“Hara, bukan, Adara, ah salah lagi, Dira. Kau mau ke mana?” Dewa perang itu lekas menyusul ke arah sang tabib berlari. Pasti ada sebuah benda yang menarik hati hingga gadis berbaju merah itu mengabaikannya. “Ada sinar dari dalam hutan, pasti ada tumbuhan ajaib yang tumbuh jelang bulan biru, dua hari lagi, Tuan,” jawab Dira sambil tergesa-gesa. Ia harus jadi orang pertama yang memetik bunga tersebut. Nantinya kembang tanpa nama itu bisa dijadikan obat untuk meluruhkan semua sisa serbuk bunga hitam di dalam mata Arsa. “Tunggu, hati-hati hari sudah malam.” Berbekal pendengarannya tajam, Arsa menyusul ke mana sang tabib berlari. Tanpa mereka berdua sadari, baik Arsa atau Dira sudah berlari terlalu jauh ke dalam hutan. Sinar bunga itu semakin diikuti semakin jauh letaknya. “Haduh, aku sudah ngos-ngosan berlari, kenapa tak sampai juga.” Dira beristirahat sejenak melepas lelah. Dewa perang itu menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Hidung Arsa terus bergerak, ia mencium kedatangan
“Jangan terlalu kau pikiran kata-kata orang. Mereka kadang asal bicara dan menebak jalan hidup orang. Tanda lahir di wajahmu sama sekali bukan tanda sial.” Arsa memahami apa yang ada di dalam hati Dira. “Memang benar jadi pembawa sial. Buktinya hanya karena ini saja aku dibuang. Sudahlah, aku tak mau mengenang masa lalu. Yang perlu aku pikirkan di mana sekarang aku tinggal? Rumahku yang kecil itu hancur begitu saja.” “Serahkan padaku. Kau hanya tinggal duduk manis saja dan menerima semuanya.” “Tapi Tuan, kan, buta, bisa dapat kayu dari mana dengan keadaan gelap seperti sekarang?” “Tadi juga waktu aku membawamu melompat dalam keadaan buta. Masih ingin meragukan kemampuanku?” tanya kembali Arsa. Dira hanya menggeleng saja, meski keraguan masih bercokol di sanubarinya. Ombak tanah dan pohon di seberang telah berhenti bergumuruh. Tanah di tempat dewa perang dan sang tabib berpijak tak lagi bergetar. Arsa bergerak cepat membuat tempat berbaring sementara yang nyaman bagi Dira. Gadis
“Sialan! Apa yang kau lakukan di depanku, hah?” Arsa mendorong Rogu yang tiba-tiba ada di depannya menggantikan Dira. Niat hati Arsa ingin memandang wajah putih dengan lukisan dewi memegang ikan, tetapi apa daya pelayan Dewa Rama itu merusak semuanya. “Aku datang untuk mengabarkan kalau istri ketigamu tak jauh dari sini,” ucap Rogu sambil memegang pipinya yang dibelai Arsa tadi. Dewa perang itu bergidik geli. “Mana, Hara, eh Dira, mana, mana?” tanya Arsa yang kehilangan sang tabib. “Tuh,” tunjuk Rogu yang memoyongkan bibirnya sendiri. Gadis berbaju merah itu dibuat tak sadarkan diri di tangga rumah. “Kurang ajar kau.” Dewa perang itu menendang Rogu hingga ia terlempar jauh, jauh sekali dan nyaris menjadi bintang di langit. Lelaki yang disembah oleh semua manusia harimau itu lekas terbang dan mengangkat Dira ke ranjangnya. Kali ini Arsa bebas memandang wajah tanpa ada penutup, dan tanpa buram sama sekali. “Aku rasa, jejak dewi kebaikan di langit, turun padamu, Adara, eh, Dira ma
Anindira dikeluarkan dari karung yang membungkus dirinya. Ia masih tak sadarkan diri, kemudian segentong air disiramkan ke tubuhnya. Gadis itu terpaksa sadar karena kejutan yang ia terima. Mata Dira melihat sekeliling. Ini bukanlah rumahnya. Ada banyak lelaki kekar di sekelilingnya. Jangan lupakan tiang untuk gantung diri. Kayu untuk dibakar, dan pedang panjang yang membuatnya menelan ludah. Seperti tempat hukuman mati bagi para pemberontak, atau penjahat kelas berat. “Diakah orangnya.” Seorang lelaki dengan pakaian kuning keemasan datang dan memegang dua pipi Dira sangat kuat hingga bibir gadis itu mengerucut. “Cantik juga, tapi kau memiliki aib di wajahmu. Ini kutukan, kalau dibiarkan desa kita akan terkena wabah borok seperti dulu.” Telunjuk adipati itu tak luput menekan dahi sang tabib berkali-kali. “Apa ini, aku tak mengerti sama sekali!” Dira memberanikan diri untuk bertanya setelah lelaki bangsawan yang merupakan pemimpin wilayah melepaskan cengkeraman tangannya. “Kau can
Arsa mendorong tubuh Dira ke dalam kamar. Gadis itu cukup kaget dengan apa yang dilakukan oleh lelaki yang telah menolongnya beberapa kali. Sang tabib tak bisa melakukan apa pun. Ia tak paham, tapi merasa bingung sekaligus senang dengan sensasi rasa bahagia yang diberikan oleh Arsa. Kemudian waktu pun terus berjalan dalam kesunyian di kaki gunung. Dua insan itu terus bersama sampai waktu mengatakan cukup karena Dira masih manusia biasa. Arsa menjauh dan sang tabib terlelap begitu nyenyak. Dewa perang itu memperhatikan kalung zodiaknya. Belum ada panggilan kedua yang datang. Artinya ia masih punya waktu beberapa saat lagi sebelum benar-benar pergi. “Tuan,” panggil Dira ketika gadis itu terbangun. Ia terlihat malu-malu karena tadi seperti merasa bukan dirinya. “Iya, kenapa?” Dewa perang itu menoleh. Sang tabib terlihat mengenakan baju baru berwarna hitam. Seperti orang berduka. “Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, sekali lagi. Sejak mengenalmu aku jadi tahu ap
Dewa Arsa mondar-mandir dari tadi di dalam kamar. Sedangkan Nira memperhatikan tuan muda yang sepertinya sedang gundah gulana. Cuaca di luar sangat terik, atau mungkin lelaki itu kepanasan dan butuh dikipas? “Tuan Muda, butuh sesuatu? Biar aku ambilkan. Sepertinya kau sedang tidak nyaman,” tanya Nira yang bola matanya juga ikut berputar ke mana Arsa pergi. Dewa pun bisa galau dan patah hati juga. “Diam!” balas Arsa. Nira pun menundukkan kepala. Dewa perang itu lekas sadar barusan berkata kasar sekali. “Maafkan aku, Hara, aku tidak bermaksud membentakmu.” Tuan muda bangsawan dengan baju mewah tersebut memegang dua tangan pelayannya. Nira kaget dan mundur beberapa langkah. “Hamba buk—” “Diam, tidak ada istilah hamba di sini, kau bukan hambaku, paham!” Lagi-lagi Arsa memukul mulutnya sendiri. Kenapa dari tadi mulutnya ketus terus. “Tuan, tapi hamb, eh, maksudnya, aku bukan Hara. Siapa Hara yang Tuan maksud, kalau dekat biar aku carikan orangnya. Apa dia cantik, atau dari kalangan
Arsa dan Nira berjalan-jalan ke luar. Rasanya tempat itu tak asing baginya. Apalagi dengan pemandangan gunung yang tinggi menjulang. “Apa ini?” tebak Arsa dalam hati. “Ah, tak mungkin.” Begitu pikirnya. “Tuan, coba lihat itu. Ada panah baru barangkali tuan berminat,” tunjuk Nira pada barang dagangan di depan matanya. “Halah, panah dengan kayu dari bumi, manalah kuat menahan tanganku.” “Tuan tak berani mencoba?” tantang Nira. “Siapa bilang? Bawa sini semua panah yang ada, akan aku tancapkan tepat di hatimu!” tunjuk Arsa pada jidat Nira. Gadis pelayan itu tersenyum lebar sekali. Kemudian sang dewa perang mendekati pedagang busur dan panah. Ia coba satu dulu, tapi sayang busurnya patah saking kuatnya tarikan Arsa. Baru pada busur ketiga berhasil dan anak panah menancap pada titik merah yang dituju. Begitu terus sampai semua barang dagangan habis dicoba oleh Arsa. “Ini, kecil bagiku. Jangankan panah kayu, panah dari petir saja pernah aku pegang,” ucapnya congkak. Tersisalah Nira
Tubuh Nira terlepas dari genggaman Arsa. Mata gadis itu kian memerah bak bibit api. Kemudian semua yang ada di sekitar mereka terbakar dan hangus menjadi abu. Bukan hanya itu saja, tempat di mana sang dewa berpijak perlahan-lahan berubah menjadi … tempat yang tidak asing lagi. “Putra Bhawika Arsa, kau terlalu berani untuk lari dari jurang neraka,” ucap Nira sambil tubuhnya melayang di udara. Baju kuning terangnya berganti menjadi warna hitam batu dihiasi dengan bara api. “Jadi, ini kau yang sebenarnya? Mana Nira yang asli?” tanya Arsa yang kini kembali ke jurang neraka tanpa ia sadari. Kali ini sang dewa perang tertipu mentah-mentah. “Dewa Arsa, dia tetaplah Nira. Salah satu pecahan arwah tertiup angin dan berakhir di jurang neraka. Dia menjadi salah satu kaki tangan untuk menangkap tawanan yang kabur. Kau salah satunya.” Bisikan Rogu terdengar di telinga Arsa. “Tidak adakah cara untuk menyelamatkannya?” “Lihat di bagian bawah tulang lehernya. Dia menelan buah api neraka. Kelua