“Kamu yakin buat balikan sama Nata? Coba pikir lagi, Han. Ibu nggak mau kamu terluka lagi.”Aku mengulas senyum agar bisa meyakinkan ibu. “Aku yakin, Bu. Ibu jangan khawatir, Mas Nata nggak akan mengulangi hal yang sama.”Setelah memutuskan untuk kembali menikah dengan Mas Nata. Dia menghubungi ayah dan mengutarakan semuanya tapi kami tetap menyembunyikan kondisi Yuna. Kalau sampai semua orang tahu, mungkin bukan hanya Yuna yang akan jatuh sakit dan aku tidak mau itu.Cukup aku dan Mas Nata yang memikul beban ini, kami sebagai orang tua Yuna harus tanggung jawab dan berusaha untuk kesembuhan Yuna.“Kalau itu keputusan kamu, Ibu nggak bisa menghalangi. Kamu yang menjalani, kamu juga yang merasakan. Ibu harap tidak ada lagi perpisahan diantara kalian. Tapi Ibu nggak bisa percaya sama Nata sebelum dia membuktikan kesungguhannya.”“Tapi aku mau nikah secepatnya, Bu.”Ibu mengernyit heran. “Kenapa?”“Bu, aku sama Mas Nata bukan orang yang baru pertama kali menikah jadi buat apa nunggu lama
“Tidur di kasur. Biar Mas di ruang kerja.” Mas Nata berbalik.Aku langsung berdiri, menahannya untuk keluar. “Mas, niat kita nikah itu emang buat kasih adik buat Yuna.”“Iya. Mas tahu. Tapi kita lakukan sesuai yang kamu mau, Han.”“Bayi tabung cuman buang uang, Mas. Lebih baik uang itu dipakai buat kebutuhan lain. Tenang aja, aku nggak seegois itu.”Ya. Aku memang tidak bisa egois. Haiku menolak untuk disentuh Mas Nata tapi aku tidak boleh kekanakan.Dia berbalik, berjalan ke arahku. Tanpa kata menarikku ke dalam dekapannya sambil memagut bibir ini.Mataku melebar karena tidak siap dengan apa yang dilakukannya. Kedua tangan mengepal di sisi tubuh. Bersamaan dengan mata yang terjepit erat, cairan bening merembes membuat dada bergemuruh.Mas Nata melepaskan tautan bibir kami, dia menatapku dengan sorot yang tak terbaca. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipiku.“Kamu nggak bisa, Han. Sakit 'kan? Kita lanjut rencana tadi aja,” katanya lalu melangkah keluar dari kamar.Tubuhku langsung le
“Mas.” Aku menggeleng, menahan dadanya agar dia tidak semakin mendekat.“Takut?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat.Tentu saja aku takut. Siapa yang tidak akan takut jika membayangkan nantinya diperlakukan seperti yang tadi kulihat di video. Tubuhku langsung merinding.“Maaf karena aku lancang masuk sini. Mas, kamu bilang ada Mama 'kan? Jangan begini.”“Bukannya tadi malam kamu yang ngajakin.”Iya, tadi malam memang aku yang lebih dulu mengajaknya tapi setelah melihat video itu malah aku jadi takut diperlakukan kasar begitu.“Hana ….”“Tuh, Mama manggil aku.” Aku bisa bernapas lega.Mas Nata mundur, menegakkan kembali tubuhnya. Ini menjadi kesempatanku untuk menyelamatkan diri. Dengan langkah seribu keluar dari ruangan itu.Kalau Mama tidak memanggil, entah seperti apa nanti aku.“Kamu dari mana, kenapa kayak orang etakutan gitu?” Mama tampak heran melihatku.“Eh, nggak kok, Ma. Aku kirain Mama mau dateng siang ke sini.”“Mama udah nggak sabar nunggu siang,” katanya sambil terkek
“Mas mending istirahat aja, biar aku beresin masakannya sendiri.”“Mas nggak bakalan makan kamu kok. Tenang aja.”Aish! Bisa-bisanya dia menyuruhku tenang, mana mungkin aku bisa tenang jika tahu kedepannya aku akan dalam bahaya.“Terserah.” Aku menyerah.Semakin lama berdebat malah semakin lama nanti masakan jadi.Dia juga tidak akan macam-macam sekarang tidak tahu kalau nanti malam.“Ma, minuman masih ada nggak? Cuacanya bikin gerah makanya gampang abis,” kata Laisa yang kembali di dapur.“Udah kamu kesana, biar Papa yang siapin.”“Makasih Papaku yang paling ganteng.” Laisa buru-buru kembali.Dari sini bisa kulihat lewat jendela ke arah gazebo tempat Laisa bersama dengan teman-temannya, makanya tidak enak juga kalau bertengkar dan terlihat oleh mereka.Setelah cukup lama berkutat dibantu Mas Nata, semua hidangan sudah selesai dan tertata rapi di atas meja. Sementara mereka makan, aku memilih untuk mandi apalagi sebentar lagi maghrib. Tapi saat memasak aku banyak ngemil makanya masih k
Laisa keluar dari kamarnya dengan raut wajah masam. Pasti ada sesuatu jika dia sudah seperti itu.“Jadi jalan sama teman kamu?”Dia menggeleng. “Lain kali aja, Ma. Ada pembalut nggak, Ma? Aku lupa beli.”“Ada, bentar ya.”Aku melangkah masuk ke dalam kamar untuk mengambil pembalut. Gerakan tanganku terhenti saat baru saja membuka laci.Tunggu. Biasanya aku lebih dulu datang bulan daripada Laisa.Kulirik kalender di atas nakas. Mataku melebar dan pikiran tertuju pada satu hal. Ini sudah tiga minggu setelah aku dan Mas Nata berhubungan, hanya satu kali. Kami tidak melakukannya lagi, dia menolak sambil mengatakan pasti satu kali juga bisa. Aku harap memang begitu.Gegas kuambil pembalut itu dan memberikannya pada Laisa lalu menghubungi Mas Nata. Setengah jam lalu dia keluar untuk menemui temannya yang akan memberikan dia pekerjaan. Aku kasihan juga melihatnya yang luntang-lantung tidak jelas karena belum dapat pekerjaan tapi hal itu sepertinya sangat ampuh untuk mendewasakannya.“Kenapa,
Sikapnya Mas Nata sangat berbeda, apa mungkin dia sudah memiliki wanita idaman lain sampai berpikir mengakhiri pernikahan ini setelah Yuna sembuh nanti.Mau tidak peduli tapi dia suamiku tapi pernikahan ini berdasar pada kebutuhan bukan keinginan.Sebenarnya aku masih penasaran Mas Nata tahu dari mana kalau aku dan Samudra pernah memiliki hubungan meski tak lama dan belum berpikir untuk serius. Aku hanya sedang mencoba untuk mengobati luka hati berharap lelaki itu memang dikirim sebagai pengganti Mas Nata. Sekarang malah aku kembali pada papanya Yuna.Takdir memang serumit ini.Kulanjutkan merapikan walk in closet. Mas Nata tadi tidak melarang, mungkin fokusnya teralihkan karena apa yang dikatakannya itu.Aku jadi penasaran, wanita mana yang sekarang disukai papanya Yuna itu. Apa jangan-jangan dia jadi pendekatan dengan Kak Queen? Aku menggeleng mencoba untuk menepis semua itu. Tidak boleh, aku tidak boleh memikirkannya.Kutarik napas dalam-dalam.Selesai membersihkan walk in closet a
POV Nata“Cemburu?”“Cemburu apaan sih, aku cuman tanya doang.” Dia memalingkan wajahnya yang kini sudah merah padam.“Oh.” Aku menyahut seadanya lalu meneguk sisa air dalam botol hingga tandas.Sikapnya yang begini membuatku senang sampai aku berpikir bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya.“Aku harap kamu bisa melepaskan Hana setelah ini. Dia memutuskan hubungan kami hanya demi bisa menyelamatkan Yuna. Jadi tolong Anda tahu diri sedikit, jangan berharap Hana bisa benar-benar menjadi milik Anda.”Perkataan Samudra terngiang di telinga. Dia sepertinya sangat keberatan karena hal ini tapi siapa yang mau jika anaknya sakit seperti yang dialami Yuna. Jika masih ada jalan lain yang lebih cepat, aku dan Hana juga tidak akan mungkin menikah kembali seperti ini.Mulai sekarang aku tidak akan lagi egois. Aku janji akan membiarkan Hana bahagia dengan pilihannya. Percuma kalau dia bersamaku tapi karena terpaksa.Aku hanya menjalankan tugas sebagai suaminya sampai batas yang dite
“Masih ngerasa sakit?” Aku bernapas lega melihat Hana sudah membuka matanya.Hana terlihat meringis sambil mengerjapkan mata. “Mas ….”“Iya. Mas di sini.” Kugenggam tangannya yang masih lemas itu.“Bayi aku ….”“Nggak apa-apa. Dia baik-baik aja.”Sepertinya Hana baru ingat apa yang terjadi tadi, mungkin kalau aku terlambat sedikit saja entah bagaimana kondisi Hana sekarang. Dia pingsan hanya karena kaget dengan apa yang dialaminya, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya. Tadi dokter juga sudah melakukan pemeriksaan dan Hana beserta bayi dalam kandungannya baik-baik saja.Entah apa yang membuat Hana tadi tiba-tiba pergi dalam keadaan kesal sampai tidak memperhatikan jalan. Aku pun tidak akan langsung menanyakannya karena dia terlihat masih shock.“Aku takut,” cicitnya dengan mata berembun.“Takut kenapa? Mas di sini.”“Aku nggak bisa bayangin kalau tadi-”“Sstt. Udah nggak usah ngomong apa-apa lagi, sekarang yang penting kamu sama bayi kita selamat.”Tangisnya bukan reda malah semakin k