Share

Part 9 : Bazar

"Rein, dari mana saja kau?"

Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta.

"Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.

Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?"

"Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu.

"Kau ... mabuk?"

"Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh."

"Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini."

"Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk."

"Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?"

"Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."

Aku tidak mungkin memberi tahu tentang pertemuan rahasiaku bersama Zora. Sampai sekarang, air terjun itu masih banyak yang menganggapnya wilayah terlarang.

"Aku tidak mencium bau amis di pakaianmu."

"Aku sudah membilasnya dengan air."

"Rambut dan celanamu basah kuyup, tapi baju dan sepatumu kering. Sudah dipastikan di luar sana kau melepas baju dan sepatumu," ujarnya menyelidik. "Sebenarnya apa yang kau lakukan?"

"Tidak semua aktivitasku menjadi urusanmu, 'kan?" kataku mulai jengah.

"Tentu saja itu urusanku, kita masih satu ruangan. Ya, walaupun beda kamar. Tidak ada salahnya 'kan jika aku tahu apa yang kau lakukan?"

"Termasuk jika aku melanggar aturan, apa kau akan mengadukanku agar dihukum?"

"Justru itu yang kukhawatirkan," jawabnya. "Jika hanya aku yang tahu, mungkin aku akan tutup mata dan pura-pura tidak tahu. Tapi bagaimana kalau orang lain yang melihatmu?"

"Ya, pastinya aku akan dihukum. Lagi pula aku takan lari jika memang ketahuan bersalah."

"Dan membiarkan reputasimu merosot?"

"Oh, astaga," desahku mulai kesal. Pasalnya, aku tidak suka jika harus membahas reputasi yang bahkan aku sendiri tak peduli. "Kau tak terlu mengurusi hal itu," lanjutku.

"Tapi, Rein--"

"Aku mau ganti pakaian," potongku cepat. "Oh ya, jika kalian ingin mengajakku pergi hari ini, tolong jangan ajak aku saat sedang tidur."

"Salahmu sendiri kenapa harus tidur di siang hari."

"Tenang saja. Aku tak mungkin menghabiskan hari libur dengan tidur seharian, meski sebenarnya ingin. Tapi aku juga tak menolak jika kalian ingin mengajakku pergi."

"Baiklah, kita lihat saja nanti. Mungkin saja kakakku sudah bersiap untuk memberimu pelajaran."

Aku yang tadinya hendak menaiki tangga, kini berhenti sejenak. "Kuharap kalian tidak mengerjaiku dengan sesuatu yang aneh."

* * *

Tubuhku tersentak ketika sepasang tangan melingkar di pinggang dengan wangi yang menyengat. Lalu ada tangan lain yang membelai pipiku lembut dengan wangi yang berbeda. Jika dirasa dari sentuhannya, tangan itu sudah pasti wanita.

"Selamat siang, Yang Mulia."

Aku membuka mata perlahan dan benar saja, sudah ada dua wanita berpakaian minim mengerubungiku. Kulepas dekapan wanita satunya lalu melompat dari tempat tidur.

"Apa-apaan ini?" tanyaku geram. "Siapa kalian? Berani sekali masuk ke kamar--"

"Kejutan!!"

Pintu kamar terbuka dan Vincent muncul dengan gaya sambutan pesta, sementara aku terdiam atas tingkahnya.

"Lihat wajahnya! Sepertinya kakak berhasil membuatnya kesal." Henry terkekeh.

"Ha ha ha, ekspresi dingin yang tampan. Membuat hatiku terpesona," sindir Vincent menggoda dengan nada datar. "Tapi sayangnya, aku pria tulen yang tidak tertarik."

"Kau yang mengirim mereka?" tunjukku pada dua wanita yang masih di ranjang.

"Bagaimana? Kau menyukainya?" jawabnya dengan bertanya.

"Oh, astaga!" gerutuku, bersiap memaki. "Bukankah sudah kubilang, jangan mengerjaiku dengan sesuatu yang aneh?"

"Mereka hanya wanita. Apanya yang aneh?" Vincent melipat tangan ke depan, lalu bersandar di dinding. "Sudah kuduga, dengan cara seperti ini kau pasti langsung bangun dari kematian singkatmu," cibirnya.

"Tidak harus dengan mengirim wanita ke ranjangku, 'kan?"

"Kalau tidak seperti itu, kau takan mau lepas dari ranjangmu seperti kemarin. Kau tahu? Kami sering kesulitan membangunkanmu. Kucingku saja langsung bangun saat diguncang tempat tidurnya."

Aku menghela napas panjang, bagaimana bisa aku dibandingkan dengan kucingnya yang galak itu?

"Ah, baiklah. Kali ini usahamu berhasil membuatku kesal. Sekarang, bawa mereka pergi dari sini." Aku duduk di sofa dengan rambut berantakan.

"Kita bisa dihukum kalau petugas di sini tahu ada wanita di asrama pria," imbuhku.

"Ya, itu sudah menjadi konsekuensinya."

"Kau mengambil risiko besar hanya untuk membangunkanku?"

Vincent mengendikkan bahu. "Setidaknya berhasil, 'kan?"

Aku mendesah kesal dengan kepala terkulai pada sandaran sofa. "Kalian berdua benar-benar sinting!"

"Tugas kalian sudah selesai," ujar Henry. "Kalian boleh pergi."

"Baiklah kami pamit, Yang Mulia." Dua wanita itu segera keluar dari kamarku.

"Terima kasih sudah memberi pemandangan yang langka," bisik salah satu dari mereka pada Henry sembari menatapku.

"Rambut berantakannya cukup menggoda. Lain kali panggil kami kemari," bisik satunya lagi yang juga terdengar olehku, sementara Henry hanya meringis setuju.

"Terima kasih atas bantuannya, Nona-Nona manis," sahut Henry ramah.

"Nah, sekarang kalian mau apa?" tanyaku setelah para wanita itu pergi. "Tidak mungkin kalian membangunkanku tanpa alasan."

"Ikut kami ke kota. Kau pasti akan menyukainya," jawab Vincent, lalu keluar kamar.

"Bersiaplah untuk wisata kuliner." Kini Henry menyusul kakaknya.

Aku masih terdiam setelah kamar sepi. Mataku masih sedikit mengantuk, tapi pikiranku sudah membayangkan berbagai makanan enak yang takan pernah kuduga.

Kutatap pergelangan tangan sejenak dan lingkaran sihir itu sudah tidak ada, yang berarti ikatan sihirnya sudah berakhir. Aku menghela napas lega, tapi pikiranku sedikit terusik jika harus mengingat rasa sakit yang menderaku waktu itu.

Tak kusangka, gadis itu selalu mengalami rasa sakit itu hampir setiap malam dan parahnya, tak ada orang yang tahu kondisinya. Aku tak bisa membayangkan jika Raja Aiden tahu, sudah pasti beliau akan langsung mengambil tindakan.

"Ah, sial. Kenapa aku jadi memikirkannya? Itu tak ada sangkut pautnya denganku," makiku pada diri sendiri, sembari mengacak-acak rambut sebelum bergegas mandi.

* * *

Sama seperti minggu kemarin, kami berkuda di hari libur. Menjajaki seluruh makanan di sebuah bazar kuliner yang terasa seperti pasar. Suasananya begitu ramai, diiringi aroma lezat yang saling bersahutan.

"Selamat datang di bazar kuliner masyarakat," ujar Henry dengan wajah semringah. "Keistimewaannya adalah kau takan bisa menemui satu pun bangsawan di tempat ini."

"Karena ini surganya makanan para rakyat biasa," sahut Vincent. "Kau tidak keberatan untuk melepas status pangeranmu di tempat ini, 'kan?"

"Sepertinya menarik," jawabku, memandang keramaian di depan mata. "Asalkan rasanya sesuai, mungkin aku takan keberatan."

"Baiklah, perburuan dimulai."

Kami menempatkan kuda di tempat penitipan, lalu berjalan kaki menuju keramaian. Suara bising memenuhi telinga, disertai aroma makanan dari berbagai penjuru.

"Sepertinya kue di baki itu enak," gumam Henry

"Oh, demi semesta! Daging panggang itu tampak menggoda." Vincent mendekati makanan yang membuatnya tertarik.

"Aku akan ke sana sebentar." Henry juga turut mendekati kue yang sedari tadi diliriknya.

Aku terdiam dengan tingkah dua temanku yang meninggalkanku begitu saja. Sampai sekarang, aku masih bingung mau makan apa. Hingga pada akhirnya, mataku tertuju pada sekumpulan makanan laut yang tampak merona.

"Nah, ini dia."

Pikiranku sudah membayangkan hidangan gurita mungil itu. Warna jingganya membangkitkan selera makanku seketika.

"Silakan dipilih, Tuan," ujar si Penjual. "Ada banyak menu hidangan laut yang tersedia dan masih hangat."

"Ya."

Aku segera mengambil beberapa makanan yang membuatku tergiur. Di Royale Academy tidak ada menu makanan laut dan itu membuatku sesikit bosan pada daging. Jadi, incaranku hari ini adalah makanan yang jarang tersaji di meja makanku.

Mataku tak sengaja melihat sebuah kantung kecil jatuh dari tas seseorang dan sepertinya orang itu tak menyadarinya. Aku segera memungut kantung itu dan mengejar pemiliknya.

"Tuan!" panggilku. "Permisi, Tuan. Maaf, barang Anda jatuh," lanjutku sembari menyodorkan kantung kecil itu padanya.

Pria itu menatap kantung di tanganku dan berkata, "Oh, terima kasih banyak, Tu--" Ia menatapku sejenak. "Anda ... Yang Mulia Rein?"

Keningku mengerut seketika. "Anda mengenal saya?"

"Ya, tentu saja. Rakyat Vainea mana yang tak mengenal calon rajanya sendiri?"

"Oh, jadi Anda dari Vainea?"

"Benar, Yang Mulia. Kebetulan saya ada urusan bisnis keluarga di tempat ini."

"Oh, begitu rupanya," gumamku termanggut.

"Tapi, Yang Mulia. Bukankah seharusnya Anda ada di Royale Academy? Ditambah, tempat ini bukan tempat yang cocok untuk bangsawan kelas atas seperti Anda."

"Saya hanya sedang mencari suasana baru di akhir pekan. Karena itu, saya dan beberapa temanku menyamar di sini. Jadi, bersikaplah informal pada saya selama di tempat ini, Tuan."

"Ah, baiklah." Pria itu mengangguk dengan wajah ramah. "Jujur, Anda mengingatkan saya pada mendiang yang mulia ratu. Beliau juga terkadang suka berada di tempat seperti ini dengan menyamar. Persis seperti Anda saat ini."

"Benarkah? Saya justru baru tahu mengenai hal itu. Saya tidak tahu aktivitas mendiang ratu selain menjalankan tugasnya di luar istana."

"Ya, saya cukup mengerti."

Jika dilihat, sepertinya pria ini masih di bawah usia 30 tahun, tapi dia sudah berkeliling untuk menjalankan bisnis keluarga? Benar-benar luar biasa. Dari penampilannya, sudah dipastikan ia pebisnis yang sukses.

"Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?"

"Nama saya ... Aleea, Yang Mulia."

"Aleea?" Aku memiringkan kepala sejenak. "Aku seperti baru mendengar nama itu."

Ia tertawa sejenak. "Saya bukan bangsawan. Jadi wajar jika Anda tak terlalu mengenal saya di Vainea."

"Meski bukan bangsawan, sepertinya Anda seorang pebisnis yang sukses. Itu sangat luar biasa. Apa selama ini Anda tinggal di luar negeri?"

"Tidak. Saya tinggal di pinggiran kota, dekat hutan Zenia. Tapi terkadang saya juga menetap di luar negeri beberapa hari."

"Oh, begitu."

Aku termanggut dengan kening mengerut. Hutan Zenia merupakan hutan terlarang di Vainea. Aku tak menyangka ada pria sukses yang tinggal di dekat sana.

"Kalau begitu, saya permisi, Yang Mulia. Masih ada yang harus saya kerjakan."

"Ya, lain kali berhati-hatilah dengan barang bawaan Anda, Tuan."

"Sekali lagi, terima kasih banyak. Silakan nikmati libur akhir pekan Anda, Yang Mulia. Ada banyak makanan lezat di tempat ini."

"Baik. Semoga kita bisa bertemu lagi saat saya kembali ke Vainea."

Aku terdiam menatap kepergiannya, hingga ada tangan yang menepuk bahuku.

"Rein, kau sudah menemukan makananmu?" tanya Vincent.

Aku mengangkat makanan yang sedari tadi kubawa. "Gurita pedas dan teripang manis."

"Oh ya, Rein. Tadi ... kau berbicara dengan siapa?" tanya Henry penasaran.

"Dengan Tuan Aleea," jawabku. "Dia dari Vainea dan katanya, ada urusan bisnis di sini."

"Demi semesta, aku melihatmu berbicara sendiran, Rein." Kali ini Henry memasang wajah serius.

Aku terdiam sejenak, lalu terkekeh karena merasa lucu. "Kau pikir aku akan terpancing dengan humormu yang seperti itu?"

"Tapi sungguh, aku juga melihatmu bicara sendirian." Kini Vincent juga menatapku serius dan membenarkan kalimat Henry.

"Ck, kalian benar-benar kompak untuk mengerjaiku, ya." Aku mendengkus tertawa. "Maaf, candaan seperti itu takan mempan padaku."

"Apa kau bisa melihat hantu atau semacamnya?" Henry kembali bertanya.

"Kau pikir aku paranormal?" jawabku sambil duduk di kursi yang tersedia, lalu mengunyah potongan teripang manis.

"Atau jangan-jangan ... kau seorang penyihir?" Kali ini, Vincent yang bertanya. "Biasanya penyihir bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata."

"Oh ayolah, berhenti membuat lelucon seperti itu," sergahku jengah. "Apa tampangku seperti penyihir?"

"Saat ini ... tampangmu seperti rakyat jelata," sahut Henry gamblang, lalu duduk berhadapan denganku sembari mengunyah kue.

"Ya, sama seperti kalian," balasku gamblang.

"Sepertinya ... aku harus pergi."

Aku dan Henry menoleh ke arah Vincent seketika. Pasalnya, kita baru saja sampai.

Kulihat ekspresinya sudah tegang dan berkeringat. Kami berdua menatap ke arah yang dituju Vincent dan melihat gerak-gerik sekelompok orang yang mencurigakan.

"Gawat!" desis Henry, langsung bangkit dari kursinya. "Kakak, ayo kita pergi!"

"Hei, ada apa?" tanyaku bingung.

"Maaf, Rein. Sebaiknya kau tak perlu terlibat. Jika sudah sore, pulanglah duluan. Kami akan menyusul," jawab Vincent terburu-buru.

"Hei!" teriakku, tapi tak digubris mereka berdua.

Aku menatap kepergian mereka, masih tak mengerti. Padahal mereka tadi antusias mengajakku, sekarang aku ditinggal begitu saja?

Dengan penasaran, kulihat kelompok itu lagi yang ternyata juga sudah pergi, mengejar mereka berdua.

"Mereka dalam bahaya," gumamku sejenak.

Segera kuhabiskan makanan dengan cepat dan sialnya, tenggorokanku tersedak tentakel gurita, membuatku terbatuk sampai merana.

Aku meneguk segelas air setelah batuk mereda, lalu kususul mereka berdua dengan memacu kuda secepat mungkin.

Aku tahu, aku tak berhak ikut campur masalah di Axiandra. Namun, saat ini mereka berdua adalah temanku. Meski mereka memintaku agar tak terlibat, aku ingin sekali membantunya.

Kami saling mengejar satu sama lain. Sebagian kelompok yang menyadari keberadaanku di belakang mereka, kini berhenti mengadang. Sisanya masih mengejar Vincent dan Henry.

"Jangan ikut campur jika Anda ingin kembali dengan selamat!" ujar salah satu dari mereka.

"Ya, aku tahu tapi--" Aku mengerang saat panah bius mengenai bahuku dari belakang. "Sial!"

"Selir Ravien?" Orang-orang di hadapanku terpana dengan sesuatu di belakangku.

"Biarkan saja dia dan lanjutkan pengejaran bersama yang lain," sahut wanita yang asalnya memang dari belakangku.

"Putra mahkota adalah prioritasku. Kalau bisa, bunuh kedua pangeran itu," lanjut wanita itu.

"Baik!"

Kini rombongan yang tadi mengadangku kembali melanjutkan pengejaran mereka, sementara tubuhku jatuh dari kuda dan ambruk di tanah.

Dalam keadaan setengah sadar, kulihat ada rombongan lain di belakangku. Di sana sudah ada wanita paruh baya dengan ekspresi jahat dengan busur panah bius yang tadi ditembakkan ke arahku.

"Nyonya, beliau adalah putra mahkota dari Kerajaan Vainea. Sebaiknya kita harus apakan dia?"

Tubuhku berangsur lemas dan kesadaranku perlahan memudar, tapi aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka. Setidaknya untuk terakhir kali sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.

"Lempar saja tubuhnya ke jurang," jawabnya ketus. "Dasar merepotkan!"

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status