“Silakan masuk, Bro!” Rian mempersilakanku dengan ramah. Ternyata rumah yang mereka tempati bersebelahan dengan milik omnya sendiri yang berjasa menjadikannya sebagai dokter. Aku masih ingat betul tempat ini.“Siapa, Rian?” Suara Bu Rahimah membuatku jadi kikuk. Mantan mertua yang dulu pernah murka padaku karena telah menelantarkan putri kesayangannya. Aku tak menyangka kalau ibunya Alina sedang ada di sini.“Ini Ayah, Nek.” Putriku langsung menjawab, padahal kaki ini rasanya ingin berlari menjauh dari sini.“Ayah?”“Iya, Ayah Delon.” Cici menarik tanganku. Jantungku rasanya mau copot ketika melihat mantan mertua menyipitkan mata, menatapku dari atas sampai bawah.“Delon? Ngapain kamu ke sini?”“A—ku ....” Mendadak lidah keluh. Aku kehabisan semua kosa kata untuk menjawab pertanyaan mantan mertua.“Ibu ini bagaimana? Di sini kan ada Cici, putrinya Delon. Wajar dia datang mau bertemu dengan Cici.” Rian tertawa sekilas, membuat suasana sedikit cair. “Ayo kita masuk, Bro. bicara di dalam
“Ada apa ini, Elsa? Kok ribut-ribut?” Alina datang menghampiri ke dapur. Sekarang, dia tetap pakai jilbab meskipun di rumah. Entahlah, mungkin juga karena ada aku bertamu ke sini.“Itu, Bu. Laki-laki ini tidak punya etika. Masa dia godain aku.”Aku meringis mendengar jawaban Elsa yang sejatinya adalah fitnahan. Sejak kapan aku godain dia? Dia sendiri yang tidak sopan dengan berdiri di depan kamar mandi saat aku berada di dalam. Dialah yang lebih pantas disebut tidak punya etika dan tanpa merasa bersalah mengayunkan panci ke wajahku.“Godain seperti apa?” Alina bertanya lagi.“Dia mengedipkan mata, Bu. Mentang-mentang aku janda, tak mungkin suka pada lelaki seperti dia.”Kuusap wajah yang panas sambil melirik ke arah Elsa. Wanita ini pembohong sekali. Pantas saja dia sering dipukuli mantan suaminya hingga mereka bercerai.“Aku tak godain kamu, ya. Gak mungkin. Di luaran sana banyak wanita yang mau samaku. Andai di dunia ini hanya ada satu wanita tersisa dan itu kamu, aku tak akan sudi
“Maaf, Delon. Bukannya kami tak izinkan kamu punya lebih banyak waktu bersama dengan Cici. Namun, kami tak bisa lepaskan Cici sendirian sama kamu. Maaf jika terkesan tak adil.”Bu Rahimah bicara dengan lembut saat Cici merengek minta ikut denganku ke kafe. Aku maklum, diri ini bukanlah lelaki yang pantas disebut sebagai ayah yang baik.“Gak apa-apa, Bu. Diizinkan bertemu seperti ini saja sudah membuatku bahagia. Selama ini, bukan saya yang membesarkannya dan bahakan tak ada ikut andil dalam semua pengeluarannya. Melihat dia tumbuh besar dan tak kekurangan apapun seperti ini sudah cukup bagi saya,” balasku seraya tersenyum.“Baguslah kalau kamu mengerti.”“Tapi, Nek. Cici mau sama Ayah. Tolong izinin, Nek,” rengek putriku.“Gak bisa, Ci. Tolong mengerti! Kalau Nenek tak izinkan, pasti demi kebaikanmu juga,” tegas ibunya Alina. Cici tak membantah lagi, tapi air matanya deras keluar. Gadis kecilku melengang pergi menuju kamar.“Bu, kasihan Cici,” lirih Rian.“Lebih baik kasihan sekarang,
“Ayah gak apa-apa?” Cici terlihat cemas di sampingku. Aku terpaksa tersenyum dan mengatakan kalau baik-baik saja. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan putriku sendiri.“Tolong bawa Cici keluar! Anak-anak tak baik berada dalam rumah sakit,” titahku pada salah satu karyawan perempuan paling terpercaya.“Baik, Bos.”Aku berusaha duduk dan menegakkan punggung. Tinggal aku dan Elsa di sini. Wanita menyebalkan itu menyodorkan segelas air putih.“Maafkan aku, ya. Aku benar-benar tak sengaja menendangmu tadi.” Dia berkata dengan nada santai dan ekspresi datar. Menyebalkan.“Tak sengaja kamu bilang? Bullshit. Kamu pasti sengaja ingin menyakitiku, kan? Kamu telah lancang masuk ke ruanganku dan bertindak semena-mena tanpa mencari tahu apa yang terjadi. Kamu pasti akan menyesal karena telah membuatku masuk rumah sakit. Kamu akan masuk penjara,” cetusku.“Haduh, jangan diperkarain dong. Aku kan gak sengaja. Ini hanya salah paham. Kukira kamu telah aniaya karyawanmu, ternyata dia sendiri yang
“Jadi kamu ketemu cucu Papa? Sudah sebesar apa dia?” Papa begitu antusias saat kuceritakan pertemuanku dengan Cici. Sekali seminggu, aku tetap pulang ke rumah untuk mengecek keadaan mereka berdua sekaligus melihat perkembangan kafe yang di sana. Alhamdulillah, sejauh ini Andika masih amanah menjalankan tugasnya. Pemasukan tiap bulan stabil dan cenderung meningkat.“Iya, Pa. Keluarga Alina memang baik. Mereka mengizinkanku bertemu dan bahkan membawa Cici ke kafe baru. Ya, meskipun harus ikut sama pengasuhnya.” Kubuka handphone dan menunjukkan foto serta video kebersamaanku dengan Cici.“Ya Allah, cantik sekali Cici. Benar-benar perpaduan antara kamu dan Alina. Papa juga jadi kangen sama dia. Kenapa gak bawa Cici ke sini, Delon?”Aku tersenyum tipis melihat Papa sampai mengusap-usap layar ponsel. “Sebenarnya aku juga mau bawa dia ke sini, Pa. Namun, mana berani aku langsung mengajaknya. Kita saja beda kota. Terlalu ngelunjaklah, Pa. Mereka masih mengenalkanku sebagai ayah kandung Cici d
“Apa kamu berpikiran buruk tentangku tadi?”“Kenapa memangnya? Kamu akn memang orang baik,” pujiku.“Hmm, aku yakin kamu sudah berpikir negatif saat aku mematikan ponsel setelah kamu mentransfer uangnya. Iya, kan?” sergah Elsa.Aku tertawa sekilas dan mengangguk, padahal Elsa tak akan melihatnya. Kami sedang menlpon tanpa video.“Kamu memang wanita menyebalkan, tapi sekaligus baik,” kekehku.“Dan kamu laki-laki menyebalkan doang,” cetusnya.Aku mendengkus. Wanita ini sudah dipuji, tetap saja tak mau memuji balik. Apa memang sudah sifatnya. Ah, terserahlah.“Oh iya, mana Cici?” tanyaku kemudian.“Nanti saja nelponnya, ya. Dia lagi sibuk ngerjain tugas.”Aku membulatkan mulut. “Kamu bantu jaga dia dengan baik, ya. Aku percaya Alina bisa menjaga putri kami dengan penuh kasih sayang, tapi mengingat dia lagi hamil besar, pasti akan sulit menjaga dua anak sekaligus. Belum lagi ibu hamil lebih sering marah-marah dari biasanya.”“Siap. Kamu tenang saja. Oh iya, kamu ini kan sekarang sudah suk
“Kalau cinta, katakan saja. Jangan menunggu orang lain mendahului.” Papa membuyarkan lamunanku yang sedang senyam-senyum menatap foto Elsa.Aku langsung mematikan layar dan meletakakkan ponsel di atas ranjang. “Papa bikin kaget aja deh. Kalau masuk kamar, ketuk pintu dulu dong,” protesku.“Sejak kapan ada peraturan baru itu? Kamu itu masih sendiri dan tak masalah jika Papa bebas masuk kamarmu. Beda jika sudah menikah nanti, tentu Papa tak boleh masuk sembarangan lagi.”Papa mana bisa disalahkan. Dia selalu punya jawaban yang masuk akal. Lelaki tua itu duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahku.“Kamu suka sama wanita itu, kan?”“Enggaklah, Pa.”“Jangan berbohong, Delon! Papa juga pernah muda dan tahu betul rasanya bagaimana saat jatuh cinta. Bisa senyam-senyum sendiri, menatap foto doi, tapi kalau ketemu sok jaim dan terkesan cuek.”“Papa apaan sih? Aku tadi cuma mandangi foto Cici kok,” elakku. Astaga, Elsa memang bisa membuatku seperti berad di dunia lain, sampai-sampai tak mendenga
Aku langsung menelpon Andika untuk memperjelas tentang pesan yang dia kirim. Aku penasaran kenapa Wina kembali setelah sekian lama menunggunya dan kini diri ini sudah melabuhkan hati pada wanita lain.“Halo, Bro. Ada apa?” tanyanya di seberang sana. Terdengar suara canda tawa anak-anak di dekatnya.“Sibuk, gak? Apa mengganggu?” Aku merasa tak enak hati. Malam begini adalah waktu istirahatnya dan aku malah menelpon.“Ini lagi ngumpul sama keluarga saja. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan, gak apa-apa.”Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Kamu gak bercanda kan, tentang Wina yang datang ke kafe?” tanyaku ke inti.“Enggak. Ngapain juga aku bercanda? Gak penting banget.”“Dia datang mau ngapain? Minta kerjaan lagi?” cecarku. Mana tahu Andika tahu sesuatu.“Enggak. Katanya pengen ketemu kamu saja. Dia sempat minta alamatmu juga, tapi gak kukasih. Makanya dia tinggalkan nomor hapenya. Tanya aja sendirilah, dia mau ngapain,” balas Andika.“Baiklah, makasih infonya, Br