Sore harinya, Raka mengajakku melapor ke rumah kepala desa karena akan menginap di rumah salah satu warganya. “Oh, ini yang namanya dokter Rian? Yang dulu banyak membantu Alina dan Bu Rahimah saat di kota?” celetuk Ibu kades. Aku tersenyum sambil mengangguk. Aku jadi malu, yang kulakukan hanya sedikit, tapi ibunya Raka terlalu memujiku.“Ternyata orangnya ganteng, ya. Udah punya anak berapa, Dek?” tanyanya lagi.“Masih jomblo, Bu,” balasku, tersenyum hambar. Perasaan mulai tak enak. “Masih jomblo? Tapi tak punya kelainan kan? Zaman sekarang banyak laki-laki tampan suka sama yang ganteng. Udah populasi laki-laki sedikit, eh malah belok. Akhirnya para wanita harus wapada kalau suaminya akan diincar orang lain.”Aku meneguk ludah. Lancar banget omongannya. Pak Kades langsung menyenggol lengan istrinya, barulah ibu itu meminta maaf.“Doakan saja, ya, Bu, Pak. Teman saya ini udah punya calon kok,” ujar Raka.“Iya, iya. Semoga saja berjalan lancar.” Pak Kades menimpali.Raka pun langsung
“Ibu senang sekali, rupanya Rian sukanya sama Alina, bukan sama Ibu,” kekeh Bu Rahimah. Kini semuanya berkumpul di dekat kami. Aku semakin deg-degan dan juga malu. Kapan aku pernah mengatakan suka pada ibunya Alina?“Maksud Ibu apa? Masa Rian suka sama nenek-nenek dan masih punya suami juga. Mau dikemanakan suamimu ini, Bu?” Lelaki paling tua di antara kami mengegeleng-gelengkan kepala.“Jangan salah paham, Pak. Ibulah yang salah tangkap maksud Rian waktu di rumah sakit itu. Kirain dia suatu saat mau ijab qobul dengan Ibu, rupanya ingin disahkan sama putri kita. Ibu benar-benar tak kepikiran waktu itu kalau Rian suka sama Alina. Ibu lagi terpuruk dan fokus akan kesembuhan putri kesayangan kita,” kenang Bu Rahimah.Aku tersenyum cengengesan mengingat saat aku keceplosan dulu. Tapi aku tak menyangka kalau Bu Rahimah berpikir yang lain-lain. Aku menghindar darinya karena malu waktu itu. Segan jika diinterogasi dengan maksud pernyataanku itu. Kalau kuperjelas perasaanku pada Alina saat d
Aku menarik napas panjang dan mengulas senyuman tipis. Hari ini adalah penentu masa depanku agar bisa berkumpul dengan wanita yang kucintai. Wanita yang sering kusebut namanya dalam doa agar kesembuhan dan keselamatan selalu menyertainya. “Jika diizinkan, rencananya setelah menikah, saya akan memboyong Alina nantinya ke kota. Begitu juga dengan Cici. Orang tua kandung dan angkat saya ada di sana. Tapi saya janji, kami kan tetap mengingat kampung ini. Kita masih akan saling mengunjungi.” Aku menjeda ucapan, mengamati raut wajah anggota keluarga. “Jika Alina masih mau mengajar Paud, saya akan dirikan sekolah buatnya nanti. Tapi jika mau fokus dengan keluarga saja, tidak apa-apa. Secara finansial, Rian sanggup menghidupi keluarga kecil kami nantinya dengan layak,” tegasku.Aku tahu kegundahan keluarga ini. Pastinya karena aku dan mantan suami Alina tinggal di kota yang sama. Aku tak pernah dengar kabar mereka lagi. belakangan ini, aku juga tak sempat baca koran maupun berita online ka
Setelah dua tahun, datang seorang laki-laki yang baik ingin meminang putriku. Laki-laki yang kami kenal sebelumnya dan juga sahabat putraku. Apa lagi yang paling membahagiakan bagiku selain melihat anak-anak semuanya bahagia? Sebelum putriku menikah lagi, seperti ada beban di dada ini. Tanggung jawab terhadapnya seolah belum berakhir. Namun, aku ingin memastikan kalau jawabannya tadi sore jujur dari hati, bukan untuk menyenangkan hati orang tuanya semata.Di kamar Alina kini aku berada, menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna kelam. Aku duduk di pinggir tempat tidur, sedangkan Alina di atas kursi plastik yang tingginya sekitar 30 sentimeter. Aku senang saja menyisirnya setiap malam jika sedang tidak lelah.Untuk menghindari fitnah, malam ini Rian tidur di rumah Raka. Sedangkan menantuku akan tidur di rumah ini bersama kami. Kedua cucuku masih bermain di ruang tamu, ditemani Sri. Suamiku sendiri sudah tidur, tak berselang setelah kami makan malam.“Alina!”“Iya, Bu.”“Apa kamu ben
Setelah Cici lelah mengoceh, putrinya Alina pun mulai menguap. Aku memintanya dari Rian dan merebahkan cucuku itu di antara aku dan Alina. Bersama waktu yang terus merangkak, mataku pun ikut terlelap. Mungkin karena jalanan yang sudah bagus dan juga sopir yang profesional, aku jadi tidak terantuk-antuk sehingga baru terbangun saat suara azan subuh berkumandang .Kami singgah di sebuah mesjid yang ramai sekali para jamaahnya. Di zaman sekarang, ternyata masih banyak anak-anak remaja yang mau bangun dan meninggalkan selimutnya demi sholat berjamaah. Kelak jika tubuh ini sudah menyatu dengan tanah, maka yang kuharapkan adalah doa-doa dari anak-anakku. Semoga saja mereka tetap mengingat orang tua. Doa dan amal baiklah penyambung hubungan orang tua dan anak yang sudah berbeda alam.Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah omnya Rian. Karena sudah dikabarkan akan datang, keluarga Rian berkumpul di sana. Memang kurang lazim jika keluarga perempuan mengunjungi rumah calon besan, tapi sebagai
“Ya Robbi, bahagiakanlah Bang Rian dimana saja dia berada dan dengan siapa pun kini dia tertawa dan menyulam cinta.”Doa-doa serupa sering kulantunkan, apalagi wajah itu sering hadir dalam mimpi. Namun apa jadinya jika lelaki yang sering kudoakan malah berdiri di depan mata dan ternyata masih sendiri. Dubh dubh dubh.Jantung memompa darah lebih kencang. Sebagai seorang wanita, tentu aku malu jika mengatakan perasaan lebih dulu. Menjadi cuek adalah jalan ninja agar diri ini tidak salah tingkah. Dan kini, aku tak mau menolak lagi. Sangat jarang kesempatan kedua datang, dan tidak boleh kusia-siakanHati dan fisikku siap menjadi seorang istri. Ya, kini aku jadi calon istri seorang lelaki bernama Rian Irwansyah. Demi melegakan hati Ibu dan Bapak, di rumah Om Sandiaga-lah kami kini berkumpul. Baru pertama bertemu, tapi aku merasa seperti sudah kenal lama dengan mereka. tak ada sama sekali yang mengungkit statusku yang seorang janda.“Alina, tolong jangan menikah dengan orang lain. Tolong b
“Kenapa pada lihat-lihatan?” Bang Rian kelihatan bingung, barulah semua keluarganya kompak tertawa.“Ih, gak asyik. Sukanya meledek terus. Kita main di luar saja, ya.,” ujar Bang Rian dan membawa anak perempuanku keluar.“Sebelumnya saya minta maaf, ya, Pak, Bu. Sepertinya ada yang perlu diluruskan sete;ah kejadian tadi. Saya tak ada niatan mau mempertemukan kalian dengan mantan besan. Saya benar-benar tak tahu kalau mantan mertua dari wanita yang sering diceritakan Rian adalah Pak Nugroho. Kami tak pernah membahas nama mereka, hanya sedikit mengetahui kalau Alina pernah mengalami penyiksaan dan kelaparan di rumah suaminya,” jelas Om Sandiaga.“Iya, benar. Kami harap kalian tak salah paham, ya.” Tante Erni menimpali.“Iya, kami yakin kok kalau kedatangannya tadi ke sini bukan kalain rencanakan. Tapi memangnya siapa yang sakit di sana, Pak?” tanya Ibu.Om Sandiaga tersenyum sekilas dan menegakkan punggungnya. “Saya dan istri merasa orang paling miskin di dunia ini. Meskipun harta kami
“Astaga, Rian. Gak modal banget, ya, main petik bunga Tante sembaranagn. Si mawar itu sudah Tante anggap kayak anak sendiri,” cerocos Tante Erni, menatap iba pada tangkai bunganya yang sudah dipetik.“Duh, Tante ini berlebihan. Aku ini juga kan anak Tante. Bunganya juga kuambil cuma satu tangkai, itupun untuk menyenangkan hati calon menantu Tante.”Tanter Erni tertawa sekilas. “Baiklah. Tapi kamu harus ganti rugi dengan nyiram semua tanaman ini besok pagi.”“Siap, Tante.”“Ya sudah, kalian mandi dulu, baru bawa Alina jalan-jalan.”“Memangnya boleh mandi bareng?” bisik Bang Rian. Tante Erni membeliakkan mata dan aku langsung membuang muka. Ekspresi tante dan kepokannya itu bikin gemas saja.“Apa kamu bilang? Kalau kamu berani berbuat nakal sama Alina, Tante yang akan jadi lawanmu.”Aku mengulum senyum melihat wanita yang ikut berjasa menjadikan calon suamiku jadi seorang dokter, mencubit perut Bang Rian. “Ampun, Tante. Ampuuun.”“Ini belum seberapa. Kalau kamu nakal, awas saja, perutm