“Ada apa ini nangis-nangis? Saatnya tidur, Bu,” tegur Bapak. “Jangan terus membuat Alina menangis.”“Justru Alina yang membuat Ibu menangis. Anak ini, dia terus saja mengiris bawang di dekat mata Ibu.”Perempuan yang melahirkanku mengurai pelukan dan membantuku tiduran di lantai mobil yang sudah dialasi kasur busa. Bang Raka duduk di depan bersama sopir, sedangkan aku, Cici, Bapak dan Ibu bisa rebahan di belakang. “Mungkin sekarang kamu masih trauma, Nak. Ibu pun sama, tak ingin kamu terluka lagi. Tapi tetap saja Ibu berharap suatu saat nanti kamu ditemukan lelaki yang tepat. Anggap saja semua orang teman, tapi kendalikan perasaan, ya, Nak.”“Iya, Bu.”Aku memejamkan mata, meskipun belum ingin tidur. Kurasakan tangan Ibu menepuk-nepuk lenganku dengan pelan. Betapa takdir tiada yang tahu. Dulu Bapak dan ibu ikut mengantarku ke rumah suamiku, dan sekarang mereka menjemput wanita ringkih ini, membawaku pulang ke rumah masa kecil yang sudah direnovasi beberapa kali. Setelah menikah, ruma
Kak Sri bangkit dan berjalan keluar kamar.“Gimana? Alina kepengen makan sop buatanmu yang tak ada tandingannya, kan?” Suara Bang Raka terdengar dari luar setelah Kak Sri menutup pintu.“Dia ngantuk, Bang.”“Kok tumben? Biasanya dia selalu ingin makan sop buatanmu. Sebelum sampai sini kelihatannya dia juga segar. Dia tidak ngantuk.”“Udahklah, Bang, jangan nmengganggu Alina. Biarkan dia istirahat.”Aku menutup wajah dengan selimut. Tak terasa air mataku membasahi pipi lagi. Mereka tetap bahagia, tapi aku? Alina yang baru menikah setahun lebih kini bergelar janda satu anak. Harusnya bisa dikatakan janda kembang, tapi diriku tak ubahnya bagai bunga yang layu. Tak menarik dan sepertinya sedikit harapan bisa hidup normal.Seseorang membuka pintu lagi dan masuk perlahan. Dari balik selimut, bisa kulihat kalau ibuku yang datang. Aku memejamkan mata saat nenek dari anakku menyibak sedikit selimut yang menutupi wajah.“Kamu bisa kesulitan napas kalau ditutup begini, Nak,” lirihnya dan menciu
“Alin, kamu belum tidur rupanya, Dik?” Bang Raka main nyelonong masuk saja dan duduk di tepi ranjang.“Kalau masuk kamar perempuan dewasa, ketuk pintu dulu, Bang,” protesku. Bang Raka terkekeh sambil menggaruk-garuk kepala.“Ya maaf. Lagian pintu kamarnya terbuka sedikit. Mau ngetuk pintu, takut membangunkanmu yang lagi tidur. Eh, rupanya malah duduk main hape. Kamu kenapa sih?”“Gak ada, Bang.”“Tapi sepertinya kamu baru nangis, ya? Tapi gak apa-apa. Itu tandanya kamu berperasaan. Adik Abang tidak seputus asa dulu sampai tak mau menangis atau tertawa.”Aku tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Hanya Bang Raka saudaraku, temanku berebutan apa saja saat masih kecil hingga remaja. Kami sering bertengkar, tapi tak lama kemudian akur lagi. Bagaimana aku bisa marah padanya?“Ada apa Abang ke sini?”“Apa tak boleh Abang masuk kamarmu lagi?” Dia malah balik nanya.“Bukan gitu, Bang. Abang juga sudah berkeluarga. Jangan sampai nanti ada yang cemburu karena Abang menghabiskan waktu banyak
Aku mengusap-usap dada, menarik napas dan membuangnya perlahan. Yang harus semangat adalah aku sendiri, bukan orang tuaku saja. Karena kesembuhan akan cepat didapat jika dari dalam hatiku benar-benar berusaha sehat.Aku menurunkan kaki dari atas tempat tidur, memijakkan kedua kaki di atas lantai semen. Aku harus berlatih berjalan lagi sampai tidak perlu menggunakan tongkat. Kubentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan dan melangkahkan kaki perlahan. Tiba-tiba aku menginjak kerikil agak tajam dan refleks kaki kananku terangkat.Brugh.Aku hilang keseimbangan, terrjatuh ke lantai cukup keras. Aku tertawa sekilas, memukul kakiku yang tak becus menopang badan. Kuambil kerikil kecil yang harusnya tak perlu membuatku terjatuh. Dia begitu kecil, tapi bisa menumbangkan manusia sebesarku. Kakiku juga terlalu manja, kenapa dia sampai berdarah hanya karena kerikil. “Alina, kamu kenapa, Nak? Ya Allah, kamu jatuh?”Ibu histeris menghampiriku. “Kakimu berdarah. Ibu akan ambilkan obatnya.”“Ibu j
“Puas sekali aku melihat kondisimu sekarang, Alina. Sekarang, kalaupun kau mau menikah, tak akan ada lagi yang mau,” kekehnya. “Sekarang, kau tak bisa membalasku, kan? Ayolah berdiri dan tampar wajahku.”Aku membalikkan badan, duduk sambil mengusap lutut yang kesakitan. Lelaki berusia 43 tahun itu menghirup sebatang rokok dan mengepulkan asap di wajahku. Kukibaskan tangan di depan wajah seraya terbatuk-batuk.Dia adalah Bang Laung, anak juragan sawit dari desa sebelah. Lelaki berkumis lebat itu sangat sombong karena menjadi pewaris tunggal kebun orang tuanya yang berhektar-hektar. Sejak dulu suka menggodaku, bahkan ngajakin jadi istri ketiganya dengan terang-terangan. Jelas saja aku tidak mau dan marah-marah padanya. Dia lebih tua 20 tahun dariku dan sudah punya anak banyak. Istrinya saja ada dua. Aku bukan gadis yang mendamba kekayaan secara instan, apalagi harus menggadaikan harga diri menjadi istri ketiga dari lelaki itu. Aku tahu banyak tentang dia karena sering jadi gunjingan pa
Ibu menarik napas panjang dan memelukku. “Akhirnya kamu punya teman, Nak.”“Iya, Bu. Lalu siapa teman Cici dan Ahmad di rumah? Apa Bapak dan Raka sudah pulang?” cecarku, teringat dengan dua bayi yang seumuran itu.Kak Sri berlari duluan dan Ibu mengikuti. “Ayo, kalian pulang sekarang,” seru Ibu ketika dia menoleh dan melihat kami masih berdiri di tampat yang sama.“Ayo, Kak,” ujar anak-anak itu. Kami banyak mengobrol sambil berjalan dan ikut tertawa melihat wajah-wajah polos itu. Dulu saat masih seusia mereka, dalam pandanganku sangat enak jadi orang dewasa. Tidak selalu dibatasin dan bebas mau melakukan apa yang menurutku baik. Sekarang, aku merindukan masa-masa seperti mereka, bisa tertawa bahagia tanpa harus memikirkan persoalan hidup orang dewasa. Tapi beginilah hidup, tidak bisa berhenti dan terus berputar, kecuali kematian yang menghentikan proses di dunia ini.Seperti janjiku pada mereka, aku akan mentraktrir es krim. Tak jauh dari rumah ada warung yang lumayan besar dan terse
“Alin, buka pintunya, Dik! Kakak mau bicara.” Kak Sri mengetuk pintu kamarku dan terus memanggil sampai beberapa kali. “Dik, ayolah jangan begini. Dengarkan dulu penjelasan Kakak agar kamu tak salah paham.” Aku tak menggubrisnya, terus mengusap air mata yang terus mengalir. “Hubungan kami hanya sebatas teman kuliah, Dik. Bukalah pintunya.” “Ada apa, Sri?” suara Ibu terdengar samar. Berarti sudah siap mandi. “Aku mau bicara sama Alin, Bu. Dia salah paham.” “Tentang penyebab Delon menyakitinya?” “Ibu sudah tahu?” Kak Sri terdegar kaget. Sama sepertiku. Kukira Ibu tidak tahu tentang itu. “Nanti saja bujuk lagi agar dia bicara denganmu, Sri. Sekarang biarkan saja Alina sendiri. Ibu yakin kamu tak punya niat buruk padanya. Emosinya belum stabil. Kamu ke depan saja, temani anak-anak,” tutur Ibu. Aku jadi semakin kesal. Kenapa Ibu lebih membela menantunya daripada putrinya sendiri? Aku merebahkan badan di atas ranjang, memejamkan mata hingga akhirnya tertidur. * Aku keluar kamar s
“Alin, buka pintunya, Dik! Kakak mau bicara.”Kak Sri mengetuk pintu kamarku dan terus memanggil sampai beberapa kali. “Dik, ayolah jangan begini. Dengarkan dulu penjelasan Kakak agar kamu tak salah paham.”"Maafin Alin juga, Kak. Tak harusnya aku mencari-cari siapa yang salah dalam hal ini, apalagi sampai menyalahkan Kakak.”Aku memeluknya dan Kak Sri perlahan membalas pelukanku. “Setelah menikah, yang jadi keluargaku bukan hanya suami dan anak, tapi juga mertua dan ipar. Jadi, kamu sama berharganya dengan Bang Raka dan juga Ahmad bagiku. Jangan pernah berpikir kalau Kakak tak sayang padamu, apalagi dengan sengaja tidak mencegahmu ke dalam penderitaan. Itu tidak benar, Alin.”“Iya, Kak. Aku memang salah sangka,” lirihku.“Kakak tak menyalahkanmu, Alin. Ini semua sudah ketentuan yang harus kita jalanai. Jika boleh memilih, tentu kita tak ingin ada masalah yang menimpa. Bahagia di dunia dan masuk surga di akhirat tanpa hisab. Tapi sebagai manusia, kita hanya bisa menngusahakan yang ter