren yang terlihat pucat pasi. "Ada apa ini? Apa yang sudah terjadi? Oh, apa Marren kambuh lagi?" cecar Madya terlihat panik diikuti oleh para pelayan rumah. Melihat kondisi Marren yang tak baik-baik saja para pelayan berinisiatif mengambilkan minuman untuk Marren dan para tamu. "Kami melihat kecelakaan maut. Tante. Di depan mata kami. Dan Marren sangat syok karena itu," sahut Wira yang kini ikut duduk di sofa tunggal bersebelahan dengan Marren yang kini duduk bertelekan kepala sofa.Wira menceritakan secara detailnya kepada Madya yang membelalak kaget, bertepatan Arlqnd memasuki rumah. "Oh, Arland, terima kasih, Nak. Kamu datang tepat pada waktunya," ucap Madya berterima kasih dan menyambut Arland dengan memberinya pelukan. "Iya, Ma, sebenarnya saya juga tak sengaja ke
Seharian itu Marren hanya bisa gelisah menunggu kepulangan Arsan, dua kali ia menghubungi nomor ponselnya tidak sekali pun Arsan mengangkatnya. Marren menatap jam dinding yang bertengger di dinding ruang tengah, di mana ia duduk menunggu Arsan seraya menonton televisi. Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih dua puluh lima menit malam. Sejak pukul sembilan para asisten rumah tangga telah berada di kamar masing-masing karena mereka harus bangun lebih awal dari para majikan. "Sudahlah, Nak, sebaiknya, Marren tidur lebih dulu. Mungkin Arsan sedang sibuk dengan keluarga Tuan Wilson, Mungkin Arsan sibuk mengurusi administrasi jenazahnya," Hibur Madya yang melihat Marren tak bisa menutupi gelisahnya setelah panggilan teleponnya tidak mendapatkan respons dari suaminya. "Iya, Mom, tapi Marren belum mengantuk. Sebaiknya Mommy tidur, ya. Sebentar lagi mungkin Arsan akan pulang," sahut Marren seraya berdiri mengantarkan ibunya ke kamar. Dan benar saja, tidak berapa lama Madya memasuki kamar, t
"Apa, maksudmu?" ulang Arsan perlahan seolah menegaskan perkataannya."Jangan berpura-pura tak paham, banyak pasangan yang menuduh pasangannya berselingkuh, tapi itu hanya sebagai dalih, padahal dialah yang sebenarnya berselingkuh," papar Marren dengan wajah kesal. "Saya tidak menuduhmu. Saya hanya bertanya kenapa kamu menemui Arland di belakang Saya? Bahkan setelah Saya melarangmu. Itu saja," elak Arsan dengan tatapan dingin "Seharusnya Kamu cukup bilang pada Saya, itu tidak sengaja. Tapi, kamu terlalu banyak bicara dan bahkan menangis seperti ini" imbuh Arsan seolah dalam satu tarikan napas. Marren tercekat mendengar ucapan Arsan yang sinis dan terdengar sarkasme. Itu tandanya kemarahan Arsan telah memuncak. Dan Marren lebih memilih diam tanpa menjawab."Kenapa diam?" tegur Arsan dengan mendesak, tidak henti-hentinya menatap tajam Marren."Apalagi yang harus saya katakan? Semua ucapan Saya tak ada artinya buatmu. Semua penjelasan saya tak berguna untukmu. Yang kamu butuh hanya p
Marren mencoba mengabaikan pesan kode rahasia dari Arland. la hanya ingin fokus memperbaiki hubungannya dengan Arsan yang tiba-tiba memburuk karena saling salah paham.Marren menghela napasnya dengan berat seraya menghapus pesan masuk dari Arland. 'Saya merasa semua ini harus dihentikan dan harus diakhiri sampai di sini. Entah benar atau tidak, Saya merasa orang-orang itu meninggal karena korban dari dalang di balik tragedi itu. Dan sepertinya orang ini terlalu besar dan kuat untuk dijamah,' pikir Marren dengan wajah lelah. Marren menghela napas dengan berat, tanpa diketahuinya Arsan telah berada di belakangnya dan memperhatikan setiap gerak geriknya yang terlihat gelisah seraya sesekali memandang ponselnya. Dan karena melihat Marren yang melamun tak berdaya membuat Arsan berniat sedikit menjahilinya.'Arsan juga tak sekali pun mengirim pesan, apalagi menelepon. Dia pasti semarah itu denganku.''Oh, ya ampun, Saya harus bagaimana lagi sekarang?' pikir Marren seraya meletakkan ponse
Sore hari seperti biasa Marren sudah menyelesaikan semua tugas kuliah, ia bergegas menemui Ibunya yang sedang sibuk di dapur. ''Marren? apa yang kamu lakukan, Nak? Sudah biar Mama saja. Kerjakan saja tugas kuliahmu" tegur mommy Marren yang melihat putri semata wayangnya itu meraih rendaman baju kotor yang siap di cuci. "Marren sudah selesai semua, Mom. Mommy yang harusnya istirahat, Mom sudah seharian ini bekerja, Marren tidak mau Mommy nanti sakit.'' Marren segera menggandeng tangan Ibunya dan membawanya ke ruang tengah sekaligus ruang tamu rumah kecil itu. Meyda menepuk pipi putrinya dengan sayang, wanita itu menuruti perintah Marren dengan senyum mengembang. "Iya, iya... Galak sekali, Putri Mommy ini..." keluh wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu menerima tangan Marren yang membimbingnya masuk rumah. ''Biar saja, daripada Mommy sakitnya kambuh lagi, Marren tidak mau. Lagian ini juga Mommy masih terima cucian lagi sih? Kan Marren sudah kerja.
Marren sesegera mungkin meninggalkan warung makan dan segera berlari pulang dengan jalan memutar, ia tak mau mengambil risiko ia akan di culik diam-diam saat ia melewati lahan kosong. Sambil membawa beberapa camilan ia mengetuk pintu dan mengucap salam sebelum masuk. "Sayang, ke mana saja kamu, Nak? Kenapa lama sekali baru pulang?" Tanya Mommy-nya dengan wajah yang sangat terlihat panik. "Maaf Mom, tadi Marren berjalan-jalan di pasar malam, Marren bawa camilan untuk Mommy. Tadi dapat bonus lumayan. Mereka baik ya Mom, yuk makan" jawab Marren sedikit berbohong untuk menghilangkan kekhawatiran sang Mommy. "Ya sudah kalau begitu. Mommy khawatir jika Marren belum pulang, mana tidak bawa handphone lagi kamu, Nak!" "Hah! Iya Maaf Mom, Marren pikir cuma sebentar." Marren membuka roti bakar coklat yang masih menguarkan asap panas dan wewangian makanan itu. "Mom... Tuan Jack itu siapa? Kok Mommy bisa punya pelanggan itu? Baru kali ini kan Mommy mencuci bajunya?" Marren mulai