Ini terjadi lagi!Hal yang sama terulang.Bersamaan dengan memelannya guncangan, dinding-dinding yang penopang gedung utama Anbar ini seperti menipis, lalu berubah menjadi transparan.Kembali, mata ini dapat menyaksikan seluruh isi gedung utama Anbar ini.Aku mendongak ke atas dan melihat patung tinggi besar yang mengambang itu kini sedang merentangkan tangan.Di seluruh badannya diselimuti kobaran api yang menyala. Kepala patung bergerak itu mengambang sedangkan mulutnya terbuka seolah sedang meneriakkan kemarahan.Aku bertanya-tanya.Patung ini hanya simbol yang disapu dengan kekuatan sihir Anbar? Atau memang salah satu jenis iblis yang diwujudkan dalam patung? Atau ... jelmaan makhluk yang disebut sebagai Sang Penjaga Agung?Tiba-tiba, patung itu berputar, kemudian tubuhnya merunduk dengan pelan.Dan kini, kepalanya berada di atas penduduk Anbar yang sedang berada di halaman gedung ini, termasuk aku.Aku menunduk ketika mata nyalangnya melihat satu per satu orang-orang yang berada
Kenapa Ghassan melihat ke arahku?Eh!Mungkin dia melihat ke arah Daffar yang duduk merapat ke arahku.Aku menepis rasa curiga.“Utusan penjaga agung mengatakan bahwa penjaga agung bisa merasakan dengan kuat keberadaan Si Darah Malaikat ini. Hanya saja, ia merasa ada sesuatu yang besar yang menghalanginya untuk melihat keberadaan pembawa bencana bagi Anbar ini." Ia menjeda kata."Bahkan, utusan penjaga agung sendiri merasa telah bersentuhan dengan Si Darah Malaikat ini. Dan sentuhan itu mengakibatkan satu goncangan besar dalam kekuatan sihirnya,” papar Ghassan masih sambil menatap ke arah sini.“Dan yang membuat penjaga agung dan utusannya murka, dalam jarak sedekat itu, seolah mata keduanya dibutakan oleh sesuatu sehingga tidak dapat menunjuk di mana sejatinya Si Darah Malaikat itu berada,” tuturnya dengan nada marah yang tertahan.“Dan ...,” ucap Ghassan penuh penekanan.“Aku dan dua penopang kekuatan sihir Anbar telah mengetahui sesuatu,” sambung Ghassan dengan nada marah.Aku meli
Pintu lift tertutup. Aku meletakkan kedua tangan ini untuk menjauh dari pelukan Daffar. “Anneth,” ucap Daffar khawatir. Kedua tangan laki-laki tinggi tegap ini berada di kedua bahuku. “Aku-” Lift mulai bergerak, ucapanku terhenti. Agh! Tarikan ini memang kuat sekali. Berbeda dengan kedatangan ke Anbar di mana lift bergerak ke belakang, di kepulangan ini, lift bergerak ke arah depan. Aku yang sedang berdiri menghadap ke depan otomatis terhuyung ke samping, ke arah pintu lift. “Sini!” seru Daffar dengan cepat. Kedua tangan Daffar seketika menarikku ke pelukannya. Aku memejamkan mata. Tarikan yang seperti terasa ke bagian dalam kepala ini benar-benar kuat. Beberapa kali aku harus menghentak-hentakkan kepala ini hingga menabrak dada Daffar karena walaupun tubuhku dipeluk tangannya, tarikan itu begitu terasa menyerang kepala. Mungkin Daffar memperhatikan setiap reaksi yang kualami, ia memindahkan satu tangannya ke kepala ini dan seketika itu tarikan itu memudar. Efek tarikan
Daffar kembali tersenyum.“Begitulah, aku dan Mazdak selalu berada dalam hubungan seperti itu,” jelas Daffar dengan sangat nggak jelas.“Nggak! Aku nggak mau tahu! Aku nggak mau lagi berhubungan dengan hal aneh itu! Aku ingin kembali ke kehidupan normalku. Kalau tak dapat lagi bekerja di laboratorium, aku bisa bekerja di mana saja,” tegasku bersikeras.Sesaat bayangan usaha yang baru kurintis bersama teman-temanku menyeruak, tapi aku segera menepisnya demi menjauh dari seluruh keanehan yang beberapa saat ini kualami.Dan lagi, jika aku terus berada dalam project Darah Malaikat di departemen khusus itu, jika pemilik specimen darah itu ditemukan, aku akan menyaksikan atau setidaknya aku akan turut mengantarnya ke pembantaian yang sesungguhnya.“Tidak!” ulangku tegas.“Aku akan segera mengirimkan surat pengunduran diri ke Pak Badzan,” tekadku membulat.Daffar terkekeh dan malah menatapku dengan lembut.Eh?!“Kamu lupa? Kamu sekarang berada langsung di bawah pengawasan dan perintahku, Bad
Aku hanya bisa membelalakan mata dan berseru tertahan.Kedua bahuku tegang karena vas itu bergerak dengan sangat cepat dan tak memberikan kesempatan untuk menghindar.“Ann-”Telingaku menangkap suara Daffar yang tercekat. Sepertinya laki-laki itu tak mengantisipasi tindakan yang akan dilakukan oleh Amora ketika ikatan gaibnya terlepas.Sedetik lagi salah satu hiasan dalam penthouse Daffar ini akan mengenai wajahku.Tapi ....Eh?!Satu anomali kembali terjadi tepat di depan mata ini.Vas bunga berukuran sedang itu mendadak berhenti di udara.Ini seperti bola cahaya yang terlempar nyasar ke arahku dari pertarungan Mazdak dan Daffar yang terjadi di lantai teratas gedung perusahaan Daffar.Aku mengerjapkan mata, memastikan vas itu memang benar-benar mengambang di depan mata ini seolah ada dinding tak terlihat yang memisahkan antara aku dan vas ini.Telinga ini mendengar suara Amora yang menjerit tertahan.Wet!Mendadak satu angin terasa menerpa wajahku dan bersamaan dengan itu vas keramik
Aku menatap lurus ke depan seolah di jalan aspal itu akan muncul jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam benak.Daffar terkekeh.“Jika aku tidak mengamatimu sejak awal, di mana Kamu tetap terlihat terjaga saat berada di sekitarku, tentu kejadian tadi juga akan membuatku terkejut seperti Amora. Em ... tapi, apa Kamu benar-benar nggak memiliki sesuatu atau pernah mempelajari sesuatu ... mungkin?” selidik Daffar samar.Aku mengembuskan napas panjang.“Aku hanya belajar di sekolah-sekolah yang ada di Kota Shrim seperti layaknya penduduk Shrim yang lain. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi,” jawabku tegas.Daffar mengangguk pelan.“Tak perlu terlalu dipikirkan, yang penting, sampai sekarang, Kamu baik-baik saja,” ujarnya berusaha menenangkanku.Ah ... andai bisa bersikap seperti itu. Andai aku bisa menepikan seluruh pertanyaan yang menyerang otak ini.Beberapa saat kemudian diam merajalela di antara kami, selama perjalanan ini kami berdua mungkin asik dengan apa yang riu
Daffar sedikit terperangah.“Ah ... ini benar-benar pertanyaan yang cukup mengejutkan bagiku, mengingat tak ada satu pun orang yang pernah mengajukan pertanyaan seperti itu,” jawab Daffar sambil menatap Sinna dengan ekspresi menahan senyum.“Mulai sekarang, Mister Daffar harus siap-siap menghadapi pertanyaan seperti itu. Sejak kecil, kami di sini tidak memiliki orang tua, jadi kami di sini saling menjaga,” balas Sinna dengan raut wajah yang tegas.Daffar mengangguk-angguk.“Aku akan mengingat-ingat itu mulai sekarang,” jawab Daffar sambil menyertakan senyum mautnya.“Jadi, sekarang bisa langsung dijawab pertanyaan saya?” desak Sinna menuntut.Daffar terlihat sesaat berpikir.“Em ... begini,” ucap Daffar terlihat hati-hati.“Anneth adalah pegawai Omega Lab yang ... em ... khusus ... sangat khusus. Dalam satu project yang ia tangani, ada beberapa hal yang aku sendiri harus menyertainya,” jelas Daffar samar.Sinna memundurkan posisi duduknya, lalu ia bersedekap dengan menegakkan bahu. Ma
Kini giliran aku yang menatap wajah Daffar lekat, menelisik gurat wajahnya yang mana tahu di salah satu sudutnya menyimpan satu kehaluan tersendiri.“Aku hanya menduga,” sambungnya seolah bisa menafsirkan arti tatapanku.“Phuh ...!” Daffar meloloskan satu embusan napas panjang.“Kenapa?” kejarku ketika melihat raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran.“Keunikanmu tentu akan sangat menarik para petinggi Anbar dan itu membuatku sangat cemas,” ucapnya lirih.“Dan ... sayang sekali, justru aku orang yang mengenalkan Kamu pada mereka,” sesal Daffar lirih.Aku melongo.“Itu sudah terjadi, bagaimana lagi, nggak perlu disesali,” ujarku datar.Daffar mengangguk. Lalu, ia memegang tanganku dengan lembut.“Aku benar-benar berharap Kamu tak berjarak dari pandanganku,” harapnya lembut.Aku menarik tanganku.“Kita tidak berada dalam hubungan level pegangan tangan, Bos,” ucapku menahan malu.Daffar terkekeh.“Ah ... tentu saja, di sini banyak spionase yang akan melaporkan pada Sinna,” komentar Daffa