Mencengkeram pinggiran brankar, menahan sakit luar biasa seakan sedang dikuliti hingga membuat bibir ini bergetar hebat. Pandangan berkunang-kunang dan semuanya menjadi gelap.Dan ketika membuka mata, aku hanya terbaring sendiri di atas dipan kecil, menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat jam yang menggantung di tembok dan ternyata sudah pukul dua dini hari.Area pangkal pahaku terasa kebas, dan tidak terasa saat diraba. Buru-buru menyibak selimut yang menutupi badan, melihat ke bawah dan kembali menelan saliva ketika melihat daerah sana sudah di perban.Dengan pelan serta hati-hati kucari benda itu, bisa bernapas lega ketika mendapati dia masih ada di tempatnya.Aku pikir tanpa sepengetahuan dariku dokter memangkasnya. Ternyata tidak. Hanya saja tiba-tiba mati rasa, tapi mungkin hanya pengaruh anestesi yang belum sepenuhnya hilang.Kembali menutup tubuh dengan selimut, mata ini masih mengantuk dan malam juga sudah larut. Tidak mu
Aku menghela napas dalam-dalam kemudian membuangnya secara perlahan. Sebenarnya sudah malas berurusan dengan keluarga mantan suami, terlebih lagi setelah pengkhianatan yang mereka lakukan. Rasanya hati ini masih terasa begitu perih jika mengingatnya. “Ya sudah, nanti aku coba hubungi keluarganya,” ucapku pelan, hampir tidak terdengar. Kami lalu mengakhiri panggilan telepon dengan salam, dan aku segera mengusap layar gawai, mencari kontak keluarga Mas Arya yang bisa dihubungi. Tidak ada. Aku sudah menghapus semuanya, termasuk nomor telepon mantan suamiku itu. [Aku nggak punya nomor keluarganya Mas Arya, Mas.] Segera kukirimkan pesan kepada Virgo, supaya dia tidak terlalu lama menunggu kabar dariku. Centang dua biru, dan aku lihat di pojok kiri layar, dia sedang mengetik pesan. [Kata dokter Arya harus segera melakukan operasi, La. Kamu bisa ke sini. Aku sendirian soalnya.] Balasnya kemudian. Aku menyentak napas kasar. Untuk apa dia masih pe
“Maaf, Dokter. Apa harus saya yang menandatangani surat persetujuan ini? Kalau dia menjalani amputasi tanpa tandatangan dari saya apa bisa?” tanya Virgo kemudian.“Prosedur rumah sakit memang seperti itu, Pak. Bapak ini kan keluarganya?” Lawan bicara kami mengulas senyum simpul.“Maaf, Dokter. Tapi saya bukan keluarga pasien. Kebetulan tadi saya sedang berada di jalan, dan melihat kecelakaan lalu lintas di sana. Kalau tidak biar saya suruh anak buah saya menjemput ibunya pasien. Saya punya alamat rumahnya, karena kebetulan dia juga karyawan baru di perusahaan saya!”“Tidak apa-apa, Pak. Bapak bisa mewakili keluarganya. Mereka juga pasti mengerti!”“Coba saja kamu telepon Jojo, Mas. Dia pasti punya nomer keluarganya Mas Arya!” sambungku memberi gagasan.Virgo segera mengambil gawai dari saku celananya, menghubungi pria berambut kribo tersebut dan menyuruh dia mengabaikan keluarga mantan suami. Tidak kama kemudian ponsel dalam tasku terdengar berdering. Ada panggilan masuk dari nomer t
Aku menghela napas sambil kembali duduk, bercengkerama sebentar dengan Irni lalu menyimak cerita Virgo ketika menemukan mantan suami dalam keadaan terkapar di tengah jalan tadi pagi.“Terima kasih, Pak. Karena sudah mau menolong kakak saya. Terima kasih juga ya La, karena kamu berkenan menemani Mas Arya di rumah sakit, padahal dia sudah menyakiti hati kamu!” Irni menatap wajahku dengan pindaian yang sulit sekali diartikan, lalu bergantian menatap wajah Virgo.“Ya sudah, Ir. Aku pulang dulu. Aku ke sini karena tadi ditelepon Pak Virgo dan mengira kalau aku keluarganya!” ucapku seraya berdiri, dan aku lihat lelaki bertuksedo hitam itu mengernyitkan dahi seraya menatapku dengan mimik aneh. Mungkin karena aku menyebut dirinya dengan embel-embel ‘pak’“Sekali lagi terima kasih karena kalian sudah membantu kami!”“Tidak perlu sungkan. Aku turut prihatin juga atas musibah yang menimpa Mas Arya. Semoga saja setelah dia sadar nanti, bisa menerima keadaan dia apa adanya, karena pasti dia akan t
“Kak Irsyad?” “Iya, La. Kamu apa kabar?” Dia menatapku dengan pindaian penuh kerinduan. “Kenapa kamu bisa berada di tempat ini, Kak?” Kak Irsyad mengernyitkan dahi, menatapku dengan mimik aneh. “Ini ‘kan tempat umum, memangnya ada larangan untukku datang?” Pria berkacamata itu lalu menarik kursi di sebelahku, menggenggam tanganku yang bertumpu di atas meja dengan kedua netra terus saja memindai tanpa berkedip. “Maaf, Kak. Tolong jangan pegang-pegang. Takut ada yang liat dan salah paham.” Menarik tangan perlahan, takut tiba-tiba Virgo muncul dan dia menjadi salah paham. [Mas Robby, bisa temani saya dulu di dalam sampai Mas Virgo datang?] Mengirimkan pesan kepada sopir calon suami, supaya tidak terjadi kesalah pahaman nanti jika Virgo tiba-tiba datang dan melihatku sedang Bersama Kak Irsyad. [Baik, Bu Bos. Saya segera ke dalam.] Balasnya kemudian. Aku segera menjauhkan tangan dari Kak Irsyad, dan wajah mantan tunanganku itu mendad
Sambil memindai wajah tampannya kubuka kertas itu, melekuk senyum melihat isinya‘LIHAT KE DEPAN’Spontan langsung menatap ke arah depan, terkagum-kagum melihat apa yang ada di hadapanku. Sebuah spanduk bertuliskan ‘WILL U MARRY ME’ terbentang di sana, dan ada beberapa orang membawa rangkaian bunga berbentuk hati.“Bagaimana, Sayang. Kamu suka dengan kejutannya?”Aku menjawab dengan anggukan kepala serta rasa haru luar biasa.“Kamu mau kan jadi istri aku? Ini aku melamar kamu secara resmi. Mengikat kamu, karena aku tau tau perempuan itu hanya butuh kepastian juga keseriusan. Aku juga tahu kamu sedikit ragu sama aku, karena kamu merasa aku ini tidak pernah serius orangnya. Aku memang sering bercanda. Tetapi untuk hubungan kita aku teramat sangat serius. Kamu mau kan jadi istri aku, Nirmala Wulan?” Dia menyodorkan kotak beludru berwarna merah, dengan sebuah cincin berlian menyembul di dalamnya. “Manggut, dong. Jangan diem terus,”
Menekan dial hijau, aku memutuskan untuk meneleponnya, karena sudah tidak betah berlama-lama di Jakarta.“Kenapa sih, La? Kamu ganggu Ayah aja. Ayah lagi liburan sama Delima. Kamu kalau butuh apa-apa tinggal kirim pesan aja nggak perlu telepon!” Terdengar respons tidak suka dari pria yang katanya ayahku itu. Mungkin karena sudah mempunyai kehidupan baru, jadi dia tidak lagi mau diganggu.“Jemput aku di Jakarta, Yah. Aku mau pulang ke Cirebon,” kataku terbata, menahan perih yang kian meraja.“Ayah nggak bisa, Sayang. Kamu minta diantar sama Aliando saja. Biasanya juga kemana-mana sama dia!”“Ya sudah.” Menutup sambungan telepon secara sepihak, merasa kalau saat ini jarak antara aku dan Ayah semakin jauh saja. Entahlah! Dia selalu bilang sayang, tetapi tidak pernah menunjukkan sedikit pun perhatian. Mungkin dia pikir hanya dengan memberi banyak uang saja sudah cukup membahagiakan diriku, padahal uang bukanlah kebahagiaan sebenarn
“Kamu kenapa di atas tubuh aku terus, Mas? Turun!” ucapku seraya mendorong tubuh calon suami.“Eh, sorry .…” Dia segera beranjak lalu duduk di sofa. Jalannya terlihat aneh.“Maaf, Bibi mengganggu. Kirain nggal lagi…” Dia menggantung kalimat . Mungkin dia pikir kami sedang melakukan hal tidak senonoh di dalam kamar. “Harusnya pintunya ditutup rapat, biar Bibi nggak bias nyelonong masuk.”“Bukannya udah ditutup sama Mas Vairgo?”“Kan aku tutup doang tapi nggak rapet. Kata kamu takut jadi fitnah? Lagian kami nggak lagi ngapa-ngapain kok, Bi. Tadi Lala mau jatuh. Niatnya aku mau nolongin, eh, malah jatuh bareng-bareng!” Virgo menimpali sambil tersenyum aneh.Bi Sarni hanya ber oh ria, tetapi dari cara dia menatap kami terlihat sekali kalau perempuan yang sudah mengurusku sejak bayi itu tidak percaya dengan ucapan Virgo.“Bibi kenapa sudah sampai Jakarta?” tanyaku bingung, karena baru setengah jam yang lalu menghubun