Share

04

Pertanyaan Aleena tidak mendapatkan jawaban apapun, Aksa hanya diam sambil terus melihat ke arahnya dengan pandangan sulit diartikan.

"Tapi, kenapa harus aku? Kamu pikir hidupku ini sesuatu yang bisa kamu jadiin alasan buat nutupin kalo kamu nggak bisa nikah sama perempuan?!"

Aleena tentu saja merasa tidak terima. Aksa memanfaatkan dirinya demi keuntungannya sendiri.

"Asal kamu tahu, ya. Tuan Aksa Bumantara, yang terhormat. Hidupku bukan mainan yang bisa dengan gampang kamu atur sesuka hati kamu, bukan juga lego yang bisa kamu bongkar pasang. Hidupku aku yang menentukan!"

Tangan Aleena mengepal, matanya memerah karena menahan tangis. Entah kenapa perasaanya benar-benar tidak terkontrol untuk saat ini.

Ia merasa benar-benar terluka, tersinggung atas apa yang dilakukan Aksa padanya saat ini.

Memang benar, dirinya agak kewalahan dengan tuntutan orang-orang di sekitarnya untuk segera menikah. Tapi bukan berarti orang asing seperti Aksa boleh untuk memanfaatkan keadaan dengan menggunakan kelemahannya.

"Saya tahu. Saya juga bukan orang yang se brengsek itu untuk memanfaatkan kamu. Sebelumnya saat saya mengajakmu untuk bertemu saya mau menawarkan perjanjian."

Aleena terdiam, mencoba untuk menyimak apa yang akan dikatakan Aksa selanjutnya.

Aksa menghela napas panjang, pria itu mengeluarkan satu kotak cincin berwarna merah beludru dan menyodorkan nya ke arah Aleena yang saat ini tengah memalingkan wajah.

"Waktu itu saya bilang ke kamu, kalo saya mau bantu kamu terbebas dari pertanyaan soal pernikahan asal kamu juga mau bantu saya buat menikah. Dan cincin ini sebagai simbol 'lamaran' yang bisa kamu tunjukin ke keluarga kamu nantinya. Tapi ternyata kamu nggak mau dateng, jadi terpaksa saya ambil jalan pintas dengan langsung datang ke rumah kamu buat ngelamar."

Aksa berkata jujur, ia mengatakan apa yang memang sebelumnya ia rencanakan.

"Kamu tahu darimana kalo aku selalu dituntut keluarga aku buat menikah?" Aleena bertanya masih dengan mempertahankan intonasi dinginnya.

Ia hanya melirik sekilas ke arah Aksa yang masih melihat ke arahnya.

"Syifa. Dia teman kamu, 'kan?"

Pertanyaan Aksa membuat Aleena kian menghela napasnya kasar. Ia sudah menduga jika memang benar Syifa ada sangkut pautnya dengan apa yang terjadi padanya sekarang.

Ia jadi merasa heran sekaligus kesal dengan orang-orang di sekitarnya. Apa mereka berpikir jika belum menikah di usianya saat ini adalah sebuah aib besar?

Kenapa mereka terus saja menuntut dan berusaha menjodohkannya dengan orang asing yang sama sekali tidak Aleena kenal.

"Kamu jangan marahin Syifa," ujar Aksa menginterupsi.

"Dia nggak salah. Saya yang memang minta dikenalin ke kamu sewaktu dia cerita soal kamu yang terus-menerus dituntut untuk segera menikah. Pada awalnya Syifa juga nggak mau cerita, dia bilang kalo kamu bakalan marah kalau sampai tahu dirinya berusaha menjodohkan kamu meski sebenarnya nggak begitu."

"Tapi saya tetep memaksa Syifa buat ngetemuin saya dan kamu. Dan itulah kenapa saya bisa tiba-tiba datang di cafe tempat kamu dan Syifa janjian hari itu," jelas Aksa lagi.

Pria itu menyodorkan kotak cincin tersebut pada Aleena yang masih saja diam tanpa respon.

Ia melihat sebentar ke arah Aksa dan kotak cincin itu bergantian sebelum berbicara.

"Jadi maksud kamu, kamu mau nawarin perjanjian pernikahan kontrak dengan aku? Kamu pikir ini dunia novel? Aku nggak mau!" sahut Aleena tegas.

Aksa mengangguk, ia sudah tahu jika Aleena akan menolak permintaanya. Tapi pria itu juga tidak kehabisan akal.

"Bagaimana kalo kamu menganggap pernikahan kita bukan pernikahan kontrak?"

Atensi Aleena teralih bersamaan dengan kerutan yang terlihat di dahinya. Meski tanpa mengeluarkan suara, raut wajahnya terlihat jelas menunjukkan pertanyaan soal maksud dari perkataan Aksa sebelumnya.

"Kita benar-benar melakukan pernikahan ini, seperti pasangan pada umumnya. Tapi kita adalah pasangan berbeda," ucap pria itu menggantung.

"Kita akan tinggal di rumah yang sama, menjalani aktivitas seperti pasangan pada umumnya tapi perasaan kita tidak terikat pada satu sama lain. Keterikatan kita hanya sebatas hubungan untuk saling mengamankan diri dari tekanan keluarga soal pernikahan," lanjutnya.

Alis Aleena menukik, jika seperti itu apa bedanya dengan pernikahan kontrak?

"Kau pikir aku bodoh? Jika seperti itu, lalu apa bedanya dengan pernikahan kontrak?"

Aksa menghela napas. Menghadapi Aleena cukup menguras kesabaran yang dimilikinya.

"Pernikahan kita tidak memiliki tenggang waktu, tidak serta merta setelah kamu memiliki pasangan kita bercerai atau semacamnya. Kita juga tidak memiliki surat perjanjian atau semacamnya, masing-masing dari kita bebas melakukan apapun yang dimau asalkan tidak berbahaya untuk rahasia ini. Dan yang terpenting."

Aksa sengaja menjeda kalimatnya, ia ingin melihat bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan oleh Aleena.

"Apa?!" gadis itu berseru. Ia terlihat cukup penasaran dengan lanjutannya.

"Kau harus bisa menjaga diri dan berperan baik di depan keluarga besar. Bukan hanya itu, tapi kau juga harus mau untuk menjadi bagian dari keluarga seutuhnya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama."

Lagi-lagi Aleena melihat Aksa dengan mata memincing, gadis itu kemudian bertanya dengan nada yang lebih santai.

"Apa maksudmu? Kau coba menjebak ku lagi demi menutupi hubungan tidak waras mu, itu?" ucapnya dengan berani.

Sorot mata Aleena kini tajam, ia melihat Aksa dengan gurat emosi yang terlihat jelas. Dan Aksa sendiri cukup maklum dengan hal itu.

Ia sudah menduga jika Aleena akan merasa kesal atas apa yang sudah ia lakukan.

"Nenek. Nenek saya orangnya nggak gampang percaya sama orang baru, beliau gampang curiga sama sesuatu yang menurutnya janggal. Dan selama ini apa yang beliau curigai selalu benar, entah itu kejadian baik atau buruk,"

"Karena itulah saya minta kamu buat berhati-hati. Mata Nenek saya banyak dan ada dimana-mana, bahkan saat seseorang nggak sadar Nenek saya tahu apa yang dia lakuin," ujar Aksa kemudian.

Aleena menderita, ia tertawa lirih begitu mendengar penjelasan Aksa.

"Terus apa urusannya sama aku? Kamu pikir aku mau nerusin ini semua? Nggak! Aku bakalan batalin semuanya, semuanya!" serunya.

"Nenek bukan orang yang bisa nerima sembarang orang dengan mudah, tapi Nenek adalah orang yang bener-bener berpegang teguh sama yang namanya komitmen. Kamu nggak bakalan bisa batalin lamaran dan rencana pernikahan kita karena Nenek udah tahu semuanya," sahut Aksa masih mencoba menjelaskan.

Aleena mendengkus, gadis itu memutar bola matanya dengan malas.

"Aku nggak peduli!"

Suara bantingan pintu jadi hal terakhir yang didengar Aksa dari adu argumen mereka, Aleena keluar dari mobilnya dengan wajah kesal bukan kepalang.

Ia turun dan masuk ke dalam rumahnya dengan tergesa.

Aksa sendiri mengikuti langkah Aleena dengan ritme lebih santai, pria itu turut turun dari mobilnya dan berjalan pelan ke arah rumah Aleena.

Bisa Aksa lihat tubuh Aleena berdiri diam di ambang pintu utama, gadis itu kemudian menoleh ke arahnya dan mengumumkan sesuatu tanpa suara.

"Nenek."

Gumam Aksa lirih dibarengi senyum tipis. Dirinya sudah tahu jika sang Nenek akan datang ke rumah Aleena.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status