Beberapa saat setelah Nauna dan Dean pergi, Alina terbangun. Dinara lekas menghampiri dan duduk di kursi sebelah ranjang. Dia menyambut puteri kecilnya dengan senyum dan usapan lembut di kepala. Sepasang mata Alina mencari-cari ke segala arah, lalu berhenti pada bingkisan buah di atas nakas. Dia melirik Dinara dan bertanya dengan suara serak, "Apa itu dari Papa?"Dinara menggeleng pelan dan berkata dengan jujur, "Itu dari Tante Nauna dan Om Dean. Mereka datang menjengukmu, tapi sekarang sudah pulang."Alina tidak begitu mengingat nama-nama yang disebutkan Dinara. Dia hanya bergumam pelan dengan raut wajah yang begitu kecewa. Dinara tahu apa yang gadis kecilnya pikirkan. Dia mengenggam tangan kecil itu dan berkata dengan lembut, "Papa akan segera datang.""Kapan?" Alina menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Sebentar lagi."Sejak Alina demam tinggi dan dibawa ke rumah sakit semalam, dia terus menanyakan keberadaan Papanya. Jawaban Dinara selalu sama; Papa akan segera datang. Walaupun
Dinara ingin bertanya lebih jauh, tapi segera menyadari posisinya. Dia bukan lagi bagian dari hidup Jeremy, jadi tidak semestinya ingin tahu urusannya. Apapun yang dilakukan laki-laki ini, dia tidak harus tahu. Pada akhirnya, Dinara tidak berkomentar apa-apa lagi. Dia memilih diam, sambil memandangi Alina yang tertidur. Keheningan yang kembali melanda membuat Jeremy menghembuskan napas perlahan. Dia ikut memandangi Alina, lalu berkata dengan lirih, "Ibu ingin bertemu dengan kalian."Dinara sedikit tersentak. Dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata ini setelah sekian lama berpisah. Tiga tahun berlalu, Ibu Jeremy tidak pernah menanyakan kabarnya dan juga Alina. Dia pikir, perempuan itu sudah lupa pada mereka. Dia sendiri juga tidak ingin menanyakan tentang mantan mertua yang telah banyak melukai hati. Setiap kali dia dan Jeremy bertemu, mereka tidak pernah membahasnya. Sekarang, ketika mendengar bahwa Ibu Jeremy ingin bertemu dengan dirinya dan juga Alina, Dinara merasa sedikit
Apapun bisa saja terjadi dalam waktu tiga hari. Jeremy telah memegang semua surat-surat penting dan juga sertifikat rumah ini. Entah dengan cara apa dia akan mendapatkan tanda tangan Dean. Nauna merasa pusing memikirkannya. Dia ingin membicarakan hal ini dengan Dinara, tapi segera mengurungkan niat. Sepupunya itu pasti masih di rumah sakit, dia tidak tega jika harus mengganggunya selarut ini. Lagipula, Dinara juga tidak bisa langsung membantunya. Kecuali dia tahu identitas Jeremy, tapi dia tidak punya petunjuk apa-apa. Rudy telah menutup rapat dan tidak mau membocorkan sedikitpun tentang siapa laki-laki itu sebenarnya. Pada akhirnya, Nauna tidak bisa tidur sepanjang malam. Ketika hendak beranjak setelah menunaikan sholat subuh, dia merasa dunia berputar dan kakinya melayang. Dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas lantai. “Nau, kamu kenapa?” Dean bertanya dengan cemas. Dia baru saja melipat sajadah saat melihat Nauna tehuyung dan terjatuh. “Kamu sakit?”Dean segera menghampirinya
Setelah mendengar apa yang dikatakan Rudy, Nauna merasa ini adalah kesempatan baginya untuk mengetahui siapa Jeremy. Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan, dia akan membuntuti iparnya itu nanti. Pada saat ini, Dean masuk ke kamar dengan membawa dua mangkuk bubur. Nauna segera melepas handsfree dan menyambutnya dengan senyuman. “Mbak Lusi dan yang lainnya belum masak. Jadi, aku beli bubur. Nggak apa-apa, ya?” Dean berkata sambil duduk di tepi ranjang dan menyerahkan satu mangkuk bubur pada Nauna. Ketika pergi ke dapur beberapa saat lalu, Dean tidak mendapati seorangpun di sana. Tidak ada yang memasak, meja makan juga masih kosong. Sepertinya, para iparnya belum keluar dari kamar. Dean tidak bisa menunggu. Jadi, dia mengambil motor dan pergi ke luar. Ada yang menjual bubur di persimpangan, tak jauh dari rumah. Dia membeli dua porsi untuk sarapan bersama Nauna. “Tumben mereka belum masak, biasanya sudah ada makanan di meja makan jam segini.” Dean kembali berkata. Dia terlihat sedi
Nauna benar-benar tak habis pikir. Dia hanya diberi waktu sepuluh menit untuk pergi membeli sarapan. Jika terlambat, dia akan mendapat hukuman dari para iparnya. Entah hukuman seperti apa yang telah mereka siapkan untuknya. Apapun itu, dia pasti akan sangat dirugikan. Jadi, dia tidak bisa membantah dan terpaksa menurut. Ada penjual bubur di persimpangan yang tidak jauh dari rumah. Itu adalah tempat di mana Dean membeli bubur ayam untuknya tadi. Nauna pernah datang ke sana. Jadi, dia tahu, ada bubur sumsum juga di sana. Akan tetapi, dia tidak tahu di mana tempat terdekat untuk membeli lontong sayur. Seingatnya, tidak ada yang menjual makanan itu di dekat sini. Mungkin, dia harus pergi lebih jauh untuk mendapatkannya. Nauna menahan kepalanya yang masih agak berat. Jika berjalan perlahan, sepuluh menit tidak akan cukup, jadi dia memaksakan kakinya untuk melangkah lebar-lebar. Tidak lama setelah melewati pintu gerbang, seseorang menghentikan motor di depannya. Nauna mengerutkan alis
Nauna menautkan alis. Dia tidak menyangka, Tika akan melarangnya pergi secara spontan. Padahal, dia sudah memberikan alasan yang masuk akal. Apakah mereka masih mencurigainya? “Aku nggak boleh pergi?” Dia mencoba bertanya dengan sopan. Tika mendelik ke arahnya dan berkata dengan ketus, “Cuci pakaian dulu, baru pergi belanja!” Nauna merasa gerah melihat tingkah perempuan ini, tapi tidak boleh memperlihatkan ekspresi kesal di wajahnya. Jadi, dia menarik napas panjang dan memaksakan seulas senyum. “Hampir nggak ada apa-apa di kulkas. Bagaimana kalau anak-anak ingin makan camilan atau minum jus buah sepulang sekolah? Mereka pasti akan kecewa melihat kulkas kosong.” Dia berkata dengan tenang. Tika terdiam. Dia tampaknya sedang berpikir. Sementara Tari berdecak dan berkata dengan acuh tak acuh, “Ya, ya! Pergilah untuk belanja!” Mendengar ini, Tika tidak setuju. “Dia bisa pergi belanja setelah mencuci pakaian. Nggak harus pergi sekarang, kan?” Tari bersedekap dan menjawab dengan santai
Nauna tidak bisa melihat wajahnya, tapi menyadari perawakannya berbeda dengan laki-laki yang datang ke rumah tempo hari.Penampilannya juga terlihat lebih sederhana—hanya mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Sangat kontras dengan penampilan laki-laki yang dia lihat waktu itu. Akan tetapi, penampilan bisa saja menipu. Jika laki-laki ini benar adalah Jeremy, maka dia mungkin sedang menyembunyikan status sosialnya dengan berpenampilan sederhana. Nauna terus memperhatikan laki-laki itu, sampai seorang pelayan datang menghampirinya. Pelayan ini menyapa dengan ramah dan menawarinya duduk di tempat yang masih kosong. Dia langsung setuju dan beranjak ke tempat yang dimaksud. Jarak tempat duduknya dengan Rudy dan laki-laki itu agak berjauhan. Posisinya cukup aman, karena tertutup oleh pelanggan lain. Sayangnya, dia tidak bisa mendengar pembicaraan mereka sama sekali. Jadi, dia hanya bisa memperhatikan gerak-gerik dua orang itu dengan seksama. Mereka tampak mengobrol dengan santai sam
Setelah mendapatkan semua barang yang diperlukan, Nauna bergegas pulang. Susah payah dia menenteng tiga kantong besar belanjaan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tika langsung menyambutnya di depan pintu. Wajah tidak tahu malu itu menatapnya dan bertanya dengan tidak sabar, “Mana pesananku?”Nauna mengulurkan salah satu kantong belanjaan. Tika meraihnya dengan kasar dan memeriksa isinya. Dia tersenyum puas, tapi ekspresinya kembali sinis saat mengangkat wajah. “Jangan lupa cuci pakaian!” Dia memperingatkan dan melotot dengan tajam. Nauna mengangguk dengan patuh. Tika langsung membalikkan badan dan beranjak pergi dengan perasaan gembira. Nauna diam-diam mencebikkan bibir. Perempuan itu bukan hanya tidak tahu malu, tapi juga tidak tahu terima kasih. Dia mungkin akan sesak napas jika mengucapkan terima kasih padanya. Setelah memastikan Tika benar-benar pergi, Nauna beranjak ke dapur untuk menyimpan semua belanjaan yang tersisa di tangannya. Pikirannya sebenarnya masih kacau. Dia