Rasa terkejut dan lelah yang bersatu, membuat Dinda tak beranjak dari duduknya. Bahkan di saat Fahri keluar kamar dengan wajah yang sudah dicukur rapi dan wangi pun, Dinda masih bergeming di tempatnya duduk. Biasanya, Dinda suka menciumi aroma tubuh Fahri saat lelaki itu baru selesai mandi. Namun, kini ia hanya bisa menatap nanar Fahri yang berlalu dari hadapannya. Tak lama kemudian, terdengar suara mesin mobil dinyalakan, keluar dari garasi, dan pergi meninggalkan pekarangan rumah. Fahri pergi tanpa pamit, dan Dinda pun enggan menyusul keluar untuk bertanya. Ah! Ternyata rasanya seperti ini, ujar Dinda membatin. Jauh-jauh pulang, ketika sampai di rumah malah diajak ribut. Mungkin begini perasaan Da Ari setiap kali Nda selalu mencari gara-gara. Dinda masih terus saja meracau di dalam pikirannya.Hampir dua jam Dinda merenung seorang diri, tak beranjak dari tempat ia duduk tadi. Merenungi sikapnya yang juga tak pandai membawa diri. Merasa percuma semua ilmu pendekatan kejiwaan yang ia
"Dikasih nggak, nih?" tanya Anwar mengambil kembali ponselnya."Gue cabut kalau dia ngikut," pungkas Fahri dengan wajah ditekuk."Masih patah hati aja, lo, Ri!" ledek Doni."Bukan masalah patah hatinya, ngap! Bini gue kayak ada radarnya aja tiap gue ketemu Priska. Jangan sampai perang dunia lagi, ini aja gue udah pusing!" sungut Fahri."Eh! Bentar! Emangnya lo kapan ketemu Priska lagi?"Fahri mendengkus kesal. "Bulan puasa sama dua minggu yang lalu.""Oh! Jangan-jangan punggung yang di posting Priska itu lo, ya?" Anwar memajukan posisi duduknya yang terhalang meja ke arah Fahri.Kening Fahri berkerut dalam. Beberapa kali melihat akun media sosial Priska, ia tak menemukan unggahan yang menampilkan dirinya selain unggahan saat mereka masih bersama dulu. "Posting di mana emang?" tanya Fahri mengungkapkan penasarannya."Ntar—" Anwar membuka salah satu akun media sosialnya, mengetikkan nama pengguna di kolom pencarian, lalu memamerkan unggahan Priska yang menampilkan punggung Fahri kepada
Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika Fahri memarkirkan mobilnya di garasi. Meskipun lampu di ruang tengah telah dimatikan, tetapi Fahri dapat merasakan suasana rumah yang jauh berbeda dari saat ia tinggalkan tadi, aromanya lebih segar, dan terlihat bersih karena tak ada lagi tumpukan piring kotor di meja makan.Perlahan Fahri membuka pintu kamar, ruangan tersebut juga sudah gelap. Fahri kemudian menyalakan lampu, bermaksud mencari pakaian ganti di lemari. Ruangan yang mendadak terang, membuat Dinda yang semenjak tadi susah tidur nyenyak, seketika tersentak."Uda sudah pulang?" sapa Dinda dengan suara serak. "Mau Nda bikinin minuman hangat?" Dinda bergegas bangkit dari baring sembari mengucek matanya yang masih terasa berat.Namun, respon yang Dinda dapat dari Fahri sungguh di luar dugaan. Lelaki itu melengos tak menghiraukannya. Seolah suara Dinda yang bertanya hanya angin lalu. Dinda yang sedang malas mencari gara-gara, memilih diam dan kembali
Fahri terkesiap tatkala membaca pesan dari Dinda. Lama ia menatap layar ponselnya. Tadinya dia berharap pesan dari Dinda berisi permohonan maaf, bukan menerima begitu saja apa yang ia cetuskan kemarin siang. Tenggorokan Fahri tercekat. Ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Bukan takut dengan reaksi uminya, tetapi takut jika Dinda benar-benar nekat mengajukan gugatan cerai itu. Namun, Fahri enggan menjilat ludahnya sendiri. Ia masih berusaha mempertahankan egonya. Dinda tak akan berani, karena tak ingin mengecewakan umi, begitu egonya mendebat.[Ya. Nanti biar aku kasih tau umi.]Pesannya dibaca Dinda, tetapi tak lagi ada balasan. Lama Fahri memandangi layar ponselnya. Menunggu jawaban dari Dinda, tetapi benda itu tak lagi bersuara. Fahri saat itu tengah bersama Hendra, mendiskusikan rencana bisnis baru mereka. Percakapan mereka terjeda. Pikiran Fahri kini terbelah dua. Tadinya ia berharap dengan mengabaikan Dinda sementara, bisa membuat Dinda mengakui kesalahan, alih-alih menimpakan k
Langit Bandung yang sudah diselimuti gelap seolah turut menangis saat menyambut kedatangan Dinda. Rintik hujan yang cukup deras membuat Dinda terpaku di peron. Seolah tersadar dari lamunan, Dinda mengerjap beberapa kali menatap ke sekililing area stasiun. Penumpang yang tadi turun bersamanya dari kereta yang sama sudah mengurai. Mereka telah melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing. Kini tinggallah Dinda terpaku di pinggir rel, tempat ia tadi turun, tanpa tujuan. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan hampir tengah malam. Dinda kebingungan. Bodohnya ia tak tau alamat pasti rumah mertuanya. Dinda pun merutuki diri karena tak mungkin menelpon mertuanya itu tengah malam begini. Tiba-tiba ia teringat Dena—istri kakak iparnya. Gegas Dinda merogoh sling bag, mengeluarkan ponsel dan mencari nama Dena pada daftar kontak. Tak menunggu lama, Dena menjawab panggilannya. "Hai, cantik! Apa kabar?" sapa Dena dengan suara ceria dari seberang sana. "Assalamualaikum Teteh. Maaf Nda ga
"Nda yang salah emang," sahut Dinda dengan tenggorokan tercekat. Ia kembali mengerjapkan mata untuk menahan airmata yang sudah di pelupuk mata. Dinda tak lagi dapat menyembunyikan lukanya seperti biasa. Mencintai Fahri membuatnya lemah. "Nda dari awal nikah minum pil pencegah hamil."Pasangan suami istri itu saling berpandangan mendengar kalimat Dinda, tetapi mereka tak memberi komentar apa-apa. Sementara Dena merasa kalau dirinya berada di posisi Dinda, tentu akan melakukan hal yang sama. Memiliki anak tanpa dukungan suami bukan hal yang mudah. Mungkin sifat Fahri yang keras dan kekanak-kanakan lah yang menjadi penyebab Dinda melakukan hal itu, begitu pikir Dena. "Nda nggak ngomong ke uda. Terus kemarin uda nemu pil itu—" Dinda membenamkan wajah pada kedua tangannya. Membayangkan wajah dingin Fahri kemarin, membuat hatinya kembali memerih. Kedua pasangan suami istri itu masih berusaha menahan kalimatnya untuk tak berkomentar, membiarkan Dinda mengeluarkan gundahnya. Dinda kemudian
Pagi ini Dinda diantar Rudi ke rumah Emi. Dengan takut-takut Dinda membeberkan masalah rumah tangganya kepada mertuanya itu. Lama Emi tertegun setelah mendengar cerita dari Dinda. "Kalau feeling Rudi, sih, Ari sayang sama Dinda, Mi. Tapi sok ngegedein gengsi," tukas Rudi seolah berusaha mengusir gundah dari pikiran uminya, "kalau dia nggak sayang, ngapain nyuruh Dinda yang ngajuin gugatan cerai, tinggal ngomong talak aja, kelar."Emi mulai mengangguk-angguk pertanda setuju dengan pendapat putra sulungnya."Jadi sekalian aja kerjain tuh anak, biar bisa mikir dewasa dikit," imbuh Rudi, berusaha meyakinkan ibunya. "Ya kalau memang begitu, kita coba saja rencana ini. Umi juga nggak tega kalau Dinda sampai makan hati berulam jantung menahankan kelakuan si Ari," pungkas Emi kemudian. "Nda bawa laptop?" tanya Rudi setelah mendengar persetujuan dari Emi. Dinda mengangguk, bangkit dari duduk dan mengambil laptop yang ia letakkan di samping koper. Dengan cekatan Rudi mengetikkan surat pern
Keributan itu akhirnya dilerai oleh petugas keamanan hotel. Fahri memberontak berusaha melepaskan diri ketika dua orang petugas keamanan menyeretnya keluar dari lobi, dan baru melepaskannya ketika sudah berada di area parkir. Dengan napas terengah, Fahri berbalik, menatap garang pada Dinda yang ternyata sudah berada di belakangnya, yang balik menatapnya sengit. Dinda tak kalah emosi karena Fahri malah mengkambing hitamkan Gibran atas kesalahan yang dibuat oleh Fahri sendiri."Uda ngapain ke sini?" tanya Dinda dengan kedua tangan terlipat di dada. "Sudah tidak sabar mau jadi duda? Uda tenang saja, surat pernyataan cerai yang Uda minta sudah Nda siapkan. Tadinya minggu depan mau Nda kasih ke Uda. Tapi, berhubung Uda sudah ada di sini, sekalian saja Uda tanda tangani." Dinda bergegas membuka tas laptop yang tersampir di bahunya, mengeluarkan secarik kertas dari map plastik, dan menyodorkannya ke tangan Fahri. Penerangan di area parkir yang tidak terlalu terang membuat bias kejut di waja