Seketika aku menjatuhkan diri ke tanah, lalu bergulung ke belakang.“Agh!” teriakku mengiringi jantung ini yang serasa hendak terbang."Boom!"Kaki patung hitam itu menghantam tanah di depanku dengan keras.Permukaan bumi Anbar di halaman gedung utama ini melesak.Untung saja tubuh patung bergerak itu besar, jadi kecepatannya lebih pelan daripada gerak tubuhku yang kecil.Phuh!Sedetik saja terlambat, aku pasti sudah gepeng di bawah tapak kaki patung bergerak itu.Aku kembali bangkit.Dengan pola lari zig zag, aku terburu berlari mendekati gerbang utama gedung sihir ini.“Hah!” teriakku kencang.Aku terpental dua meter ke arah depan.Ternyata, pola yang mungkin membingungkannya membuat patung hitam dengan mata menyala itu memukulkan kepalan tangannya ke arahku.Walaupun bersyukur, hantaman bagian bawah kepalan tangannya itu tak mengenai tubuh ini, tapi tetap saja, jatuh terpental seperti ini sakit.Patung hitam bergerak yang mungkin akhirnya melihatku dengan lebih jelas ini terus meny
Pak Badzan terkekeh, mungkin ia memperhatikan reaksi tubuhku.“Begitu efek gerak mobil ini bagi tubuh jenis manusia murni. Awalnya Daffar juga seperti itu,” komentar Pak Badzan datar.Oh! Jadi, begitu.Pantasan Daffar lebih memilih menggunakan kereta kuda dibanding menggunakan mobil seperti ini ketika kami mengunjungi pertemuan di gedung utama Anbar ketika itu.Aku berusaha menggunakan kekuatan yang berada dalam tubuhku untuk menghentikan efek sihir itu. Tapi, sepertinya memang materi tubuh jenis manusiaku memiliki reaksi alami layaknya manusia yang ada di Shrim.Kekuatan sihir dari mobil ini tidak digunakan untuk menyerangku, tapi aku berada di atas kekuatan sihir ini, menungganginya.Jika tarikan di lift bisa hilang begitu kekuatanku muncul, laju mobil yang kencang yang pasti memiliki kekuatan sihir lebih banyak menghalangi itu.Akhirnya aku hanya bisa diam menenangkan diri. Mencoba berdamai dengan tarikan dan beban berat di kepala ini.Ini tidak seberat ketika pertama kali melintas
Seketika gerakan tangan ini terhenti.Langkah kaki Daffar kian mendekat.“Anneth,” panggilnya penuh penekanan.Aku menurunkan tangan, mengembuskan napas dalam yang membuat bahu bergerak turun, lalu menoleh dengan kaku tanpa langsung menatap wajahnya.“Menyenangkan sekali bisa menemukanmu di Omega Lab dalam masa cuti panjang mu yang tak terbatas,” sindir Daffar lembut.Aku menghela napas dalam ketika apa yang dititahkan penguasa Ardasyr seolah menyalakan alarm peringatan.“Neth,” gumam Allen lirih sambil menepuk bahu ini.Aku menoleh ke arah Allen dan menatapnya dengan tatapan kosong.“Tuh!” seru Allen pelan sambil menggerakkan sedikit kepalanya ke arah Daffar.“Anneth,” ulang Daffar meminta perhatian pada aku yang belum juga menatapnya.Aku terpaksa mengangkat pandang.Jujur, bukan aku nggak mau menatap wajahnya yang super super guanteng itu, aku hanya merasa kalut dalam pikiran ini bahkan sejak pertama kali mendengar suaranya tadi.Daffar tersenyum manis.“Ini bukan apa yang disebut
“Sebenarnya, aku juga nggak ingin melakukan itu, tapi nggak mungkin aku biarkan mereka membuatmu sebagai kelinci percobaan untuk pengujian Darah Malaikat secara langsung,” jelasnya dengan berat.Aku menelan ludah.“Hei,” ujarnya sambil sekilas melihat ke arahku.“Emang ada di dunia ini di mana seorang laki-laki yang membiarkan calon pengantinnya menderita di tangan orang-orang seperti para petinggi Anbar itu?” lanjutnya sambil mengerling.Ah!Gimana hati ini nggak tambah berat mendengar itu?“Lagian sang calon pengantin ini belum sempat menjawab lamaranku, jadi dalam masa menunggu itu aku tetap nggak akan membiarkan siapapun mengganggu calonku,” imbuh Daffar. Lalu, ia terkekeh.Wajah Daffar terlihat sedikit lebih cerah, awan-awan mendung itu pelan-pelan menyingkir dari wajah ganteng itu.Kata-kata Daffar yang harusnya membuatku bahagia sampai ke angkasa itu, saat ini justru membuatku makin sakit.Aku harus berdiri di batas senang dan sakit yang menggurat panjang dalam hati ini.Aku ke
Siku ku menempel di bahu Daffar.Kemudian, aku menggerakkan telapak tangan ke depan dada laki-laki yang memabukkan semua orang yang melihatnya ini.Kini telapak tangan kanan ku berada sejengkal di depan dada Daffar.Telapak tangan ini bergerak mundur sejengkal ketika dalam pikiran ini mengukur panjang belati dua dimensi itu jika keluar dari dalam tempat bersemayamnya di tangan kanan ku.Sejenak aku memejamkan mata.Sampai di batas mana jika belati itu masuk dalam tubuh Daffar?Agh!Aku baru membayangkan, tapi mendadak rasa sakit yang terasa begitu menusuk jantung terasa.Uh! Ternyata menusukkan belati dua dimensi itu ke jantung Daffar sama juga dengan menusukkannya ke jantung ku sendiri.Agh!Bagaimana ini?Aku membuka mata dan menunduk untuk menatap wajah Daffar.Laki-laki itu memejamkan mata dengan ekspresi wajah setenang bayi.“Daffar,” panggilku mengusik ketenangannya.Bola mata dalam kelopak mata yang tertutup itu bergerak-gerak, tapi mata itu tetap terpejam.“Em,” gumamnya lembu
Sepertinya satu anomali terjadi!Apa yang biasa terjadi hanya di Anbar atau Ardasyr menyisir ke kota manusia, Shrim.Aku berdiri dengan tegang.Otak ini ingin menebak apa yang sebenarnya terjadi dengan air laut itu, tapi tak satu pun penjelasan yang masuk akal terlintas dalam pikiran.“Keluarlah!” seru Daffar tiba-tiba.Dan seketika satu makhluk menyeramkan berwujud setengah manusia setengah gurita muncul dari gelombang yang beku di atas permukaan laut itu.Aku tercekat.Mata ini sudah berusaha terbiasa melihat penampakan tak sempurna dari penduduk Anbar, tapi tetap saja, melihat yang satu ini membuat diri ini menahan napas.Wujud manusia yang memiliki tentatel gurita itu menyabetkan satu tentakelnya ke arah ku. Tapi, dengan cepat Daffar mengangkat tangannya, menahan serangan itu.Aku terpaku, diam tak bergerak.Tunggu!Aku memang Darah Malaikat yang tak mempan oleh sihir dua dunia, baik dunia sihir maupun dunia penengah.Tapi, jika aku diserang seperti itu, bagaimana aku harus melawa
Aku menegakkan punggung mencoba menganalisa kepanikan Sinna.“Aa!” jerit Sinna terkejut.Lalu, suara jeritan Sinna disusul dengan tangisan bayi.Kedua bahuku tegang mendengar tangisan bayi comel yang biasa aku gendong itu.“Sinna!” seruku menuntut penjelasan lebih lanjut.Brakk!Suara sesuatu yang terjatuh menambah kepanikanku meninggi.“Sinna, ada apa?!” tanyaku panik.“Cepat ke sini! Cepat!!” teriak Sinna di antara napasnya yang ngos-ngosan.Teriakan Sinna dibarengi dengan tangisan bayinya.Sepertinya Sinna sedang berlari sambil menggendong bayinya.“Mereka mencarimu!” teriak Sinna dengan panik.“Mereka? Siapa?!” tanyaku ikut panik.“Entah, orang-orang aneh!” teriak Sinna dengan suara gemetar.Mataku membelalak.“Orang-orang aneh?” gumamku pelan.Hah?!Anbar?Orang-orang Anbarkah?Mereka mencariku ke tempat Sinna?Kurang ajar!Nggak mungkin!“Daffar, aku harus segera pergi dari sini!” teriakku sambil menyambar tas ranselku dengan telepon masih menempel di telinga.“Ada ap-”Aku ngga
“Anneth!” panggil Daffar kencang.Aku menoleh ke arah laki-laki tinggi tegap itu yang sedang hendak mengangkat tangannya.Aku nggak tahu apa yang hendak dia lalukan, tapi sepertinya ia membaca kebingunganku.Tangan Daffar terangkat, lalu telapak tangan itu membuat gerakan seperti menarik sesuatu.Eh!Aku menoleh ketika dari arah apartemen melayang satu papan kayu yang sepertinya berasal dari salah satu balkon yang ada di sana.Papan kayu bulat seukuran meja kecil berdiameter lima puluh centimeter itu mendarat tepat di depanku.Ah!Aku paham maksud Daffar.Aku segera melompat ke atas papan kayu itu.Daffar tahu, tubuhku tak akan berpengaruh dengan sihirnya, jadi dia menggunakan papan kayu yang mungkin sebelumnya adalah sebuah alas meja milik salah satu penghuni apartemen ini untuk menjadi alas pijakan.Dengan begitu Daffar bisa mengirimkan tenaga sihirnya untuk mengangkatku ke atas jalan dari bunga es yang seolah memiliki tiang-tiang penyangga yang tak terlihat itu.Daffar menggerakkan