Share

Part 8 : Necromancer

"Kau tahu betapa khawatirnya kami?" maki Vincent saat kami sudah berkumpul di asrama. "Kau tiba-tiba hilang dan kami mencarimu ke mana-mana sampai melewatkan makan malam!"

Ya, sudah kuduga. Mereka pasti mencariku. Aku hanya terdiam, membiarkan kakak-beradik itu meluapkan kekesalannya padaku.

"Jika kau ada urusan mendesak yang membuatmu harus pulang, seharusnya kau memberi tahu kami. Jangan pulang sendiri dan meninggalkan kami tanpa memberi tahu apa-apa!" imbuhnya.

"Ya, aku minta maaf. Tadi itu ... sangat mendesak," sahutku seadanya. Tidak mungkin 'kan kuberi tahu pertemuanku dengan Zora. "Lain kali takan kuulangi."

"Kak, kau sudah dipanggil oleh penjaga kamarmu." Henry muncul, menyembulkan kepala di pintu dan menginterupsi Vincent yang masih ingin meluapkan makiannya.

"Ah, sialan. Padahal aku masih ingin memakimu," gerutu Vincent padaku. "Baiklah, lain kali aku akan datang lagi dan aku takan lupa hari ini, Rein."

"Apa kau akan membuat perhitungan denganku?"

"Tentu saja. Lain kali aku akan memberimu pelajaran."

Vincent keluar kamar masih dengan rasa kesal, sementara aku hanya terdiam dan merasa bersalah. Namun, sepertinya pertengkaran ini takan lama, aku tahu mereka akan memaklumi perbuatanku hari ini.

Malam semakin larut dan seperti biasa, aku takan terlelap pada waktu yang gelap.

Kubuka kembali lembaran kabar berita yang telah usang. Ini tentang perjanjian damai Axylon dan Vainea, awal hubungan orang tuaku terjalin dengan pernikahan politik.

Kuhela napas panjang sejenak. Meski sudah membacanya berulang kali, tapi pikiranku masih sedikit terusik tentang mereka.

Kubaca lagi bagian-bagian terpenting dari lembaran-lembaran itu. Kini tentang perjanjian kerja sama antara Vainea dan Tryenthee. Ayah menikah lagi dengan putri dari Tryenthee dan setelah itu, Vainea dan Axylon berperang.

Jujur, aku masih tak menyangka dengan apa yang terjadi di masa lalu, membuatku bertanya-tanya. Apa saat perang ini terjadi ayah dan ibu sempat bercerai? Kalau tidak, kenapa perang ini bisa terjadi?

Bibi Erina sudah menceritakan sebagiannya, tapi aku merasa ada ketidak-cocokan berita ini dengan logikaku. Apa lagi pada berita perang terakhir mereka, Ratu Selena alias ibuku dinyatakan tewas dan itu yang membuat Vainea menang telak.

Lalu setelahnya, ada berita di mana ibuku mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ratu Axylon, yang berarti beliau masih hidup saat itu. Lantas, kenapa di berita sebelumnya beliau dinyatakan tewas?

Bahkan kudengar, banyak pasukan dari kedua kerajaan yang menyaksikan bagaimana ayah membunuhnya di medan perang.

"Ah, sial. Ini benar-benar rumit. Pasalnya, Bibi Erina tidak mau bersuara pada bagian ini," gumamku lirih.

Aku seperti kehilangan plot besar di bagian ini. Apa yang sebenarnya kulewatkan? 

Aku duduk bersandar sejenak dan mataku tak sengaja melihat lingkaran sihir di pergelangan tangan. Kini pikiranku sedikit teralihkan pada Zora.

Kulihat jam dinding sudah menunjukkan waktu tengah malam.

Awalnya aku mengabaikan lingkaran sihir itu dan kembali fokus pada lembaran berita di tangan. Hingga pada akhirnya, aku sedikit merasa tak enak badan dan mulai terasa panas.

Semakin lama, ada yang aneh dengan tubuhku. Rasa panasnya semakin kuat dan membakar, membuatku ingin berendam di air yang sedingin es.

Ada rasa pedih yang menyayat di punggungku, rasa sakitnya benar-benar menembus tulang, seolah-olah tubuhku akan hancur.

"Zora," lirihku. Ya, ini pasti karena kondisinya.

Segera kuraih mantel dan mengendap-endap keluar menuju air terjun itu. Aku yakin dia ada di sana.

Langkahku tertatih saat melewati halaman belakang. Bahkan aku sempat ambruk saat melompati pagar yang rendah.

Di hutan, aku terus menyeret kaki untuk sampai di sana. Semakin lama semakin berat, seperti ada rantai yang menahan langkahku. Rasa sakitnya mulai menyebar hingga ke bahu dan leher, seperti diikat dengan kuat.

Napasku kini terengah ketika sampai di bawah pohon rindang di dekat sungai. Sesuai dugaanku, Zora ada di sana, merintih kesakitan dengan kepala terkulai di atas batu sambil memegang sebotol anggur.

Tanda sihir di punggungnya menyala pijar. Begitu kontras di bawah cahaya bulan. Ia meneguk lagi anggurnya sambil menahan sakit. Mungkin menurutnya, mabuk adalah satu-satunya jalan agar sakitnya tak terlalu terasa.

"Zora, dimana anggurnya?" tanyaku, masih menyengkeram salah satu dahan pohon.

Gadis itu langsung menoleh dengan wajah syok. Tatapannya begitu sendu sambil menyembunyikan rasa sakit. Ekspresinya begitu dingin, seolah-olah tak ingin ada orang lain yang melihat kondisinya seperti itu.

"Kenapa kau ke sini?"

"Bukankah kau bilang aku boleh ke sini kapan saja?"

Zora terdiam sejenak, lalu menunjuk batu berukuran sedang di bawah pohon. "Angkat saja batu itu."

Aku mengangkat batu yang dimaksud dan di sana sudah terdapat tiga botol anggur.

Ternyata Zora menyembunyikan anggurnya dengan cara ditimbun dan ditutup batu. Benar-benar cerdik.

"Apa kau biasa menghabiskan lima botol sekaligus?" Aku menarik satu botol dari lubang tanah.

"Itu persediaan untuk dua kali minum."

"Kalau begitu, aku berjanji akan menggantinya."

"Aku tidak suka adu minum. Tapi jika kau hanya ingin menemani, kupersilahkan."

Aku melepas baju sebelum masuk ke air dan berendam. Rasa panas yang membakar kini justru terasa pedih saat menyentuh air bagaikan cambukan. Aku terus memaksakan diri sampai tubuhku mampu menyesuaikan rasa sakitnya.

"Ada yang ingin kau katakan?" tanyanya, masih dengan mata sendu.

"Sakit sekali, Zora," jawabku, masih meringis menahan sakit. "Sungguh, ini sakit sekali. Apa kau selalu merasakan sakit seperti ini setiap malam?"

"Bukan setiap malam. Lebih tepatnya ... hampir." Zora kembali meletakkan kepalanya di atas batu. "Rasa sakit ini selalu datang pada malam ganjil."

Aku meneguk anggur sejenak, lalu mengernyit. Ternyata kadar alkoholnya tinggi. Aku tak menyangka dia sudah mampu minum sampai level ini, seolah-olah sudah kebal dengan semua anggur.

Jika aku minum lebih dari satu botol, sudah pasti aku akan mabuk berat, bahkan muntah. Dalam hal ini, dia ternyata bukan tandinganku. Sudah dipastikan aku yang akan kalah telak jika harus adu minum dengannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku ingin tahu. "Kenapa kau bisa seperti ini?"

"Maaf, ini bukan urusanmu," jawabnya, lalu meneguk anggur. "Lagi pula ... ikatan sihir ini akan hilang besok. Kau takan merasakan sakit lagi dan setelah itu, tolong lupakan masalah ini."

"Jujur, aku penasaran dengan tanda sihir di punggungmu."

"Kenapa kau begitu penasaran?"

"Aku ... seperti pernah melihatnya, tapi entah di mana."

Ia terkekeh sejenak. "Mungkin di tubuh orang tuamu," jawabnya asal, lalu meneguk anggurnya lagi.

Jawabannya membuatku terdiam. Pikiranku berputar cepat dan membangkitkan kilatan bayangan tentang tanda sihir itu.

Ya, sekarang aku ingat. Aku pernah melihat tanda sihir itu di dada ayahku, tepatnya di dada kiri, dekat jantung. Juga, sepertinya ibu memiliki tanda itu di tempat yang sama. Aku pernah melihatnya saat tak sengaja masuk ke kamar mereka dan ibu sedang berganti pakaian. Waktu itu aku memang masih bocah yang sembarangan masuk ke kamar orang tua.

"Sial, kenapa aku baru ingat sekarang? Dan ... aku juga baru sadar kalau tanda itu hilang setelah mereka berdua dinyatakan meninggal dunia," racauku dalam hati.

"Hei!"

Tubuhku mengerjap saat cipratan air mengenai wajah. Rasanya seperti ditarik kembali ke dunia nyata.

"Jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya bercanda," ujar Zora tertawa sejenak. "Maaf kalau aku menyinggungmu. Aku tak bermaksud membahas orang tuamu dan membuatmu sedih. Aku tahu kalau---" Tawanya mereda perlahan dan sedikit salah tingkah. "Bercandaku memang tidak lucu."

"Hmm ... ya," sahutku seadanya. Padahal tebakannya memang benar, hanya aku saja yang memang lupa.

"Kalau boleh tahu, dari mana kau mendapat tanda sihir itu?" tanyaku mengalihkan.

"Tentu saja dari penyihir."

"Maksudku ... bagaimana bisa tanda itu menempel di punggungmu? Dan ... siapa penyihir itu?"

Zora menatapku curiga. "Kau seperti tertarik dengan hal ini?"

"Sudah kubilang, aku pernah melihat tanda itu, tapi aku lupa di mana," jawabku, kali ini berdusta.

"Yang jelas ... penyihir itu memiliki kekuatan Necromancy. Penyihir yang seharusnya tak boleh ada karena bisa mengganggu arus kematian."

Mendengar kata 'Necromancy', tubuhku membeku di tengah sakit yang masih mendera.

"Jadi ... penyihir itu benar-benar ada? Bagaimana kau bisa berurusan dengannya?"

Zora terdiam sejenak, masih dengan mata sayu akibat anggur yang ia minum. "Apa kau bisa dipercaya?"

Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Aku berjanji akan menyimpan masalahmu dengan baik."

Zora menarik napas sejenak dan mulai bercerita.

"Dulu terjadi perang saudara di Keylion. Ayahku berhasil mengeksekusi saudara tirinya yang terbukti melakukan kejahatan. Aku tak tahu persis apa masalah mereka. Yah, anak perempuan mana boleh tahu hal-hal seperti itu, 'kan?" Ia tersenyum pahit.

"Lalu?"

"Dan satu bulan setelahnya, ternyata orang itu hidup lagi dan melakukan pemberontakkan untuk menggulingkan ayahku. Tentu saja, kami semua sangat heran. Bagaimana bisa orang yang telah dieksekusi mati tiba-tiba muncul lagi di hadapan semua orang?"

"Ya, memang tidak masuk akal," sahutku merespons, lalu meneguk anggur lagi.

"Setelah diselidiki, ternyata orang itu dihidupkan kembali oleh seorang Necromancer dengan biaya yang tinggi, tentunya. Ayahku marah saat mengetahui hal itu dan mengirim banyak orang untuk memburu sepasang penyihir itu."

"Sepasang? Jadi penyihir itu tidak hanya satu?"

"Ya, katanya mereka sepasang suami istri dengan kemampuan yang sama."

"Oh, begitu?"

"Kau tahu? Butuh waktu hampir dua tahun untuk menangkap mereka. Ayahku berhasil menyeret mereka berdua, tapi ternyata tidak semudah itu menaklukannya. Penyihir itu murka saat ayahku tak sengaja membunuh bayi mereka yang baru berusia satu minggu. Mereka berdua berhasil lolos setelah ditangkap dan mereka bilang akan menuntut balas dengan mengirim kutukan."

"Kutukan seperti apa?"

"Aku dikutuk menderita kesakitan seumur hidup" Zora menunjuk tanda sihir di punggungnya dengan ibu jari ke arah belakang.

"Mereka mengirim sihir ke istana Keylion. Tadinya sihir ini mengincar Clara. Tapi waktu itu Clara menjebakku dan sihir itu justru mengenaiku," lanjutnya.

"Apa kau mendapat informasi tentang mereka dan keberadaannya?"

"Tak ada catatan apapun tentang mereka. Entah dari wilayah mana mereka berasal, benar-benar tak ada yang tahu sama sekali. Tapi di antara sepasang penyihir itu, yang perempuan bernama Lavina. Hanya itu yang kutahu."

"Lavina?" gumamku membeo.

"Selama ini aku juga berusaha mencarinya. Tapi data yang kutemukan hanya Lavina yang ... seorang putri bangsawan dari Axylon. Itu pun berkasnya tidak lengkap. Rumornya, pihak Axylon sengaja memusnahkan datanya karena keluarga Lavina terlibat sebuah ritual kerajaan yang ... entah apa itu. Yang jelas ritual itu sudah berlangsung sebelum pemerintahan mendiang Raja Zealda dan itu sudah lama sekali."

Aku terdiam sejenak sembari mengumpulkan segala informasi yang baru pernah kudengar.

"Dari mana kau tahu kalau si penyihir wanitanya bernama Lavina?"

"Aku pernah mendengar suaminya sempat berteriak memanggil nama istrinya ketika mereka melarikan diri. Kebetulan aku ada di sana waktu itu."

"Berarti kau sudah pernah melihat wajah mereka?"

"Tentu saja. Mereka ... bisa dibilang hampir seumuran denganmu saat terakhir aku melihatnya. Mungkin sekarang sudah jauh lebih tua, itu pun kalau mereka bisa menua." Zora mengedikkan bahu.

"Apa ... Raja Aiden tahu mengenai kondisimu?"

Zora menggeleng lesu. "Aku tidak ingin membuat ayahku khawatir. Beliau sudah mengurusi banyak hal dan aku tak ingin menambahnya." Ia tersenyum getir. "Hanya aku dan Clara yang tahu. Juga ... kau."

"Tapi jika beliau tahu, mungkin akan ada jalan keluar untukmu, 'kan?"

"Akan lebih baik jika orang tuaku tidak tahu." Zora terdiam sejenak. "Rasa sakit ini cukup aku saja yang merasakannya. Aku rela menanggung kemarahan penyihir itu terhadap ayahku karena sudah membunuh anak mereka yang tak berdosa."

"Tapi, Zora--"

"Ada kalanya aku ingin menanggung kesalahan orang tuaku," pungkasnya.

Aku menghela napas sejenak dan meneguk anggur untuk terakhir kali. Selain rasa sakit yang mendera, kepalaku juga mulai pening, padahal baru menghabiskan setengah botol. Aku tak mungkin menghabiskan semuanya atau aku akan benar-benar mabuk.

"Butuh waktu berapa lama rasa sakit ini akan hilang?" tanyaku yang sebenarnya tak tahan.

"Sebelum fajar," jawabnya semakin lesu dan mabuk.

"Kalau begitu--" Aku mendekatinya perlahan dan menatapnya.

"Mau apa kau?"

"Menunggumu menangis."

Ia terkekeh seketika. "Aku takan menangis semudah itu hanya karena rasa sakit seperti ini."

"Bohong," sahutku. "Kau pikir aku tidak tahu kalau kau sering menangis kesakitan saat sendiri? Tadi pun juga sama, 'kan? Sebelum aku datang."

"Oh, jadi kau melihatnya, ya?" Ia berdecak lesu. "Tolong rahasiakan."

Aku mematung saat ia perlahan menyandarkan kepalanya di dadaku. "Zora?"

"Berhubung kau sudah tahu, harusnya kau takan keberatan jika aku bersandar padamu, 'kan? Aku ... lelah sekali."

Ya, perasaan darinya turut mengalir saat dahinya menyentuh dadaku. Rasa sedih dan putus asa, juga ... kesendirian tanpa batas yang tengah ia rasakan. Semua mengalir padaku, benar-benar hampa dan getir. Perasaan kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa selain bertahan hidup yang ia sendiri tidak tahu tujuannya ke arah mana.

Zora mulai sesenggukan dan mendekapku. "Izinkan aku seperti ini ... sebentar saja."

Aku menarik napas sejenak karena ikatan sihir ini membuatku merasakan hal yang sama.

"Menangislah sepuasmu. Aku akan merahasiakannya," ujarku, seraya menahan diri agar tak membalas pelukannya.

"Terima kasih, Rein."

_______To be Continued_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status