Saat terbangun, Fahri gelagapan karena sisi ranjang yang ditiduri Dinda telah kosong. Gegas Fahri bangkit dari baring menuju pintu kamar mandi dan mengetuk pintu yang terbuat dari kaca sandblasted di depannya dengan panik sambil memanggil nama Dinda. "Uda kenapa?" tanya Dinda saat membuka pintu kamar mandi dan melongokkan kepala yang terbungkus handuk. "Kebelet," ringis Fahri malu mengakui bahwa ia takut kembali ditinggalkan Dinda. Tentu saja gengsinya masih belum sepenuhnya hilang. Dinda mengulas senyum jail. "Bukan karena takut Nda tinggalin, kan?"Fahri cengengesan. "Salah satunya." Fahri dengan terpaksa mengakui, daripada Dinda kembali ngambek dan kembali pergi."Uda berangkat jam berapa?" tanya Dinda sebelum Fahri menutup pintu kamar mandi. Fahri urung menutup pintu. "Kemana?""Ngantor.""Uda nggak masuk hari ini, mau di sini aja dulu sama Nda.""Ih! Nda kan diklat, ngapain Uda di sini? Ntar bengong-bengong sendirian malah kesambet!""Kan ntar istirahat bisa ketemu lagi." Fah
Dengan berat hati, akhirnya Fahri meninggalkan hotel setelah dipaksa Dinda untuk berangkat kerja. "Nggak baik melalaikan tanggung jawab, Uda. Jangan sampai perusahaan malah merugi kalau nggak diurus dengan baik." Begitu kata Dinda saat Fahri masih bersikeras untuk tinggal lebih lama di hotel bersama Dinda.Dinda mengantar Fahri hingga ke mobil. Bukan hanya Fahri, Dinda pun sebenarnya merasa berat hati berpisah setelah semalam lelaki itu memperlakukannya dengan baik, hingga nyeri haid yang begitu menyiksa tak lagi ia rasakan saat bangun pagi ini. "Hati-hati di jalan, Uda," ucap Dinda saat Fahri menyalakan mesin mobil. Fahri membalas dengan menunjuk pipinya dan menyodorkan ke arah Dinda. "Apaan?" tanya Dinda kemudian mengulum bibir. "Kiss," balas Fahri dengan senyum yang ditahan. Dinda menggeleng malu-malu. "Kan tadi udah.""Lagi.""Malu dilihat orang Uda.""Biarin, sama istri sendiri," ujar Fahri setengah memaksa. Setelah memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka, buru-buru
"Gosip yang aku dengar, Pak Gibran di-cut jadi pemateri gara-gara masalah dengan suamimu kemarin," tukas Nunik saat Dinda mengungkapkan rasa penasaran akan absennya Gibran selama seminggu ini. Nunik memang selalu terdepan dalam mendapatkan informasi seputaran kabar yang off the record selama pelatihan."Makanya grup cewek-cewek fans Pak Gibran makin jutek sama kamu, idolanya sampai nggak ngisi kelas." Nunik terkekeh-kekeh saat mengatakan hal itu. Dari semua peserta pelatihan perempuan, hanya Nunik yang masih terasa bersikap netral pada Dinda. Sisanya ada yang terang-terangan menunjukkan rasa tak sukanya, ada pula yang hanya berani menyindir-nyindir."Tapi kok dari pihak panitia nggak ada konfirmasi ke aku, ya? Kan masalahnya juga belum jelas. Lalu kenapa Pak Gibran sendiri yang kena imbasnya." Dinda masih merasa janggal dengan absenya Gibran selama satu minggu ini. "Ya tetap saja Pak Gibran yang salah, sih. Seharusnya dia nggak main perasaan lah sama mentee¹, apalagi mentee-nya suda
Dengan semangat yang sudah terisi penuh, hari ini Dinda bangun lebih pagi untuk menyiapkan segala keperluan Fahri dan dirinya berangkat kerja. Saat Fahri baru pulang dari mesjid, Dinda sudah berpakain rapi, menata sarapan di meja makan. Fahri tak tahan untuk tidak memeluk Dinda dari belakang, melabuhkan kecup di salah satu pipi mulus itu. Satu bulan penuh istrinya tidak berada di rumah, tempat itu terasa mati, dan kini terasa kembali hidup. "Uda buruan ganti pakaian, ntar kita kesiangan." Dinda melepas belitan lengan Fahri di pinggangnya dengan tawa geli."Duh! Yang nggak sabar mau ketemu Gibran," cibir Fahri dengan wajah cemberut. Dinda menghentikan langkahnya yang hendak ke pantry mengambil kopi yang baru ia seduh. Ia mengulas senyum, meskipun kesal, tetapi Dinda mulai mencandu ekspresi cemburu Fahri saat menyinggung Gibran. Sebaliknya Fahri, ia pun mencandu reaksi Dinda saat berkata, "Nda sayanganya cuma sama Uda. Jangan cemburu terus." Lalu Dinda menjangkau pipi Fahri dan sebuah
"Hei, wajahnya jangan tegang gitu terus," sergah Fahri saat Dinda turun dari mobil. Dinda mengangguk dan mengulas senyum tipis. "Terima kasih sudah nganterin Nda kerja, Uda," balas Dinda sembari mengembuskan napas dan berusaha melepas apa yang terasa menekan dadanya."Nanti kabari kalau sudah pulang, biar uda jemput." Fahri sudah mulai tak ambil pusing dengan sikap Dinda yang terlihat tak biasa itu. Ia tak mau membuat Dinda makin tertekan dengan pertanyaan-pertanyaannya. Dinda kembali membalas dengan anggukan dan seulas senyum tipis, kemudian melambaikan tangan saat Fahri beranjak pergi. Dinda mengembuskan napas panjang dan menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang mendadak terasa kering. Jika biasa ia menyemangati diri dengan kalimat, "Ini hanya sementara, nggak perlu takut dikucilkan." Namun, kini kalimat itu seolah tak berarti lagi. Pekerjaan ini adalah hal yang ia idamkan semenjak dulu, tetapi insiden Fahri memukul Gibran yang terjadi minggu lalu seolah meruntuhkan segala
Dinda berusaha menanggapi kalimat sinis Vanya dengan memperlihatkan sikap santai. Seperti biasa, dia mengulas senyum dan menjawab, "Iya, Mba. Maaf suami saya sudah membuat kerusuhan minggu lalu, dia cemburuan banget. Padahal istrinya biasa aja, kalau secantik Mba Vanya, sih, wajar cemburuan kayak gitu, ya." Tipikal Dinda, yang berusaha menekan kuat rasa cemas yang mulai menyerang dengan selalu terlihat ceria. Vanya terkesiap mendapat tanggapan santai dari Dinda. Ia tak mengira karyawan baru yang berstastus masih dalam masa percobaan itu berani membalas kalimatnya sesantai itu. Perempuan berkulit putih itu kemudian mengulas senyum dengan menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, sedikit salah tingkat. Ia tak menyadari kalimat sarkas yang Dinda lontarkan. Vanya celingak-celinguk memperhatikan sekitar, kemudian ia berkata dengan setengah berbisik ke arah Dinda. "Padahal tipe Pak Gibran itu kayak aku, lho." Vanya lalu mengulas senyum lebar. "Nah, kan. Mana mungkin Pak Gibran bakal melir
Saat berada di luar ruangan, mereka bertemu dengan beberapa karyawan dari divisi lain. Gina memperkenalkan Dinda dengan beberapa karyawan yang dikenal perempuan itu. Tiba-tiba salah seorang karyawan perempuan yang dikenalkan Gina berkata, "Eh, kalau nggak salah kamu cewek yang bikin heboh waktu diklat kemarin bukan? Yang jatuh ke kolam renang sampai bikin Pak Gibran panik, terus suami kamu sampai ngedatangin dan mukulin Pak Gibran, kan?"Dinda menggaruk kepalanya yang tak gatal saat mendengar pertanyaan panjang lebar dari rekan kerja yang baru ia kenal itu. "Tapi hebat lho, bukannya kamu yang kena skors malah Pak Gibran yang kena." Kalimat selanjutnya sukses membungkam Dinda. Rasa cemas itu kembali menyerang setelah tadi sempat terlupakan. Seharusnya hari pertama ini Dinda bisa menjalin hubungan baik dengan rekan kerjanya, tetapi karena insiden yang terjadi pada saat pelatihan, kesan pertama yang Dinda dapat malah terasa jauh dari kata baik. Hingga jam kerja berakhir, kalimat yang s
"Nda! Nda!" Dinda membuka mata saat mendengar suara panik Fahri memanggil, ia menghambur ke pelukan suaminya sambil sesegukan."Nda mimpi apa?" tanya Fahri mengelus punggung dan mengecup puncak kepala Dinda dengan lembut. Entah keberapa kali, Fahri terbangun di tengah malam akibat Dinda berteriak karena mimpi yang tak pernah Fahri tau istrinya itu bermimpi apa. Seperti malam-malam sebelumnya Dinda hanya menjawab, "Nda mimpi dikejar setan." Sambil membenamkan wajahnya ke dada Fahri dan mengeratkan pelukannya seperti gadis kecil yang takut ditinggal ibunya. "Besok nggak usah masuk kerja, kita ke dokter! Sudah beberapa bulan ini Nda mimpi buruk terus," tegas Fahri yang sudah mulai khawatir dengan kondisi Dinda. Wajah istrinya kian hari mulai terlihat kuyu dan tak bersemangat seperti biasa. Lingkar bawah matanya juga terlihat cekung. Dinda juga sering mengurung diri di kamar jika sedang libur kerja. Fahri juga sering memergoki Dinda diam-diam meringis memegangi perutnya. Dinda pun jauh