Lekas kubersihkan cairan kental berwarna kuning kehijauan itu, sambil memejamkan mata menahan nyeri luar biasa.
“Ar, kamu kenapa, sih? Kok wajahnya keliatan pucet dan lemes gitu? Sakit?” Ibu kembali bertanya ketika aku keluar dari kamar dan berpapasan dengannya di dekat meja makan.“Badan aku meriang, Bu. Tubuh rasanya sakit semua. Tenggorokan juga sakit!” jawabnya seraya mengenyakkan bokong dengan hati-hati, karena kali ini bagian belakang juga mulai ikut nyeri.Wanita berkulit putih itu menempelkan punggung tangan di dahi, menautkan kedua alis ketika memeriksa suhu tubuh dan ternyata tidak demam.“Nggak panas, Ar?” ucapnya kemudian.“Sakit itu tidak harus demam, Bu. Karena yang sakit itu...” Menggantung kalimat, malu rasanya jika harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada diri ini.Takut dikucilkan lalu ditinggalkan. Apalagi yang aku tahu, Ibu itu tipe perempuan yang nggak mau repot. Pasti dia langsung menj"Tapi, Pak? Masa hanya gara-gara masalah seperti ini saya harus dipecat? Rasanya nggak adil banget deh! Saya sudah berusaha bekerja dengan baik. Ikut memajukan perusahaan Bapak tapi, hanya karena masalah sepele Bapak memecat saya?" protesku tidak terima."Keputusan saya sudah final, Arya. Soalnya semakin ke sini pekerjaan kamu juga nggak ada yang beres. Semuanya kacau berantakan. Kalau kamu masih mau bekerja di perusahaan ini, saya bisa pindahkan kamu di bagian cleaning servis. Apa kamu bersedia?" Mata bulat dengan iris pekat itu terus saja memindai dengan tajam serta mencemooh.Enak saja mau memindahkan aku di bagian bersih-bersih. Itu mah, sama saja mempermainkan aku di depan teman-teman sejawat. Apalagi jika nanti Nirmala tiba-tiba datang dan melihatku berprofesi sebagai office boy. Pasti dia akan menertawakan diriku juga mengejek, karena setelah berpisah dengannya hidupku malah hancur berantakan seperti ini. Aku tidak mau."Maaf, Pak. Kalau di ba
Beranjak dari kursi, aku melangkah lebar-lebar meninggalkan kafe tersebut karena semuanya terasa sia-sia. Waktuku terbuang percuma hanya untuk menunggu orang yang sudah tidak mau lagi bersua denganku.Sudahlah. Sepertinya mengikhlaskan adalah jalan yang terbaik, meskipun rasanya teramat sakit.Tapi, akankah aku sanggup menjalani hari-hari dengan perasaan rindu yang terus saja membelenggu? Begitu mendamba cinta dari Nirmala, berharap ada keajaiban dari Tuhan, dan cinta kami kembali dipersatukan oleh takdir.Bruk!Saking seriusnya berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang perempuan berhijab panjang menjuntai. Wanita cantik dengan bibir tipis itu meringis kesakitan, berusaha berdiri sendiri walaupun aku mengulurkan tangan."Kamu adeknya Rangga 'kan?" sapaku ramah, sambil menatap lamat-lamat wajah ayunya."I--iya, Mas. Saya Rani, adeknya Bang Rangga. Mas temen kerjanya Abang kan?" Dia balik bertanya.Aku han
"Tidak. Aku tidak percaya. Dia pasti anak orang lain. Kamu sudah hampir dua bulan tidak pulang, dan sekarang tiba-tiba kembali dan mengaku-ngaku sedang hamil!""Mas!" Dia semakin tersedu. Dadanya berguncang sementara air mata berlomba-lomba jatuh membasahi pipinya."Sekarang kamu keluar dari kamar ini, Siska. Aku jijik melihat wajah kamu yang buruk rupa itu!" Mengusirnya secara kasar, karena merasa begitu muak kepada wanita itu, juga sakit hati karena dia telah menipu mentah-mentah dengan mengaku sebagai seorang gadis suci, ternyata malah seorang wanita tuna susila."Oke. Aku keluar dari sini. Tapi kamu ingat. Rumah ini sudah kamu gadaikan ke Pak Handoyo 'kan? Kalau kamu berani macam-macam, aku akan mengambil alih rumah ini dengan cara menebus sertifikat yang ada sama dia. Kamu berani mengusir aku dari sini, maka rumah ini juga akan menjadi milik aku, dan aku pastikan kalian yang akan keluar dari sini!" ancamnya dengan seringai yang menakutkan.
"Ini, perempuan yang membuat kamu berpaling dari anak saya?!" Ayah tersenyum miring, menatap mencemooh ke arahku sambil mengenyakkan bokong di sofa, padahal belum dipersialakan duduk. "Dia memang cocok sama kamu, Ar. Serasi sekali. Kalau diibaratkan itu, seperti tong sampah dan tutupnya. Klop. Pas.""Jaga bicara kamu, Bapak Tua. Kalau bertamu itu yang sopan!" sentak Siska tidak terima."Waw...Kamu bilang saya sedang bertamu? Ini rumah saya sendiri lho." ucap ayah terdengar enteng. Enak saja mengaku-ngaku."Panggil ibu kamu. Saya mau bicara!" perintahnya sudah seperti bos besar."Ada apa, pak Wildan?" Belum dipanggil ibu sudah datang dan menyalami tangan ayah mertua."Saya mau mengambil rumah ini, Bu. Karena rumah ini dulu saya yang bangun!""Apa? Mau ambil rumah ini? Bapak nggak salah bicara? Ini rumah saya, karena dibangun di atas lahan saya.""Kalau begitu, saya akan membayar tanahnya!"
“Nggak, semalam aku tidak melakukannya dengan kamu, tapi sama Lala. Aku nggak mungkin menyatu dengan monster menyeramkan seperti ini!” Menyibak selimut, memungut celana yang teronggok sembarangan lalu memakainya dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi.Tiba-tiba rasa tidak nyaman di area selangkangan kembali kurasakan. Gatal disertai nyeri kembali kembali terasa, membuat diri ini gelisah takut apa yang dikatakan dokter beberapa pekan yang lalu itu benar.Lagi dan lagi, merakasan panas seperti terbakar ketika buang air kecil, dan ujung senjataku memerah dengan rasa begitu menyiksa.Memang saat memeriksakan diri ke dokter. Aku tidak sampai mengambil surat hasil laboratorium, karena aku pikir dokter hanya mengada-ada tentang penyakitku. Makanya aku biarkan, ditambah lagi saat itu memang sudah menghilang gatal serta nyeri yang tengah dirasakan.“Kamu mau ke mana, Ar? Kok pagi-pagi begini sudah rapi?” tanya Ibu sembari menelisik tampilanku dari
Buru-buru masuk ke dalam rumah, memanggil Ibu, memberitahu kalau ancaman ayah Nirmala memang tidak main-main.“Kamu jangan bercanda, Arya. Nggak lucu!” ketus Ibu sambil tetap menyesap teh di tangannya.“Aku nggak bercanda, Bu. Aku serius. Silakan Ibu keluar dan lihat sendiri sana!” “Ada apa, Mas?” tanya Siska penasaran. Dasar perempuan kepo. Pengen tahu saja urusan orang.“Kamu nggak usah keluar. Di sini saja sampai rumah ini dirobohkan, biar kamu ketimbun sekalian!” Kini emosiku kian meninggi melihat wajah Siska.Mata bulat dengan iris hitam milik Siska melotot hingga hampir lepas dari kelopaknya.Brukk!Terdengar seperti sesuatu sedang dirobohkan, juga deru mesin alat berat mulai bekerja.Aku lekas berlari menuju jendela, menyibak tirai dan terenyak sesaat melihat pagar depan sudah roboh.Kejam. Tidak berperasaan memang ayahnya Nirmala. Padahal dulu aku pikir dia manusia paling baik sedunia, dan sekarang malah menunjukkan sifat aslinya yang jahat luar biasa.“Suara berisik apa, A
Malu rasanya karena semua aibku dibongkar di depan umum, merasa ditelanjangi tanpa ampun. Dibongkar semua tanpa terlewat. Kejam memang si Wildan.Tuhan saja yang maha pencipta masih mengampuni segala kesalahan hamba-Nya, tetapi tidak dengan orang-orang sombong itu. Mereka seolah bangga menunjukkan bahwa mereka semua hebat, dengan cara menjatuhkan keluargaku hingga ke dasar yang paling dalam.“Ternyata begini kelakuan asli Mas Arya. Duh, nyesel udah belaian tadi!” celetuk Bu Hilda akhirnya.“Iya, lagunya doang sok kaya. Ternyata kere. Udah kere sok-sokan nikah lagi. Buang berlian demi mengutip pecahan kaca!” timpal si ibu berkacamata.“Hu’um. Kirain kaya punya sendiri. Nggak taunya punya istri, dan sombongnya juga minta ampun waktu masih jaya. Ambrukin aja rumahnya, Pak. Biar mereka tau rasa dan nggak jumawa!” Beberapa alat berat yang Ayah bawa mulai kembali bergerak. Tangis Ibu semakin terdengar menyayat, sedangkan Wildan beser
Lelaki dengan alis tebal serta bulu mata lentik itu tertawa mendengarnya. Dia kembali menoleh menatapaku, tersenyum manis membuat diri ini menjadi salah tingkah.“Ma—maksud aku, lagi mikirin kamu, karena penasaran siapa kamu sebenarnya, Vir!” ucapku meluruskan, khawatir dia ke-geeran dan berpikir yang tidak-tidak.“Oh... Kirain. Ampe geer aku, La!” Dia menggaruk kepala yang sepertinya tidak gatal. Duh, kasihan.“Vir, aku mau nanya. Tapi tolong jawab dengan jujur. Sebenarnya kamu ini siapa?” “Aku siluman Harimau dari Gunungkidul!” Pria berkulit bersih itu kembali tertawa renyah.Enak banget hidupnya. Semua terasa ringan, dan seperti tidak memiliki beban. Setiap hari bisa tertawa, bercanda ria tanpa harus memikirkan kehidupan yang teramat pelik seperti diriku.“Aku serius, Virgo? Jangan-jangan kamu memang bukan supir atau bodyguard ya? Aku curiga kalau kamu itu sebenarnya anak orang kaya!” “Kalau iya memang