Ambar menyimpan guci berisikan mata air surga di dalam kamarnya. Kamar itu pula memiliki pengaman akar tumbuhan yang senantiasa berbicara padanya. Akan aman, setidaknya begitu pikir dewi bunga. Seekor kupu-kupu cantik mencoba terbang dan hinggap di salah satu kelopak bunga yang mekar sempurna. Dia menghirup wanginya, dan perlahan-lahan mendekati pintu yang tersegel. Saat ada celah untuk memasuki ruangan milik Ambar. Kupu-kupu itu dijerat oleh akar tumbuhan hingga sayapnya patah dan tubuhnya remuk dan jatuh ke lantai. “Susah sekali, bahkan untuk bernapas saja dia tak memberiku kesempatan.” Kupu-kupu itu ternyata Rogu. Tekadnya sudah bulat untuk mencuri, bukan, meminjam sejenak guci mata air surga. Tak menyerah, Rogu mencoba yang kedua kalinya. Ia menyamar menjadi salah satu dewi tingkat paling bawah dan menyapu halaman serta memetik dedaunan yang kering dan menyiram bunga. Langkah demi langkah ia mendekat. Saat pintu berhasil dibuka. Jerat tanaman kembali melemparnya. Jatuh lagi
Arsa membuka mata ketika tahu ada yang datang menolong. Rogu berkejar-kejaran dan menghindar dari serbuan panah dan pedang api milik Nira. Gadis penjaga neraka itu tak pernah pandang bulu membasmi para pengacau. Satu buah panah melesat menggores paha Rogu. Hal demikian membuat pelayan Dewa Rama itu terpental hingga berada di bawah kaki Arsa. Tepat waktu, secara tak langsung Nira telah menolongnya. Cepat Rogu membuka botol kaca bening miliknya. Kemudian ia teteskan satu butir mata air surga. Gejolak api neraka tenang sejenak. Namun, masih tak bisa membuat sang dewa perang lepas dari siksaannya. “Coba satu lagi saja.” Rogu menambahkan satu tetes lagi. Neraka menjadi lebih dingin dari yang pertama. Kekuatan Arsa yang melemah telah kembali. Bola mata kuning dewa perang itu menyala lebih terang. Ia genggam tangan dan kakinya lebih kuat hingga urat-uratnya timbul di bawah kulit. Beberapa saat kemudian rantai yang membelenggunya retak dan pecah berkeping-keping. Pecahan itu menimbulkan
Terpaksa Arsa menyumpal mulut Nira denga kain sebab gadis itu tak berhenti bicara dan mengumpat padanya. Sampai berasap kuping dewa perang itu saking berisiknya penjaga neraka yang ia culik paksa. “Haduuuh, sudahlah tubuhnya sepanas api, mulutnya sepedas cabe neraka, kurang sabar apa aku sebagai suami.” Arsa memegang ibu jarinya yang tadi digigit Nira.Akhirnya gadis itu diam dan tertidur pulas juga. Dan keduanya masih di bukit yang sama. Belum beranjak dan tak punya rencana apa pun. “Aku harus bisa menyingkirkan batu neraka dari dalam dadanya itu. Mungkin itu yang menjadi sebab kenapa dia jadi beringas seperti siluman api,” ucap Arsa ketika memperhatikan Nira tertidur lelap. Perlahan-lahan dewa perang itu mendekati pecahan Hara yang tertidur. Tangan lelaki bermata kuning itu bergerak ingin menyentuh di bagian bawah tulang leher. Sayang Nira keburu sadar. Matanya yang semerah api memandang Arsa begitu tajam. Penjaga neraka itu memang terikat, tapi untuk mengadu kepala masih bisa d
Nira menangis di luar rumah yang dibangun Arsa. Gadis itu mencoba melompat. Cukup tinggi yang bisa ia jangkau, tapi pada saat ingin terbang … “Aduh, pantatku sakit!” ucapnya sambil memegang bagian tubuh itu. Arsa hanya tertawa saja. “Sialan kau! Beraninya menertawakanku. Mana semua kesaktianku. Kenapa jadi hilang? Hu hu hu, kembalikan aku ke neraka!” Arsa sampai bosan dan menyumpal dua telinganya, tapi tetap saja terdengar karena ia bukan manusia biasa. “Kesaktiannya memang hilang, tapi cerewetnya tidak. Ya sudahlah, terima apa adanya saja,” gumam sang dewa perang. Selain memusnahkan batu neraka di dalam dada Nira, lelaki itu juga meneteskan percik terakhir dari mata air surga. Lengkap sudah ilmu Nira hilang semua. Ditambah dengan sungai yang mengering dan pepohonan yang terbakar juga kembali seperti sedia kala. “Kau bisa, ya, tidur santai?” Penjaga neraka itu berkacak pinggang. “Kau ingin aku melakukan apa, ha?” “Kembalikan pedang api milikku!” Arsa mengabulkan permintaan pe
Kejar-kejaran itu berakhir setelah Arsa memamerkan kekuatannya. Para penduduk dibuat membeku sementara waktu, termasuk pula dengan Nira. Dewa perang itu mendekat. Tak ada cara lain menaklukkan Nira selain memang harus agak kasar sedikit. Arsa mengambil rantai, mengikat tangan gadis itu lalu menautkan pada tangannya. Dengan begini Nira tak akan membuat ulah. “Mentang-mentang dewa, kau ya?” gumam Nira yang tak tahu akan dibawa ke mana. Pasrah tapi tak rela. “Apa salahnya memanfaatkan semua kekuatanku demi kebaikan?” “Kau akan bawa aku ke mana?” “Melihat-lihat bumi yang indah. Kau pasti akan betah nanti.” “Dewa Arsa. Aku justru khawatir terlalu lama di bumi nanti pemburu neraka akan turun. Denganku saja kau kalah apalagi dengan mereka.” “Aku bukan kalah denganmu, tapi aku mengalah demi cintaku padamu.”Nira menahan rantai itu tapi Arsa menairiknya lagi. Kini keduanya telah memasuki pemukiman warga. “Aku sedang tidak bercanda, Dewa Arsa.” “Aku juga tidak pernah bercanda.” “Nant
Hampir saja sedikit lagi dua wanita itu akan saling berpandangan. Namun, Arsa bergerak cepat dan membuat keduanya pingsan. Lebih tepatnya, Anindira yang pingsan, Danira masih pusing berat dan dua udang di tangannya pun terlepas. “Menyusahkan saja kalian berdua ini.” Dewa perang itu mengangkat kedua pecahan arwah Hara. Satu diangkat di bahu kiri, satu lagi di kanan. Dan terakhir diletakkan di atas kasur kamar Dira. Tak lupa Arsa membuat Nira benar-benar tak sadarkan diri. “Ckckckck, kalaulah salah satunya tak ada yang punya tanda di wajah. Aku benar-benar tak bisa membedakan mana Nira mana Dira, sudahlah nama hampir sama.” Arsa duduk dan memperhatikan dua wanita itu tidur. Yang lebih cepat sadar ya jelas Nira. Kemudian dewa perang itu membawa sang penjaga neraka ke tempat lain agar tidak terjadi salah paham dan keributan. Soal Dira bisa diurus belakangan. “Apa yang kau lakukan padaku, Arsa?” tanya Nira yang masih separuh sadar. Ia melihat tempat di sekitarnya dan mencari di mana u
Nira berjalan jauh sekali dari rumah yang dibangun oleh Arsa. Naif sekali gadis itu mengira seorang dewa akan pingsan dengan mudahnya. Ia pun bertekad mencarikan tabib. Bukan karena peduli dengan Arsa melainkan takut tak ada yang memberikannya makan lagi. “Tuan, tahu tidak tabib paling hebat di sini. Ada yang hampir mati di rumahku?” tanya Nira pada salah satu penduduk. “Hah, sudah hampir mati? Bahaya kalau begitu. Terus saja jalan ke gunung, Nona. Nanti kau akan temui kediaman Tabib Anindira. Dia, orang sudah sudah mati saja bisa dihidupkan lagi,” jawab lelaki tadi. Nira mengangguk saja, tapi sepanjang jalan dia jadi berpikir. “Sejak kapan ada orang yang bisa menghidupkan orang mati? Lawan pemburu neraka iya nanti.” Tak percaya Nira dengan kemampuan Dira. Tapi dia tetap pergi, artinya dia akan menjumpai kembarannya sendiri untuk memeriksa Arsa. ***Pemburu neraka merupakan makhluk yang murni terbuat dari batu api neraka. Mereka tidak memiliki wujud layaknya Nira. Namun, saat di
Arsa menunggu Nira kembali dengan penuh kesabaran, selain itu juga penuh kedutan di keningnya. Laki-laki itu tak ingin melepaskan gadis yang baru saja ia nikahi.Apalagi kata Nira tadi ia ingin pergi. Seorang penjaga neraka jika katanya ingin pergi tentu tempatnya tak lain tak bukan adalah yang penuh api. “Sial! Kenapa pikiranku? Susah sekali menghadapi zodiak aries satu ini,” ucap Arsa sambil memutar lehernya ke kiri dan kanan. Watak pecahan arwah Hara itu pada dasarnya sama. Tak suka melihat orang lain menderita karenanya. Pintu rumah terbuka dan Nira muncul. Arsa menarik gadis itu dan memeluknya sangat erat. “Kupikir kau pergi tadi,” ucapnya tanpa mau melepas pelukan. Nira merasa heran. Biasanya dewa tidak pernah labil pikiran dan hatinya. Juga, Arsa, kan, bisa mencarinya kalau lama tak kembali. “Aku memang berniat pergi, karena itu aku ingin berpamitan padamu,” jawab Nira karena merasa pemburu dari neraka sudah sangat dekat. “Aku tak akan membiarkanmu pergi dari sini, Nira.