Setelah Cici lelah mengoceh, putrinya Alina pun mulai menguap. Aku memintanya dari Rian dan merebahkan cucuku itu di antara aku dan Alina. Bersama waktu yang terus merangkak, mataku pun ikut terlelap. Mungkin karena jalanan yang sudah bagus dan juga sopir yang profesional, aku jadi tidak terantuk-antuk sehingga baru terbangun saat suara azan subuh berkumandang .Kami singgah di sebuah mesjid yang ramai sekali para jamaahnya. Di zaman sekarang, ternyata masih banyak anak-anak remaja yang mau bangun dan meninggalkan selimutnya demi sholat berjamaah. Kelak jika tubuh ini sudah menyatu dengan tanah, maka yang kuharapkan adalah doa-doa dari anak-anakku. Semoga saja mereka tetap mengingat orang tua. Doa dan amal baiklah penyambung hubungan orang tua dan anak yang sudah berbeda alam.Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah omnya Rian. Karena sudah dikabarkan akan datang, keluarga Rian berkumpul di sana. Memang kurang lazim jika keluarga perempuan mengunjungi rumah calon besan, tapi sebagai
“Ya Robbi, bahagiakanlah Bang Rian dimana saja dia berada dan dengan siapa pun kini dia tertawa dan menyulam cinta.”Doa-doa serupa sering kulantunkan, apalagi wajah itu sering hadir dalam mimpi. Namun apa jadinya jika lelaki yang sering kudoakan malah berdiri di depan mata dan ternyata masih sendiri. Dubh dubh dubh.Jantung memompa darah lebih kencang. Sebagai seorang wanita, tentu aku malu jika mengatakan perasaan lebih dulu. Menjadi cuek adalah jalan ninja agar diri ini tidak salah tingkah. Dan kini, aku tak mau menolak lagi. Sangat jarang kesempatan kedua datang, dan tidak boleh kusia-siakanHati dan fisikku siap menjadi seorang istri. Ya, kini aku jadi calon istri seorang lelaki bernama Rian Irwansyah. Demi melegakan hati Ibu dan Bapak, di rumah Om Sandiaga-lah kami kini berkumpul. Baru pertama bertemu, tapi aku merasa seperti sudah kenal lama dengan mereka. tak ada sama sekali yang mengungkit statusku yang seorang janda.“Alina, tolong jangan menikah dengan orang lain. Tolong b
“Kenapa pada lihat-lihatan?” Bang Rian kelihatan bingung, barulah semua keluarganya kompak tertawa.“Ih, gak asyik. Sukanya meledek terus. Kita main di luar saja, ya.,” ujar Bang Rian dan membawa anak perempuanku keluar.“Sebelumnya saya minta maaf, ya, Pak, Bu. Sepertinya ada yang perlu diluruskan sete;ah kejadian tadi. Saya tak ada niatan mau mempertemukan kalian dengan mantan besan. Saya benar-benar tak tahu kalau mantan mertua dari wanita yang sering diceritakan Rian adalah Pak Nugroho. Kami tak pernah membahas nama mereka, hanya sedikit mengetahui kalau Alina pernah mengalami penyiksaan dan kelaparan di rumah suaminya,” jelas Om Sandiaga.“Iya, benar. Kami harap kalian tak salah paham, ya.” Tante Erni menimpali.“Iya, kami yakin kok kalau kedatangannya tadi ke sini bukan kalain rencanakan. Tapi memangnya siapa yang sakit di sana, Pak?” tanya Ibu.Om Sandiaga tersenyum sekilas dan menegakkan punggungnya. “Saya dan istri merasa orang paling miskin di dunia ini. Meskipun harta kami
“Astaga, Rian. Gak modal banget, ya, main petik bunga Tante sembaranagn. Si mawar itu sudah Tante anggap kayak anak sendiri,” cerocos Tante Erni, menatap iba pada tangkai bunganya yang sudah dipetik.“Duh, Tante ini berlebihan. Aku ini juga kan anak Tante. Bunganya juga kuambil cuma satu tangkai, itupun untuk menyenangkan hati calon menantu Tante.”Tanter Erni tertawa sekilas. “Baiklah. Tapi kamu harus ganti rugi dengan nyiram semua tanaman ini besok pagi.”“Siap, Tante.”“Ya sudah, kalian mandi dulu, baru bawa Alina jalan-jalan.”“Memangnya boleh mandi bareng?” bisik Bang Rian. Tante Erni membeliakkan mata dan aku langsung membuang muka. Ekspresi tante dan kepokannya itu bikin gemas saja.“Apa kamu bilang? Kalau kamu berani berbuat nakal sama Alina, Tante yang akan jadi lawanmu.”Aku mengulum senyum melihat wanita yang ikut berjasa menjadikan calon suamiku jadi seorang dokter, mencubit perut Bang Rian. “Ampun, Tante. Ampuuun.”“Ini belum seberapa. Kalau kamu nakal, awas saja, perutm
“Udahlah, kalian pergi saja. Jadi pastikan jangan kena hujan, panas dan debu, ya.”“Beres, Tan. Akan dipasangi plastik tranparan di pintunya biar aman dan nyaman. Ayo, Tuan putri.”Bang Rian mengulurkan tangan pada putriku dan mereka berjalan duluan.“Hati-hati, Nak,” ujar Ibu yang sejak tadi ikutan senyam-senyum. Sedangkan Bapak, aku belum melihatnya. Entah sudah tidur di kamar, karena bagi Bapak perjalanan jauh itu sangat melelahkan sekali. Mungkin karena efek badan yang sudah menua juga.Aku naik ke becak dan duduk di bagian pinggir pintu dan Cici sudah duduk di sebelah sopir. Motor yang digunakan untuk menggandeng becak ini adalah motor besar dan masih mengkilap. Becaknya juga model untuk angkutan wisatawan sehingga tetap cantik digunakan jalan-jalan.“Darimana dapat ini, Bang?”“Sewa, Dik. Aku takut kalau naik mobil, kamu dan Cici malah tidur. Ini lebih bebas memandang semua jalanan.”“Memangnya kita mau kemana?”“Ya, keliling-keliling saja. Nanti kalau lapar atau haus, kita mamp
“Jadi gimana, Alin? Kamu izinkan Delon menemui Cici?” tanya Bang Rian, menyentuh pundaku. Aku terdiam, masih ragu apakah laki-laki ini tidak akan nekad menyakiti putriku juga mengingat dia pernah sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.“Alina, aku memang laki-laki paling bodoh di dunia ini. Aku terlambat menyadari kalau cintaku padamu sebenarnya bisa tumbuh dengan sendirinya. Aku terlalu fokus ingin memiliki wanita lain yang jiwa dan raganya tidak bisa kurengkuh. Aku telah menumbalkanmu demi ambisiku,” lirih Delon sambil terisak. Kami jadi perhatian beberapa orang yang kebetulan lewat, tapi mereka berlalu tanpa ikut campur dengan urusan kami.Aku menarik napas panjang, menatap iba pada lelaki kurus ini. Tiada dendamku padanya, apalagi aku telah berhasil melewati masa-masa sulitnya hidup dengan baik. Kami sudah resmi berpisah, tapi ada anak yang menjadi hubungan ini tidak bisa benar-benar putus.“Baguslah kalau kamu sudah sadar dengan kesalahanmu. Kuharap kamu itu kuat. Kamu harus b
Tak terasa, mataku ikut menghangat. Perlahan pandangan pun buram karena cairan bening itu mulai menghalangi. Aku mengerjapkan mata dan mengalihkan pandangan agar Delon tak tahu kalau aku ikut menangis. Aku prihatin padanya, tapi tiada hak dan kewajibanku lagi untuk merangkulnya seraya mengatakan mengatakan kalau aku akan setia mendampinginya. Semuanya sudah bebeda. Di hatiku ada nama lain, lelaki terbaik menurut hatiku dan juga keluargaku. Lelaki yang akan memberikan warna hidup untukku.“Makasih, ya, Kak. Sudah bantu jagain anak saya,” ujarku pada perempuan berseragam khusus itu. Dia menganggukkan kepala dan permisi mau melanjutkan pekerjaan.“Eh tunggu. Ini sedikit tanda terima kasihku.”“Gak usah, Mbak. Saya ikhlas kok. Saya permisi,” tolaknya sambl menangkupkan kedua tangan di depan dada.“Dia tidak akan mau menerima uang pemberian orang lain, kecuali gaji karena bekerja,” timpal Bang Rian. “Dan menjaga Cici pastinya bukan pekerjaan menurutnya.”Aku tersenyum dan memsukkan kembal
Satu bulan kemudian, pernikahan antara aku dan Bang Rian dilangsungkan dengan meriah di kampungku. Ijab qobul berlangsung dengan lancar meskipun kuyakin Bang Rian sangat grogi. Terbukti dari tangannya yang dingin saat aku menyalami lelaki yang telah resmi jadi imamku itu. Orang paling banyak dikasih nasehat adalah Bang Rian. Dalam acara memberi petuah, semua yang hadir mengingatkan agar suamiku tak pernah menyakiti istri. Ya, sesayang itu semua orang padaku“Kamu ikutan memajukan yayasanku, ya, Lis. Jangan sampai yang sudah kita bangun dengan susah payah itu sampai tutup,” ujarku pada Lisda, sahabatku. “Beres, Bu Kepala. Makanya nanti sering pulang kampung untuk memantau perkembangan yayasan dan juga kebun sawit Cici.”“Aku bukan kepala yayasan lagi. Kak Sri yang akan mengurus semuanya. Dia itu sarjana dan lebih bijak untuk urusan itu semua. Kamu harus dukung kakak iparku, ya. Dan kebun, biarlah jadi urusan Bang Raka.”“Salut salut. Ya, beginilah yang namanya bos, ya. Tak usah kerj