"Susah, move on-nya, Jar. Kakakmu, masih terlalu sulit untuk disingkirkan dari dalam sini."
Aku menghela nafas pelan. Ucapan Mas Daffa barusan membuat dadaku berdenyut nyeri. Aku jadi merasa sangat bersalah padanya. Hubungan kami waktu itu sudah cukup dekat dan mau menjajaki ke lebih serius. Namun karena janji itu membuatku harus terpaksa melepaskannya.
"Jar, Mas pulang dulu ke hotel, nanti kita gantian saja jaga Aya-nya. Kasihan, kamu juga butuh istirahat. Jangan sampai ikutan sakit, masa aku nunggu dua orang sekaligus nantinya, capek Jar," seloroh Mas Daffa diikuti dengan kekehan ketawanya Fajar.
Lalu hening. Tidak ada suara lagi saling bersahutan. Mas Daffa sudah pergi beberapa menit yang lalu. Mata ini masih kupejamkan dengan rapat, biarlah. Kuharap aku memang tertidur sungguhan. Siapa tahu esok lebih baik dari hari ini. Maafin Kakak ya Jar, sudah merepotkanmu. 
Sinar mentari pagi menyapa dari balik tirai jendela kamar inapku. Jendela kamar ini menghadap ke taman depan. Aku bisa melihat aktivitas orang yang lewat hilir mudik masuk ke dalam rumah sakit.Keadaanku sudah mulai membaik. Pusing di kepalaku sudah tidak pernah muncul lagi. Tidak ada pula sakit berat yang kurasakan di anggota tubuhku yang lainnya, kecuali nyeri di hati, masih terasa sakitnya sampai saat ini. Hari ini kuputuskan membujuk Fajar agar meminta dokter mengijinkan aku pulang."Fajar, kamu kemana saja semalam? Kakak cari kamu tidak ada disini," ujarku membuka obrolan ketika Fajar masuk ke dalam. Posisiku dalam keadaan duduk, aku sudah bisa menegakkan tubuh. Lelah rasanya kalau hanya berbaring saja di atas tempat tidur brankar rumah sakit ini. Dari sejak berbunyi adzan subuh aku sudah terbangun. Semalaman aku memikirkan omongan Mas Bintang. Aku kesal, gara-gara Fajar tidak ada, Mas
"Baik," ucapku sembari menghela nafas panjang, seakan yang ingin kukatakan kepadanya adalah sesuatu yang berat yang selama ini kupikul sendiri."Begini Jar. Ada rahasia yang selama ini Kakak sembunyikan dari kamu." Fajar menatapku lekat mendengarkan dengan serius apa yang ingin kusampaikan kepadanya."Mas Bintang telah membohongi kita selama ini. Sebenarnya selama ini ..., Mas Bintang mempunyai istri yang lain selain Kakak," ucapku dengan berat. Ada sorot ketidakpercayaan yang ditunjukkan raut wajah Fajar terhadapku. Dia mengernyitkan dahi menatapku dengan tatapan heran."Maksudnya?" tanyanya lagi memastikan."Mas Bintang sudah menikahi wanita lain sebelum menikah dengan Kakak, dan Kakak adalah istri keduanya.""Nggak mungkin Kak? Kakak jangan bohong. Dengan j
Wanita paruh baya dengan garis wajah mirip ayah datang menghampiriku dengan raut muka yang sedih. Tampak berkaca-kaca matanya menatap wajahku lekat."Aya!" Ia langsung menyambar memelukku dengan erat dan menangis tersedu-sedu di bahuku.Aku dan Fajar saling pandang, seolah paham dengan kode yang kuberi, Fajar hanya membalasnya dengan mengendikan bahu."Maafkan Tante Ya, ini semua salah Tante." Wanita paruh baya ini masih terisak dengan berkata maaf di sela tangisannya."Iya, Tante, Aya maafkan. Tapi ini kenapa? Tante salah apa?" tanyaku bingung dengan mencoba mengurai pelukannya yang semakin kuat hingga terasa menyiksa. Aku merasa sesak dibuatnya."Tidak ... Tante yang salah, hukum saja Tante, kalau bukan karenaku, kamu nggak akan mengalami nasib yang kayak gini," sahutnya lagi mas
"Ehm ... itu, itu Tante tanya orang waktu mengunjungi rumahmu Ya, katanya kamu masuk rumah sakit, jadi Tante langsung menuju kesini," jawabnya masih dengan meremas-remas jemarinya dan menunduk. Ia terlihat gugup. Entahlah, apa hanya perasaanku saja.Aku menatap Fajar mencari tahu apakah jawaban Tante Yuna benar. Karena jujur aku sendiri tidak tahu menahu keadaan rumah selama terbaring di rumah sakit ini.Fajar manggut-manggut seolah membenarkan. "Oh mungkin yang kerja di rumah Kakak itu yang ngasih tahu kondisi Kak Aya, saat Fajar sudah sampai sana, Fajar mendapat kabar kalau Kak Aya kecelakaan," tebaknya."Nah itu, i-iya. Tante tahunya dari mereka. Sejak dari kemarin perasaan Tante nggak enak sama kamu, kayak ada sesuatu yang buruk menimpa kamu Ya, jadi Tante putuskan malam itu juga berangkat pergi ke kota ini buat nemui kamu. Tapi sampai di
Fajar memandang penuh arti ke arah Ibu, lalu berganti arah ke sosok wanita paruh baya satunya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi masih ditahannya.Kuamati dua sosok tersebut lamat-lamat."Ada apa sebenarnya Bu, Tante? biasanya kalian tidak begini?" tanyaku menghentikan perdebatan mereka.Sontak keduanya kaget. Tante Yuna masih meremas jemarinya. Aku tahu dia mencoba menetralkan kegugupannya dengan cara seperti itu. Sudah kucermati gaya bicaranya dari tadi. Raut wajahnya pun tidak bisa berbohong, mudah sekali ditebak. Aku menatapnya tajam. Berbeda sama Ibu yang lebih pintar memainkan raut wajah."Memangnya kami kenapa Nak?" sahut Ibu menatapku sayu."Ada yang kalian sembunyikan dari kami, bukan begitu Tante?" tembak Fajar sembari melirik ke arah Tante Yuna.
Aku masih menangis sesegukan dalam dekapan Fajar. Tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi ini semua. Rasanya seperti mimpi buruk."Cahaya, dengarkan Ibu dulu, Ibu bisa jelaskan semuanya," bujuk Ibu merangsek maju dengan membawa kursi rodanya menuju ke arahku."Tahan, Nyonya Tiar, tetap disana. Kakakku tidak akan mau berdekatan dengan seorang pembohong." Fajar mendesis dan mengarahkan telapak kanannya ke udara untuk menghentikan gerak Ibu yang mencoba mendekati."Tante Yuna! bawa temanmu itu keluar dari sini, kami tidak ingin melihat wajahnya lagi." Fajar menunjuk wajah Ibu dengan telunjuknya.Ibu menggeleng. Tidak Jar, kasih Ibu kesempatan untuk menjelaskannya, Cahaya harus tahu kalau Ibu benar-benar menyayanginya setulus hati Ibu," ungkap Ibu dengan berlinang air mata di wajah pucatnya yang keriput dimakan
Aku memandang keluar dari jendela kamar rawatku ini untuk mengalihkan kesedihan di hati. Tampak taman depan penuh dengan bunga dan tanaman beraneka warna. Indah. Melihatnya, mengingatkanku akan kenangan bersama Ibu. Kami sering menyiram bersama atau sekedar duduk santai memandangi keindahan mereka.Aku mengerjap. Air mata menetes dari kedua sudut mata. Kuhirup oksigen dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lega? Belum. Masih ada yang berdenyut nyeri. Kutekan dada ini, berharap sakitnya hilang. Tidak mau juga, rasa itu masih betah bersemayam di dalamnya. Entah kapan dia akan pergi.***"Kak," sapa Fajar membuyarkan lamunanku."Ya.""Semua sudah beres, kita bisa pergi sekarang," ujarnya. Aku menganggukkan kepala."Barang Kakak sudah lengkap? ap
Aku melirik ke arah Fajar. "Iya Kak, buat nenangin diri dulu. Biar nggak keingat sama kecelakaan yang lalu," balas Fajar menjawab pertanyaan Mas Daffa. Syukur Fajar tidak mengatakan alasan yang sebenarnya."Oh, baguslah buat menyegarkan pikiran juga. Bintang tahu 'kan?"Sebenarnya aku malas menjawab rasa penasaran Mas Daffa. Tapi kalau tidak dijawab juga nggak enak karena aku numpang naik mobilnya. "Iya," sahutku cepat lalu segera menyenderkan badan ke punggung kursi dan memejamkan kedua mata. Aku berharap Mas Daffa berhenti bertanya atau mengajak bicara setelah melihat posisiku sekarang.***"Kak, bangun. Sudah sampai." Tangan Fajar mencolek bahuku pelan. "Hoamm ...." Aku berpura terbangun. Padahal aku tidak tertidur sepanjang jalan."Maaf ketiduran," ucapku samb