“Pokoknya aku enggak mau pisah sama kamu! Aku cinta sama kamu!”
“Cinta? Kamu enggak cinta sama aku. Kamu cuma terobsesi sama aku,”
“Aku beneran cinta sama kamu. Hiks...hiks... Jangan tinggalin aku! Lagian kamu udah ninggalin dia demi milih aku. Pasti dia enggak mau balikan sama kamu lagi,”
“Salah satu hal terbodoh yang aku lakukan adalah ninggalin dia demi memilih kamu. Aku bodoh karena aku enggak bisa lihat mana yang beneran tulus sama aku,”
“Emangnya kamu pikir dia mau balik sama kamu. Hah?”
“Aku enggak peduli. Aku akan terus berusaha buat merebut hatinya kembali. Dulu dia yang berjuang sekarang biar aku yang berjuang. Tinggalkan aku. Jangan ganggu aku lagi. Semoga kamu bisa dapat yang lebih dari aku,“
“Tidaaaaaakkkkk ...”
Kumenangis ...
Membayangkan....
Malam ini, kami berempat sedang berkumpul di ruang
Jikalau kita melihat sebuah bangun ruang berbentuk kubus dengan mudah kita akan mengukur panjang rusuknya. Dari situ akan mudah pula menghitung volume 'isi/ruang' dari kubus tersebut.Berbeda dengan sebongkah hati manusia. Bahkan panjangnya saja tak bisa kita kira, apalagi untuk mengetahui seberapa banyak 'isi' yang mampu ditampungnya.Entah isi itu berupa rasa bahagia, sedih, benci maupun cinta. Kamu dapat mengetahui geometri sebuah bangun ruang namun tak dapat menerka geometri ruang hatimu. Ckckck. Sedih.***“Guys. Lihat arah jam sepuluh. Pak Ricky itu,”“Mana mana?”“Ugh... Ya Allah, ganteng banget,”“ So cool. Ganteng pula,”“Item manis, macho pokoknya,”“Hooh, kayak Babang Rio Dewanto,”“Muka dinginnya ya Allah, pengin rasanya aku lelehkan sama cintaku,”“Semoga
“Lily Sayang. Cepat keluar, Nduk!” Lengkingan maut Mama mulai menyapa pagi hariku.“Iya, Mama. Kenapa sih? Masih jam setengah 6 juga. Lagian Lily masih dandan ini,” Sahutku sedikit kesal.“Cepetan! itu udah ditunggu,” Suara mama terdengar dari ambang pintu kamar.“Ditunggu Papa kan’? Kayak enggak biasa ditunggu Papa sarapan aja,”“Udah cepetan gih ke ruang tamu, jangan lama-lama!” Mama langsung pergi setelah menyuruhku ke ruang tamu.Heran. Kenapa wajah Mama tampak berseri seperti mendapat jatah bulanan lebih dari Papa. Aku pun segera mengakhiri aktivitas dandan dan segera menyambar tas punggung kesayangan.Niatnya mau berangkat pagi sekali biar tidak jadi dijemput. Semalaman aku tak bisa tidur nyenyak memikirkan apa yang dikatakan Ricky. Aku takut. Karena aku tahu dia itu sangat nekat orangnya.Sesampainya di ruang tamu, aku kaget. Shock. Kenapa orang yang bar
“Jadi bapak/ibu guru demikianlah manfaat bapak/ibu jika menabung atau mengajukan kredit bersama kami. Kami akan memberikan diskon sebanyak 9% untuk setiap peminjaman. Sekaligus souvenir cantik dari kami,” Demikian presentasi dari pegawai sebuah bank swasta terkenal yang ada di daerahku.Wow, speechless. Ini Mutia yang itu kan? Hohoho... Bagaimana caranya seorang lulusan pendidikan Matematika jadi pegawai bank? Kok aku jadi kepo ya? Tau ah. Pusing.Aku melirik melalui pantulan kaca yang bertengger di mejaku, cermin itu mengarah ke belakang. Kenapa dia? Bukannya harusnya senang, ceweknya dateng. Tapi lihat, mukanya tetap datar saja. Ckckck. Tak mau berlama-lama di ruangan dengan dua mantan, dimana yang satu mantan pacar dan yang satu lagi mantan pepacor 'perebut pacar orang'.Aku segera keluar ruangan menuju kantin. Lapar guys. Mumpung jam kosong, aku ke kantin bersama Resa dan Mbak Ning. Kami bertiga memutuskan memak
“Apa? Jadi kalian pernah pacaran? Kenapa kamu enggak bilang sama aku?” Resa mencecarku dengan berbagai pertanyaan.“Kenapa? Enggak penting juga!” jawabku ketus.Saat ini kami sedang berada di halaman belakang rumahku. Di area ini banyak ditumbuhi berbagai sayuran yang sengaja di tanam oleh Mama. Dan terdapat sebuah gazebo mungil tempat kami berkumpul dan bersenda gurau.“Aku enggak percaya. Bisa-bisanya kamu bersikap biasa aja kayak baru pertama ketemu. Dua bulan, Lily! Dua bulan dan kamu enggak cerita sama aku,” Ucap Resa sewot.“Bisa enggak sih jangan bahas mantan. Namanya mantan ya dibuang lah, kenapa harus disimpan? Enggak penting!” jawabku tak kalah sewot.“Tapi kenapa putus? Apa jangan-jangan karena Mutia ya sampai kalian putus? Ah, sayang banget. Eh ... tapi sekarang aku paham. Pantes setiap aku lihat Pak Ricky lagi natap kamu tuh ya, tatapannya itu dalem banget. Aku bisa lihat di dalamny
Aku senang ternyata janji Resa untuk tidak ember kemana-mana perihal hubunganku dengan Ricky, ia tepati. Jadi, hanya Resa, Mbak Ningsih dan Mas Tama saja yang tahu. Tapi justru sekarang aku harus menyiapkan mental dan hati menjadi bahan kejahilan bagi mereka bertiga.Seperti saat ini. Aku terpaksa duduk manis bersama Ricky menuju kawasan wisata Dieng, Wonosobo.Demi apa coba? Kenapa justru aku harus satu bus dengan pengantin baru. Awalnya aku duduk dengan Mbak Ning. Namun, ketika bus baru berjalan sekitar setengah jam, Mbak Ning ijin duduk bersama suami dengan alasan mau bobo manja di bahu suami.Sungguh, aku tak percaya dengan alasan itu. Kenapa aku merasa, mereka seperti berkomplot dibelakangku?Kegelapan menyelimuti sepanjang jalan. Dikarenakan kami berangkat pukul 01.00 pagi. Perjalanan menuju Dieng kurang lebih membutuhkan waktu tiga jam.Selama perjalanan, hanya keheningan yang tercipta. Aku ingin tidur ya Allah, tapi aku takut, kebiasaan jel
“Duh. Yang kemarin kemana-mana selalu berdua. Romantisnya,” ucap Resa dengan nada meledek.“Apa yang romantis? Orang rame-rame kok’,”“Lah ini apa coba?” Resa menunjukkan foto di HP-nya.Mataku membelalak. Ini kan’ foto saat Ricky menggenggam tanganku dan membawanya ke arah dadanya? Huhuhu. Wajahku merona. Ini siapa lagi yang jadi paparazi?“Kamu dapat dari siapa?” tanyaku.“Mbak Ningsih,” Senyum jahilnya masih nampak.“Ish. Kurang kerjaan Mbak Ning,”“Hahaha... Mukanya enggak usah merah kali Non,” Aku malas menanggapi omongan Resa. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan. Ngadem. Mumpung sepi dan jam kosong bagi kami.“Itu kan’ Mutia?” celetuk Resa.Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Resa. Iya itu kan dia? Demi apa coba dia bolak balik kesini? Setahuku memang tidak ada seorang guru atau karyawan pun yang
“Angga, nanti jangan lupa bilang sama anak PMR buat menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan regu pramuka selama kemah.”“Siap, Bu Lily,” sahut Angga.“Bu. Nanti Ibu ikut mendampingi kami kan? Bu Laras kayaknya enggak bisa dampingi regu putri?” tanya Melda salah satu regu putri pramuka.“Kita lihat nanti,” ucapku pendek.Aku pun berpamitan kepada regu pramuka setelah selesai mengecek persiapan perlengkapan pertolongan pertama yang dibutuhkan untuk acara pelantikan pramuka bagi kelas 10. Aku segera bergegas menuju parkiran motor. Rasanya hari ini aku lelah, ingin cepat sampai di rumah, mandi lalu rebahan.Sekolah nampak sepi karena sebagian besar siswa sudah pulang. Hingga saat aku akan menyalakan motorku, seseorang mengambil kuncinya dengan sengaja.“Apa-apaan sih, Pak? Tolong kunci saya. Saya ingin segera pulang!”“Kamu kenapa, Ly? Aku merasa seminggu ini kamu men
Aku meneteskan air mata sedangkan Lala sudah sesenggukan. Kami meratapi, jeerawat.Kami berdua sedang menonton drama Thailand berjudul Kluen Cheewit atau Waves of Life yang dibintangi aktor Print Suparat dan aktris Yaya Urrasaya.Adegan yang kami tonton adalah adegan dimana tokoh Jeerawat atau Jee ditampar oleh ibunya karena mau-maunya tidur bersama Sathit. Adegan ini menguras air mataku.Memang adegannya sedih banget dan disaat yang sama aku juga sedang sedih, jadi menonton drama beginian menjadi alibi untuk menangis. Aku sedang mengingat kejadian yang telah berlalu. Hal itulah yang menyebabkan aku menangis.Lamunanku buyar karena kedatangan Papa. Papa berdecak kemudian berkomentar.“Kenapa pada sesenggukan gitu?” Mama tiba-tiba ikut nimbrung.“Se-Sedih, Ma.” Lala masih sesenggukan.Mama ikut menonton bersama kami. Dan akhirnya tangisnya pun ikut pecah. Kami bertiga ini memang mudah sekali menangis. S