"Joan, ada apa dengan Alexa?" Bu Maria menghampiri kamar sang anak saat mendengar suara tangis Alexa. Joan melepas pelukannya lalu menjauh dari Alexa yang langsung di peluk sang ibu. Bu Maria mengelus rambut sang anak, berharap Alexa baik-baik saja. "Jo, kamu apakan Alexa?" Netra Bu Maria memandang Joan yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. "Bukan saya yang buat Alexa menangis. Alexa menangis tiba-tiba dan memukul perutnya," ujar Joan membela diri. "Benar yang dikatakan Joan, Lex?" tanya Bu Maria yang seolah tidak percaya pada menantu dadakannya. Alexa mengangguk, memang benar bukan karena Joan. Tapi, sebenarnya semua karena mulut Joan yang pedas jadi dirinya merasa tidak berguna dan benar-benar bersalah pada kedua orang tuanya. "Ya sudah, mama enggak mau kamu berbuat tidak baik. Pokoknya kamu dan bayi kamu harus sehat. Jangan berbuat aneh lagi, ya." Bu Maria mengajak Alexa duduk di tepi ranjang. Wanita itu merasa tidak enak saat masih ada Joan di kamar itu dan meminta
"Iya, sudah hampir dua tahun Abang menjadi sopir keluarga Pak Hanif." Joan menjelaskan. "Aduh, siapa lagi ini Pak Hanif. Sesil enggak ngerti," ujarnya dengan mengusap wajah. Sesil tidak mengerti dengan kakak sepupunya itu. Di mana-mana orang ingin hidup bergelimang harta, apalagi jika dia kembali ke rumah maka akan menduduki posisi tertinggi di perusahaan sang ayah. Hanya karena kesalahanpahaman saja membuat nya tidak mau pulang. Sesil sejak tadi membujuk tidak berhasil, demi kebaikan sang kakak."Baiklah, aku pikir Abang sudah lebih dewasa."Joan pamit pada Sesil dan gegas kembali pulang karena Pak Hanif sudah menghubunginya sejak tadi. ** Ayah Alexa menunggu kedatangan Joan. Namun, sudah hampir sejam pria itu tidak datang. Sang ayah terus menatap foto gadis kecilnya yang begitu ia sayangi. Namun, ia kembali kesal saat mengingat kesalahan putri kecilnya. “Pa, masuk, yuk.” Bu Maria melihat sang suami yang masih duduk di teras rumah. “Sebentar, tadi Papa telepon Joan. S
Alexa kembali ke kamar, lalu mengambil tas di meja. Joan masih duduk menatap sang istri, ia ingin tahu mau ke mana hari ini."Lex, mau ke mana?" tanya Joan.Alexa berdiri di hadapan Joan, lalu menatap sembari menggeleng. Apa Joan tidak tahu jika dirinya harus kuliah, apa dia lupa dengan jadwal yang memang sudah dihafalnya sejak lama pikir Alexa.Joan melihat kedua tangan di depan dada sembari menunggu jawaban dari wanita di hadapannya. "Aku mau ke kampus, kamu lupa kalau aku ada jadwal kuliah?" tanya Alexa."Aku enggak lupa, tapi masalahnya Papa kamu sudah memutuskan kamu tidak berkuliah dulu sebelum kamu lahiran."Dahi Alexa berkerut mendengar apa yang dikatakan Joan. Memang sang ayah mengatakan hal itu, tapi Alexa berpikir karena ayahnya memang sedang emosi. lagi pula saat ini dia sudah menikah dengan Joan."Joan, enggak usah dengerin kata papa. aku mau ke kampus, antar aku!" titahnya lalu melangkah ke luar kamar.Joan pun mengekor di belakang Alexa, dirinya tidak mengerti menghada
Dunia Frans seakan tidak berarti saatia menyadari jika dirinya begitu membutuhkan Alexa. Ia mencari wanita itu dikampus, tapi Frans tidak juga bertemu dengan Alexa. Gosip pernikahan itumembuat tidurnya seolah tidak tenang. Dua bungkus rokok sudah ia habiskan.Kini, wanita yang ia tunggu pun belum terlihat batang hidungnya. Terlihat Bowo ke luar dari toilet pria, gegas Frans menghampiri teman satu kelas Alexa. “Alexa mana?” Frans bertanya tanpa permisi. Bowo meliriknya dengan tatapan tidak suka. Pertanyaan Frans pun membuat dirinya kesal. Bowo saja mencari wanita itu,untuk apa Frans bertanya dan membuat moodnya hilang. “Mana gua tahu.” Bowo menyenggol lengan Frans. Tidak terima dengan hal itu, Frans menarik tas Bowo. Keduanya saling menatap bengis. Untung saja ada Serena yang cepat menarik Bowo hingga menjauh dari Frans yang mulai tersulut emosi. Tidak ada yang tahu tentang pernikahan Frans dan Alexa yang gagal. Bahkan, hanya beberapa teman dekat yang mengetahui hal itu. Terutama
“Kalau terjadi apa-apa sama Papa, kamu orang pertama yang aku salahkan!” Ucapan Carissa terus terngiang di pikiran Alexa. Kakak keduanya itu sangat sayang dengan sang ayah. Tidak heran mereka begitu dekat dan sang kakak adalah anak kesayangan Pak Hanif.Begitu mendengar Pak Hanif masuk rumah sakit, wanita beranak satu itu langsung bergegas ke rumah sakit dan menduga semua adalah ulah Alexa.“Kamu sedang hamil, jangan terlalu stres,” ujar Joan saat membantu Alexa jalan.“Aku sudah bilang jangan terlalu peduli padaku! Ini bukan anak kamu, Joan!” “Anak itu jadi anak saya setelah menikah dengan kamu. Berhenti berkata aneh, jaga baik-baik anak itu. Ada aku yang siap dia panggil ayah.”Alexa beranjak dari kasur dan begitu emosi mendengar ucapan Joan. Dirinya tidak suka dengan belas kasih orang lain. Apalagi saat dirinya seperti sampah tak berharga dan Joan menjadi pahlawan kesiangan.“Cukup! Aku nggak butuh dikasihani. Kamu nggak usah kasihan sama aku. Pergi dari hidupku dan cari wanita y
Seren mulai gundah karena tidak bisa mendapatkan hati Bowo. Malah ia merasa terabaikan oleh pria itu. Ia gegas menemui Frans yang dilihatnya berada di parkir mobil. Wanita itu berlari sebelum pria dengan jaket coklat itu masuk ke mobil. Ada hal yang akan dibicarakan. “Frans tunggu,” ujar Serena. Frans mengernyitkan dahi melihat Serena berlari dengan kencang. Napasnya masih tersengal-sengal saat sampai dihadapan pria itu. “Aku mau bicara.” “Di dalam saja!” titah Frans. Serena masuk ke mobil, sudah pasti Frans bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh Serena kali ini. Pria itu gegas meminta wanita itu cepat berbicara. Dirinya malas berbasa-basi hal yang tidak penting. “Frans, kenapa kamu kabur dari pernikahan itu?” tanya Serena. “Karena aku nggak siap. Aku belum siap menikah, Ser.” Frans menjawab cepat. “Bagaimana kamu bilang nggak siap.Aku sudah mengorbankan diri, membantu kamu agar bisa tidur dengan Alexa. Kenapa kamu sia-sia, kan? Bukannya kamu mencintai Alexa?” Serena ter
Di rumah sakit yang sama Pak Hardi—ayah Joan di rawat karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Pria dengan perut buncit itu masih saja mengeluh sakit saat Dokter memeriksanya. “Kapan saya sembuh, Dok. Bosan disini, saya nggak bisa main golf,” tutur Pak Hardi. “Sabar, Pak. Sebentar lagi juga sehat, mau kegiatan apa pun pasti bisa dilakukan. Asal Bapak makanan dan minumannya di jaga dan tidak lupa meminum obat teratur.” Penjelasan Doktermembuat Bu Delima—istri Pak Hardi menatap sang suami agar mendengarkan apa. penjelasan sang Dokter. Akhir-akhir ini Pak Hardi seperti menerobos pantangan. Seperti tidak peduli dengan kesehatannya. Kolesterol yang sudah menjadi langganan penyakitnya sering membuat ia kewalahan. Namun, tetap saja tak pernah memantang makanan bersantan dan berminyak. Dokter pamit berkunjung ke ruangan lain, Sesil masuk setelah menelepon Joan. Menghampiri pria itu dengan senyum. “Sudah kamu telepon Abangmu?” tanya Bu Delima. “Sudah, Tan. On the way kayanya, s
"Sudahlah kamu juga enggak akan mengerti. Ini masalah pribadi. Ayo masuk lagi, aku mau pamit." Joan masuk kedalam lagi, dia tak bisa berlama-lama di ruangan itu karena malas pasti membahas masalah tidak penting. Aku ada urusan, tapi dengarkan Joan baik-baik. Jangan menjodohkan Joan dengan siapa pun karena saya sudah memiliki wanita yang terbaik. Nanti saya kenalkan pada kalian.” Terpaksa Joan mengaku pada kedua orang tua. Pikirannya kini hanya ada wajah Alexa dan kebahagiaan mereka. Tidak peduli dengan perjodohan itu, Joan kembali bergeming. Tidak mungkin ia mengenalkan Alexa pada kedua orang tuanya saat ini karena kehamilannya. Mungkin nanti setelah melahirkan, atau bisa saja akui jika anak Alexa adalah darah dagingnya. “Jangan bercanda, pernikahan kamu dengan Felisia akan lebih memperkuat bisnis papa. Perusahaan kita akan lebih maju dengan kekuatan bisnis papa Felisia!” hardik Pak Hardi. “Ya, sudah. Papa saya yang menikah dengan Felisia!” Joan kembali mengeluarkan suara.