“Mas, mau makan apa?”Seperti biasanya, dia menyambutku penuh senyum meski sebelumnya aku pergi tanpa pamit. Nadia seperti tidak pernah marah dengan apa yang kulakukan ternyata karena memang dia menikah denganku bukan karena cinta tapi karena dendam. Rasanya masih seperti mimpi karena wanita yang kucintai dan kulindungi malah menusuk dari belakang dengan cara yang tidak terduga.“Nggak lapar.”“Kamu udah makan?”“Hm. Laisa mana?”“Baru aja pulang, masih mandi kayaknya. Biar nanti aku panggil.”“Kita bicara dulu.” Aku mengayunkan langkah masuk ke dalam kamar.Sandiwara yang dia jalankan harus segera dituntaskan. Aku tidak mau nanti ada lebih banyak orang yang menderita karena niat Nadia memang untuk itu. Tidak akan kubiarkan penderitaan keluargaku berlanjut.“Ada apa, Mas? Kenapa kayaknya serius banget. Mau aku bikinin kopi dulu?”“Nggak usah.”Aku mengeluarkan semua isi dari amplop coklat yang tadi kubawa. Nadia terbelalak saat melihat foto-foto terbarunya bertemu dengan sang ibu. Set
“Bagaimana mau mengurus anak-anak kalau urus diri sendiri nggak bisa,” komentar Mama.Mama pasti melihat penampilanku sekarang yang terlihat sangat tidak terurus. Tentu saja, karena biasanya Hana yang paling rajin. Dia yang mengambil alih tugas Nadia 7 tahun ke belakang.Sekarang aku harus mengurus diri sendiri. Laisa sudah besar, dia bisa mengurus dirinya sendiri.“Maafin aku, Ma.”“Perbaiki hidup kamu, Nat. Mama juga terluka melihat kamu begini.”Aku tahu, meski Mama terlihat kejam tapi hatinya ikut terluka melihat anaknya begini. Mama belum tahu soal Nadia dan balas dendam ibunya. Biarlah itu hanya aku yang tahu, aku tidak mau menambah beban pikiran Mama lagi.Kunci mobil, kartu kredit dan kartu debit kutaruh di atas meja.“Aku pulang, Ma.”“Ambil ini. Ada anak-anak kamu yang harus dinafkahi, tapi jangan mengandalkan ini karena kamu juga harus belajar cari kerja sendiri.” Mama menyerahkan satu kartu debit padaku.“Ma-”“Ambil. Mama cuman kasihan sama anak-anak kamu.”“Makasih, Ma.”
Yuna mengajakku dan Laisa untuk menghampiri Hana.“Kalau tahu Papa ke sini, harusnya tadi Papa yang jemput Yuna sama Mama. Bukannya Om Sam.” Yuna mulai berceloteh.Apa mereka sudah sedekat itu? Bahkan datang ke acara pernikahan bersama. Dan pakaiannya ….“Tante kenal juga sama Bang Samudra?”Aku melirik Laisa.“Dia temen Tante.”“Temen apa temen, Tan. Temen kok dikasih baju keluarga sih?”Bisa-bisanya Laisa mengatakan itu. Tidakkah dia tahu kalau papanya ini cemburu?“Wajarlah, dia 'kan calon anggota keluarga juga.” Lelaki bernama Samudra itu langsung menyahut sambil menyenggol pundak Hana.Ingin sekali aku menjauhkan mereka, tapi aku tahu diri dan tahu malu. Jangan sampai membuat Hana malu apalagi membuat keributan di acara orang lain.“Papa, Bang Sam ini Abangnya Kak Retta juga.” Laisa menjelaskan padaku.Aku hanya membalas dengan anggukan dan seulas senyum. Ada rasa bahagia juga, rindu yang terobati saat melihat Hana secara langsung. Dia terlihat tambah cantik dan mempesona. Berbed
POV Hana“Sudah jadi mantan kok masih posesif.”Aku melirik Samudra yang fokus menyetir. “Ngapain juga kamu ngurusin, Sam? Nggak ada kerjaan banget.”“Ya wajarlah, aku ‘kan salon kamu.”“Calon gundulmu!”Tawanya pecah dengan sebelah tangan menepuk pundakku. “Masih belum move on?”“Aku males kalo harus ngomongin soal hubungan. Aku cuman mau fokus kerja sama urus Yuna.”“Jadi, aku ditolak lagi?”“Sam-”“Iya, iya. Aku ngerti, semua ini nggak mudah buat kamu.”Memang benar, aku sudah berulang kali menolaknya karena memang aku belum siap untuk membuka hati untuk orang lain karena trauma dengan yang sebelumnya. Jadi daripada mengecewakan pasanganku nanti lebih baik fokus untuk diri sendiri dan anak dulu saja.Bahkan Ibu dan Ayah saja sudah memberi restu padahal aku belum ada niat untuk lebih jauh. Aku dan Samudra hanya sebatas teman saja. Aku saja bingung kenapa dia tiba-tiba begini? Padahal sikapnya sangat menyebalkan. Mungkin saja rasanya disembunyikan dengan itu.Waktu itu, kalau bukan T
Mataku memanas, napasku tersengal.“Nggak, Yuna nggak mungkin sakit, Mas.” Aku menggeleng, menepis semua fakta yang sudah ada di depan mata.“Mas juga maunya semua ini cuman mimpi tapi apa? Kamu lihat sendiri hasil tesnya ‘kan? Kalau masih nggak percaya silakan tes di tempat lain.”Tubuhku lemas seketika. Kenapa harus Yuna? Dia terlalu kecil untuk mengidap penyakit seberat ini.“Aku nggak becus jadi ibu, kenapa bisa Yuna sakit tanpa aku tahu, Mas.” Tangisku tidak terbendung lagi.Melihat putriku sakit jelas aku pun ikut sakit.Mas Nata bangkit, menghampiri, Mendekap pundakku yang bergetar dengan erat.“Maaf, Mas nggak maksud menyakiti kamu dengan kata-kata tadi. Mas cuman terbawa emosi, Han. Yuk kita balik lagi ke rumah sakit, takutnya nanti Yuna bangun.”Tubuhku lemas rasanya, jika Mas Nata tidak membantuku berjalan mungkin aku tidak akan mampu melangkah. Ditampar kenyataan begini membuat duniaku hancur seketika. Ibu mana yang akan baik-baik saja saat tahu anaknya sakit begini.“Kala
“Kamu yakin buat balikan sama Nata? Coba pikir lagi, Han. Ibu nggak mau kamu terluka lagi.”Aku mengulas senyum agar bisa meyakinkan ibu. “Aku yakin, Bu. Ibu jangan khawatir, Mas Nata nggak akan mengulangi hal yang sama.”Setelah memutuskan untuk kembali menikah dengan Mas Nata. Dia menghubungi ayah dan mengutarakan semuanya tapi kami tetap menyembunyikan kondisi Yuna. Kalau sampai semua orang tahu, mungkin bukan hanya Yuna yang akan jatuh sakit dan aku tidak mau itu.Cukup aku dan Mas Nata yang memikul beban ini, kami sebagai orang tua Yuna harus tanggung jawab dan berusaha untuk kesembuhan Yuna.“Kalau itu keputusan kamu, Ibu nggak bisa menghalangi. Kamu yang menjalani, kamu juga yang merasakan. Ibu harap tidak ada lagi perpisahan diantara kalian. Tapi Ibu nggak bisa percaya sama Nata sebelum dia membuktikan kesungguhannya.”“Tapi aku mau nikah secepatnya, Bu.”Ibu mengernyit heran. “Kenapa?”“Bu, aku sama Mas Nata bukan orang yang baru pertama kali menikah jadi buat apa nunggu lama
“Tidur di kasur. Biar Mas di ruang kerja.” Mas Nata berbalik.Aku langsung berdiri, menahannya untuk keluar. “Mas, niat kita nikah itu emang buat kasih adik buat Yuna.”“Iya. Mas tahu. Tapi kita lakukan sesuai yang kamu mau, Han.”“Bayi tabung cuman buang uang, Mas. Lebih baik uang itu dipakai buat kebutuhan lain. Tenang aja, aku nggak seegois itu.”Ya. Aku memang tidak bisa egois. Haiku menolak untuk disentuh Mas Nata tapi aku tidak boleh kekanakan.Dia berbalik, berjalan ke arahku. Tanpa kata menarikku ke dalam dekapannya sambil memagut bibir ini.Mataku melebar karena tidak siap dengan apa yang dilakukannya. Kedua tangan mengepal di sisi tubuh. Bersamaan dengan mata yang terjepit erat, cairan bening merembes membuat dada bergemuruh.Mas Nata melepaskan tautan bibir kami, dia menatapku dengan sorot yang tak terbaca. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipiku.“Kamu nggak bisa, Han. Sakit 'kan? Kita lanjut rencana tadi aja,” katanya lalu melangkah keluar dari kamar.Tubuhku langsung le
“Mas.” Aku menggeleng, menahan dadanya agar dia tidak semakin mendekat.“Takut?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat.Tentu saja aku takut. Siapa yang tidak akan takut jika membayangkan nantinya diperlakukan seperti yang tadi kulihat di video. Tubuhku langsung merinding.“Maaf karena aku lancang masuk sini. Mas, kamu bilang ada Mama 'kan? Jangan begini.”“Bukannya tadi malam kamu yang ngajakin.”Iya, tadi malam memang aku yang lebih dulu mengajaknya tapi setelah melihat video itu malah aku jadi takut diperlakukan kasar begitu.“Hana ….”“Tuh, Mama manggil aku.” Aku bisa bernapas lega.Mas Nata mundur, menegakkan kembali tubuhnya. Ini menjadi kesempatanku untuk menyelamatkan diri. Dengan langkah seribu keluar dari ruangan itu.Kalau Mama tidak memanggil, entah seperti apa nanti aku.“Kamu dari mana, kenapa kayak orang etakutan gitu?” Mama tampak heran melihatku.“Eh, nggak kok, Ma. Aku kirain Mama mau dateng siang ke sini.”“Mama udah nggak sabar nunggu siang,” katanya sambil terkek