“Kalau cinta, katakan saja. Jangan menunggu orang lain mendahului.” Papa membuyarkan lamunanku yang sedang senyam-senyum menatap foto Elsa.Aku langsung mematikan layar dan meletakakkan ponsel di atas ranjang. “Papa bikin kaget aja deh. Kalau masuk kamar, ketuk pintu dulu dong,” protesku.“Sejak kapan ada peraturan baru itu? Kamu itu masih sendiri dan tak masalah jika Papa bebas masuk kamarmu. Beda jika sudah menikah nanti, tentu Papa tak boleh masuk sembarangan lagi.”Papa mana bisa disalahkan. Dia selalu punya jawaban yang masuk akal. Lelaki tua itu duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahku.“Kamu suka sama wanita itu, kan?”“Enggaklah, Pa.”“Jangan berbohong, Delon! Papa juga pernah muda dan tahu betul rasanya bagaimana saat jatuh cinta. Bisa senyam-senyum sendiri, menatap foto doi, tapi kalau ketemu sok jaim dan terkesan cuek.”“Papa apaan sih? Aku tadi cuma mandangi foto Cici kok,” elakku. Astaga, Elsa memang bisa membuatku seperti berad di dunia lain, sampai-sampai tak mendenga
Aku langsung menelpon Andika untuk memperjelas tentang pesan yang dia kirim. Aku penasaran kenapa Wina kembali setelah sekian lama menunggunya dan kini diri ini sudah melabuhkan hati pada wanita lain.“Halo, Bro. Ada apa?” tanyanya di seberang sana. Terdengar suara canda tawa anak-anak di dekatnya.“Sibuk, gak? Apa mengganggu?” Aku merasa tak enak hati. Malam begini adalah waktu istirahatnya dan aku malah menelpon.“Ini lagi ngumpul sama keluarga saja. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan, gak apa-apa.”Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Kamu gak bercanda kan, tentang Wina yang datang ke kafe?” tanyaku ke inti.“Enggak. Ngapain juga aku bercanda? Gak penting banget.”“Dia datang mau ngapain? Minta kerjaan lagi?” cecarku. Mana tahu Andika tahu sesuatu.“Enggak. Katanya pengen ketemu kamu saja. Dia sempat minta alamatmu juga, tapi gak kukasih. Makanya dia tinggalkan nomor hapenya. Tanya aja sendirilah, dia mau ngapain,” balas Andika.“Baiklah, makasih infonya, Br
“Maaf, ya. Mungkin aku terlalu lancang. Padahal, kita tak ada hubungan lagi. Kita pernah berjanji akan melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius, tapi aku malah ditimpa musibah begini. Mungkin sudah takdirku mati di tangan lelaki jahat itu.”Wina mengusap matanya yang basah, lalu bangkit dan berjalan meninggalkanku yang masih dilanda kebingungan. Baru beberapa langkah, Wina tampak limbung dan hampir jatuh ke tanah jika tidak kutangkap.“Kamu tak apa-apa?” tanyaku. Ah, pertanyaan ini tidak tepat sama sekali. Bagaimana mungkin dia baik-baik saja, sedangkan wajah itu pucat dan saat kusentuh keningnya, terasa hangat. Dia demam.“Aku akan bawa kamu ke rumah sakit, ya.” Kutuntun dia duduk kembali. Aku berencana menggendongnya saja ke mobil jika Wina belum sanggup jalan.Wina menggeleng pelan dan mengusap wajahnya lagi. “Jangan bawa aku ke rumah sakit, Del. Orang suruhan suamiku mungkin akan mencari ke rumah sakit juga.”“Lalu, kamu bagaimana? Kamu lagi sakit begini loh. Kondisimu juga ga
“Elsa, jangan ngambek kayak anak kecillah. Kita ini sudah sama-sama dewasa dan pernah merasakan yang namanya berumah tangga. Kalau sedikit masalah langsung memutuskan sebelah pihak, bagaimana rumah tangga nantinya bisa bertahan lama?” cecarku. Aku mengerjar Elsa dan Cici yang sudah keluar kafe.“Kalau aku yang melakukan kesalahan kayak hal tadi, apakah kamu akan menerimanya? Kamu tidak marah dan berburuk sangka?” cibirnya.Aku terdiam beberapa saat. Membayangkan hal yang sama dengan yang dikatakan Elsa. Aku juga mungkin akan salah sangka dan cemburu jika melihat Elsa dekat dengan laki-laki lain, apalagi sampai bersentuhan tangan.“Aku minta maaf jika itu salah menurutmu, El.”“Ya, memang salah. Dan aku yakin, kamu tak akan jujur jika tak ada bukti tadi,” cetusnya.“Maafkan aku, El. Aku memang salah, tapi yang jelas kami bukan sepasang suami istri. Makanya biar tak makin ruyam, tolong dengarkan dulu penjelasanku.”“Hmm, baiklah. Katakan sekarang juga.”Aku menarik napas dalam saat men
Aku mengurungkan niat untuk masuk dan menjenguk Elsa. Buat apa lagi aku masuk? Hanya akan membuat hati ini terluka. Dia tidak sakit, melainkan sedang tertawa senang bersama dengan seorang laki-laki. Mungkin itu kekasihnya. Ah, mungkin kami memang ditakdirkan tidak berjodoh.Kuhela napas panjang dan membalikkan badan. Namun, di saat yang bersamaan, pintu berderit dan cahaya lampu dari dalam rumah menyorot punggungku.“Hei siapa kamu? Mau bertamu atau maling?” cecar seorang perempuan, tapi kuyakin itu bukan Elsa. Terjadilah kegaduhan dari dalam. Aku jadi dilema, apakah mau pergi atau di sini saja. Kebimbanganku terjadi karena dicurigai maling dan mengetahui kenyataan baru juga kalau ada Elsa tidak berdua saja di rumah itu.“Aku bukan maling kok,” balasku pada wanita tadi. Kutaksir, dia seumuran dengan Elsa. Dia sudah memegang gagang sapu dan mengacungkannya ke atas. Kalau aku lari, dia bisa teriak nanti dan terjadi salah paham.“Mas Delon? Ngapain ke sini?” Elsa keluar disusul seorang l
“Jangan tegang begitu, Delon. Aku bercanda kok.” Wina tertawa terpingkal-pingkal dan menepuk lenganku. Ah, aku lupa kalau dia sebenarnya humoris. Namun, aku tadi melihatnya begitu serius hingga mengira apa yang dia katakan memang dari hatinya.“Aku senang kalau kamu dapat calon istri yang baik. Gara-gara kita sempat berteman baik, aku jadi tambah beruntung karena bisa dibantu sama Mbak Elsa juga,” lanjutnya.Aku menarik napas lega dan tersenyum tipis. “Kamu memang jago banget bikin senam jantung. Udah ah, aku juga mau keluar dulu. Mau pamit sama ibu kos.”Kutinggalkan Wina dan berbicara sebentar dengan ibu kos. Dia sempat mau mengembalikan uang yang sudah kubayar untuk satu bulan, tapi kutolak.“Ibu sudah baik sekali pada Wina dan dia pindah bukan karena diusir. Jadi, gak apa-apa, simpan saja uangnya, Bu. Aku ikhlas kok.”“Makasih kalau begitu, Mas. Jaga baik-baik temannya, ya. Semoga keadaannya makin membaik kalau sudah pindah dan sering diperiksakan ke dokter.”“Iya, Bu. Makasih ba
Hari tambah hari, berat badan Wina makin naik. Tidak hanya perutnya saja yang buncit, tapi tangan dan kaki tidak kerempengan seperti sebelumnya. Selain faktor makanan dan juga kontrol rutin, mungkin karena dia lebih bahagia juga sekarang. Elsa benar-benar perhatian padanya sehingga Wina seperti mendapatkan sosok seorang ibu yang sangat menyayanginya.Elsa pun tak pernah mengeluhkan apa-apa tentang Wina. Dia dengan senang hati dan ikhlas merawat wanita hamil itu tanpa paksaan. Selain karena kasihan, dia juga senang dengan wanita hamil. Soalnya, selama beberapa tahun berumah tangga dengan mantan suaminya, Elsa belum pernah merasakan bagaimana mengalami kehamilan.Sebelumnya aku sudah merencanakan untuk menemui orang tua Elsa supaya membahas hubungan kami. Papa terus mendesak agar aku melamar Elsa secara resmi. Namun, wanita yang kucintai mengundurkan waktunya dengan alasan dia ingin menunggu Wina lahiran dulu.“Setelah kita menikah, tentu akan serumah, Mas. Lalu bagaimana dengan Wina? S
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus