Pertanyaan Aleena tidak mendapatkan jawaban apapun, Aksa hanya diam sambil terus melihat ke arahnya dengan pandangan sulit diartikan.
"Tapi, kenapa harus aku? Kamu pikir hidupku ini sesuatu yang bisa kamu jadiin alasan buat nutupin kalo kamu nggak bisa nikah sama perempuan?!" Aleena tentu saja merasa tidak terima. Aksa memanfaatkan dirinya demi keuntungannya sendiri. "Asal kamu tahu, ya. Tuan Aksa Bumantara, yang terhormat. Hidupku bukan mainan yang bisa dengan gampang kamu atur sesuka hati kamu, bukan juga lego yang bisa kamu bongkar pasang. Hidupku aku yang menentukan!" Tangan Aleena mengepal, matanya memerah karena menahan tangis. Entah kenapa perasaanya benar-benar tidak terkontrol untuk saat ini. Ia merasa benar-benar terluka, tersinggung atas apa yang dilakukan Aksa padanya saat ini. Memang benar, dirinya agak kewalahan dengan tuntutan orang-orang di sekitarnya untuk segera menikah. Tapi bukan berarti orang asing seperti Aksa boleh untuk memanfaatkan keadaan dengan menggunakan kelemahannya. "Saya tahu. Saya juga bukan orang yang se brengsek itu untuk memanfaatkan kamu. Sebelumnya saat saya mengajakmu untuk bertemu saya mau menawarkan perjanjian." Aleena terdiam, mencoba untuk menyimak apa yang akan dikatakan Aksa selanjutnya. Aksa menghela napas panjang, pria itu mengeluarkan satu kotak cincin berwarna merah beludru dan menyodorkan nya ke arah Aleena yang saat ini tengah memalingkan wajah. "Waktu itu saya bilang ke kamu, kalo saya mau bantu kamu terbebas dari pertanyaan soal pernikahan asal kamu juga mau bantu saya buat menikah. Dan cincin ini sebagai simbol 'lamaran' yang bisa kamu tunjukin ke keluarga kamu nantinya. Tapi ternyata kamu nggak mau dateng, jadi terpaksa saya ambil jalan pintas dengan langsung datang ke rumah kamu buat ngelamar." Aksa berkata jujur, ia mengatakan apa yang memang sebelumnya ia rencanakan. "Kamu tahu darimana kalo aku selalu dituntut keluarga aku buat menikah?" Aleena bertanya masih dengan mempertahankan intonasi dinginnya. Ia hanya melirik sekilas ke arah Aksa yang masih melihat ke arahnya. "Syifa. Dia teman kamu, 'kan?" Pertanyaan Aksa membuat Aleena kian menghela napasnya kasar. Ia sudah menduga jika memang benar Syifa ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi padanya sekarang. Ia jadi merasa heran sekaligus kesal dengan orang-orang di sekitarnya. Apa mereka berpikir jika belum menikah di usianya saat ini adalah sebuah aib besar? Kenapa mereka terus saja menuntut dan berusaha menjodohkannya dengan orang asing yang sama sekali tidak Aleena kenal. "Kamu jangan marahin Syifa," ujar Aksa menginterupsi. "Dia nggak salah. Saya yang memang minta dikenalin ke kamu sewaktu dia cerita soal kamu yang terus-menerus dituntut untuk segera menikah. Pada awalnya Syifa juga nggak mau cerita, dia bilang kalo kamu bakalan marah kalau sampai tahu dirinya berusaha menjodohkan kamu meski sebenarnya nggak begitu." "Tapi saya tetep memaksa Syifa buat ngetemuin saya dan kamu. Dan itulah kenapa saya bisa tiba-tiba datang di cafe tempat kamu dan Syifa janjian hari itu," jelas Aksa lagi. Pria itu menyodorkan kotak cincin tersebut pada Aleena yang masih saja diam tanpa respon. Ia melihat sebentar ke arah Aksa dan kotak cincin itu bergantian sebelum berbicara. "Jadi maksud kamu, kamu mau nawarin perjanjian pernikahan kontrak dengan aku? Kamu pikir ini dunia novel? Aku nggak mau!" sahut Aleena tegas. Aksa mengangguk, ia sudah tahu jika Aleena akan menolak permintaanya. Tapi pria itu juga tidak kehabisan akal. "Bagaimana kalo kamu menganggap pernikahan kita bukan pernikahan kontrak?" Atensi Aleena teralih bersamaan dengan kerutan yang terlihat di dahinya. Meski tanpa mengeluarkan suara, raut wajahnya terlihat jelas menunjukkan pertanyaan soal maksud dari perkataan Aksa sebelumnya. "Kita benar-benar melakukan pernikahan ini, seperti pasangan pada umumnya. Tapi kita adalah pasangan berbeda," ucap pria itu menggantung. "Kita akan tinggal di rumah yang sama, menjalani aktivitas seperti pasangan pada umumnya tapi perasaan kita tidak terikat pada satu sama lain. Keterikatan kita hanya sebatas hubungan untuk saling mengamankan diri dari tekanan keluarga soal pernikahan," lanjutnya. Alis Aleena menukik, jika seperti itu apa bedanya dengan pernikahan kontrak? "Kau pikir aku bodoh? Jika seperti itu, lalu apa bedanya dengan pernikahan kontrak?" Aksa menghela napas. Menghadapi Aleena cukup menguras kesabaran yang dimilikinya. "Pernikahan kita tidak memiliki tenggang waktu, tidak serta merta setelah kamu memiliki pasangan kita bercerai atau semacamnya. Kita juga tidak memiliki surat perjanjian atau semacamnya, masing-masing dari kita bebas melakukan apapun yang dimau asalkan tidak berbahaya untuk rahasia ini. Dan yang terpenting." Aksa sengaja menjeda kalimatnya, ia ingin melihat bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan oleh Aleena. "Apa?!" gadis itu berseru. Ia terlihat cukup penasaran dengan lanjutannya. "Kau harus bisa menjaga diri dan berperan baik di depan keluarga besar. Bukan hanya itu, tapi kau juga harus mau untuk menjadi bagian dari keluarga seutuhnya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama." Lagi-lagi Aleena melihat Aksa dengan mata memincing, gadis itu kemudian bertanya dengan nada yang lebih santai. "Apa maksudmu? Kau coba menjebak ku lagi demi menutupi hubungan tidak waras mu, itu?" ucapnya dengan berani. Sorot mata Aleena kini tajam, ia melihat Aksa dengan gurat emosi yang terlihat jelas. Dan Aksa sendiri cukup maklum dengan hal itu. Ia sudah menduga jika Aleena akan merasa kesal atas apa yang sudah ia lakukan. "Nenek. Nenek saya orangnya nggak gampang percaya sama orang baru, beliau gampang curiga sama sesuatu yang menurutnya janggal. Dan selama ini apa yang beliau curigai selalu benar, entah itu kejadian baik atau buruk," "Karena itulah saya minta kamu buat berhati-hati. Mata Nenek saya banyak dan ada dimana-mana, bahkan saat seseorang nggak sadar Nenek saya tahu apa yang dia lakuin," ujar Aksa kemudian. Aleena menderita, ia tertawa lirih begitu mendengar penjelasan Aksa. "Terus apa urusannya sama aku? Kamu pikir aku mau nerusin ini semua? Nggak! Aku bakalan batalin semuanya, semuanya!" serunya. "Nenek bukan orang yang bisa nerima sembarang orang dengan mudah, tapi Nenek adalah orang yang bener-bener berpegang teguh sama yang namanya komitmen. Kamu nggak bakalan bisa batalin lamaran dan rencana pernikahan kita karena Nenek udah tahu semuanya," sahut Aksa masih mencoba menjelaskan. Aleena mendengkus, gadis itu memutar bola matanya dengan malas. "Aku nggak peduli!" Suara bantingan pintu jadi hal terakhir yang didengar Aksa dari adu argumen mereka, Aleena keluar dari mobilnya dengan wajah kesal bukan kepalang. Ia turun dan masuk ke dalam rumahnya dengan tergesa. Aksa sendiri mengikuti langkah Aleena dengan ritme lebih santai, pria itu turut turun dari mobilnya dan berjalan pelan ke arah rumah Aleena. Bisa Aksa lihat tubuh Aleena berdiri diam di ambang pintu utama, gadis itu kemudian menoleh ke arahnya dan mengumumkan sesuatu tanpa suara. "Nenek." Gumam Aksa lirih dibarengi senyum tipis. Dirinya sudah tahu jika sang Nenek akan datang ke rumah Aleena.Aksa tertawa kecil melihat reaksi Aleena yang panik. Ia kemudian menghampiri gadis itu dan merangkul bahunya dengan senyum yang terkembang jelas.Sementara Aleena sendiri hanya bisa melotot sambil melihat ke arah Aksa dengan wajah terkejut bukan kepalang. Gadis itu ingin melakukan aksi protes atas apa yang dilakukan Aksa, namun bisikkan lirih dari pria itu membuatnya urung melakukannya."Ikuti saja, buat semuanya terlihat natural atau Nenek akan curiga," bisik Aksa dengan suara lirih.Aleena kemudian mengalihkan fokusnya ke arah ruang tamu, di mana ada sang Ibu dan seorang wanita baya yang diketahui sebagai Nenek, Aksa.Wanita dengan kebaya merah juga konde khas Jawa itu melihat Aleena tanpa ekspresi. Sudah sejak tadi wanita baya itu memperhatikan Aleena dari atas sampai bawah dan mengulanginya beberapa kali."Ibu baru tahu kalo ternyata Nak Aksa ini cucunya, Oma Anya," ucap Ibu Shafira (Ibu Aleena) menginterupsi.Aksa hanya membalas hal tersebut dengan senyum tipis. Tapi tidak dengan
Malam hari rumah terasa begitu sunyi. Tidak ada suara televisi seperti biasanya, hanya terdengar suara jarum jam yang mengisi suasana rumah.Aleena berguling sekali lagi di atas ranjang. Ia memeluk boneka kucing biru di tangannya dengan erat.Sebelumnya, setelah ia selesai menyantap mie instant yang dibuatkan Aksa, dirinya berniat meminta maaf secara langsung pada pria itu.Namun saat Aleena hendak mendatangi Aksa yang kebetulan tengah berdiam di ruang televisi, langkahnya terhenti.Saat itu Aksa mendapatkan panggilan telepon dari seseorang dan bergegas pergi. Bahkan pria itu mengacuhkan dirinya saat ia memanggil pria itu beberapa kali."Dapet telepon dari siapa sih, kayaknya penting banget," gumam Aleena.Ia kembali membalikkan tubuhnya menjadi telentang, menghadap langit-langit kamar, sebelum kemudian bunyi kendaraan mengalihkan perhatiannya.Dengan bergegas Aleena mengintip dari jendela kamar. Sebuah mobil hitam tampak terparkir di depan rumahnya.Aleena tidak mengenali siapa si pe
Dua mata itu terbuka perlahan, tubuhnya terduduk pada kepala ranjang dengan satu tangan yang memegangi kepala.Kepalanya terasa nyeri, pening juga berdenyut. Atensi pria itu kemudian teralih pada sebuah kain yang jatuh ke atas pangkuan.Kain itu basah. Ia menengok ke arah nakas tempat tidur, mendapati sebuah baskom berisikan air yang ia asumsikan sebagai satu set alat kompres dengan kain dalam tangannya.Mengingat apa yang telah terjadi, Aksa baru saja menyadari jika hal terakhir yang ia ingat sebelumnya adalah, saat dirinya menghampiri Aleena di dapur pada pagi hari.Ia masih bisa mengingat raut kebingungan gadis itu, juga aroma tubuhnya sebelum dirinya kehilangan kesadaran.Tapi saat ini, ia terbaring di atas ranjang. Di kamar tamu yang sebelumnya memang ia tempati."Siapa yang bawa saya ke mari. Aleena? Badan dia kecil begitu, apa mungkin kuat?" monolog Aksa seorang diri.Selagi pria itu berpikir, pintu kamar bercat putih itu terbuka. Sosok Aleena muncul dari sana dengan membawa na
"Mikir apa sih aku, ini!" gumam Aleena sambil memukul pelan kepalanya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya sesekali sambil menarik napas pelan, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya sendiri yang mendadak berdegub dengan cepat."Fokus, Aleena. Itu cuma kecelakaan. Lagipula Aksa nggak bakalan inget kok," ujarnya pada dirinya sendiri.Saat gadis itu akan berbalik, ia seketika memekik saat seorang lelaki sudah berdiri di belakangnya dengan dua tangan yang terlipat di depan dada."Juan! Ngagetin, tahu!" seru Aleena marah.Sedangkan lelaki dengan hoodie berwarna abu-abu itu hanya terkekeh. Ia melongok ke arah wastafel di mana ada mangkok juga gelas bekas Aksa beberapa saat yang lalu."Dia masih di sini?" pria itu bertanya.Aleena mengangguk sekenanya, ia kemudian berjalan ke arah meja makan dan duduk sambil memangku dagu.Juan mengikuti, ia duduk tepat di sebelah sang kawan."Iya, malah lagi sakit sekarang," jawab Aleena lirih.Omong-omong, Juan adalah tetangga sekaligus teman Aleena
Hari berikutnya saat Aleena terbangun kaget. Ia terkejut karena suara berisik seperti peralatan masak yang saling beradu.Dengan mata setengah terpejam ia menuruni tangga, sesekali menguap juga menggaruk rambutnya sendiri yang terlihat seperti singa jantan.Langkah setengah terseret ia bawa ke arah dapur, bersembunyi di balik tembok saat netranya tanpa sengaja melihat sosok pemuda berbahu lebar tengah berkutat dengan peralatan dapur. Tentu saja Aleena tahu siapa sosok lelaki dengan punggung tegap itu, ia adalah Aksa.Namun yang membuatnya merasa heran, sedang apa pria itu pagi-pagi sekali ada di dapur. Memangnya ia sudah baikan?"Kemari saja dan cicipi masakanku," kata pria itu tiba-tiba.Ia masih sibuk berkutat dengan beberapa makanan di depannya, berbalik dengan celemek abu-abu yang menggantung di tubuh tetapnya juga dua mangkok berisi makanan di masing-masing tangan.Untuk sejenak Aleena terdiam. Melihat Aksa dalam balutan celemek membuat pria itu terlihat berbeda.Maksudku, sudah
"Aleena! Aksa!"Wanita baya itu berseru. Dua manusia lainnya memisahkan diri dengan cepat, Aleena segera merapikan rambutnya dan Aksa hanya bisa berdeham sambil memalingkan wajah ke arah lain."Apa yang sudah kalian lakukan? Ibu meninggalkan kalian belum lama dan kalian sudah berbuat…."Perkataan wanita baya itu menggantung. Namun dilihat dari ekspresinya saja Aleena sudah mengerti dengan teramat jelas apa yang Ibunya maksud.Ia menggeleng dengan segera, juga menggoyangkan tangan dengan gestur penolakan dan membentuk tanda silang di depan dada.Membantah mentah-mentah apa yang jadi asusmsi wanita yang melahirkannya sekarang ini."Tidak, bu. Sungguh kami tidak melakukan…"Belum selesai Aleena menjelaskan, Aksa sudah menyela lebih dulu. Dengan gaya sok pahlawan (ini menurut Aleena) pria itu mengambil tempat ke depan si wanita. Membuat Aleena bisa mengukur tinggi badannya yang hanya sampai bahu Aksa saja."Maafkan saya, Bu. Semuanya adalah kesalahan saya, jadi biarkan saya bertanggung j
Bisa Aleena dengar bisik-bisik tapi berisik yang dilakukan oleh beberapa tamu undangan. Beberapa di antara mereka (yang kebanyakan perempuan) menyanjung apa yang dilakukan Aksa.Sedangkan pria yang saat ini tengah menyimpan sepatu heelsnya di dekat kursi pelaminan tersenyum tipis ke arah sang istri yang justru menatapnya ganas.Aleena justru berpikiran jika Aksa tengah cari muka di hadapan para tamu undangan.Acara hari itu berjalan lancar juga khidmat. Aleena yang sudah merasa teramat lelah menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.Ia yang semula memejamkan mata dengan damai seketika melotot saat mendengar suara gemericik dari arah kamar mandi.Gadis itu segera bangkit dan menatap horor ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia kabur lagi dan membawa Coco turut serta? Atau ia bisa saja mengancam Aksa untuk menceraikannya dengan segera. Oh, mengambil langkah ekstrem, bagaimana dengan mengadukan kelainan Aksa pada orang tuanya?Tunggu,
"Apa maksud kamu?"Aleena menyemprot Kasa dengan pertanyaan menyentak. Pria yang tengah mengemasi bajunya itu menoleh dengan satu alis terangkat."Apa?" tanya nya.Aleena mendengkus. Ia bersedekap dan menatap Aksa dengan galak."Apa maksud kamu dengan mengatakan akan membawaku ke rumahmu? Dalam Perjanjian tidak ada kata-kata untuk pindah dari rumah ini, kau tahu.""Memangnya aku pernah berjanji? Sudahlah, lebih baik kamu kemasi saja barang-barang mu, kita akan berangkat tidak lama lagi," sahut Aksa.Aleena menghembuskan napas tidak percaya, ia kemudian merebut baju yang hendak Aksa masukan ke dalam tasnya. Bermaksud agar pria itu memusatkan perhatian dan mendengarkan apa yang akan dirinya katakan. Namun sepertinya Aksa memiliki tanggapan berbeda.Pria itu menghela napas, menatap perempuan yang kini berstatus istrinya itu sebentar sebelum berusaha merebut kaus berwarna hitam dari dalam genggamannya.Karena Aleena yang tidak kunjung memberikan kaus tersebut, membuat Aksa mau tidak mau