Moodku berubah menjadi jelek. Tidak mungkin membahas tentang pernikahan dengan kondisi wajah ditekuk parah.
Setelah meninggalkan Jeremy sendirian, aku melangkah menuju ruang makan. Tampak Bunda sedang menemani Ayah makan, sambil sesekali bertukar cerita.
"Bunda, Ayah, Aline pamit, ya. Takut kemalaman di jalan."
"Gak jadi nginap?" tanya Bunda.
"Besok aja Aline mampir lagi. Gak apa-apa ya, Bunda?"
Bunda tersenyum. "Iya. Bunda anterin kamu sampe depan, ya?"
"Eh, gak usah, Bunda. Aline bisa, kok. Pamit ya, Ayah."
Ayah mengangguk. Aku sebenarnya ingin bercerita tentang Jeremy, tetapi takut menyinggung perasaan mereka.
"Kamu mau ke mana?" Jeremy mencegatku di depan ruang tamu.
"Mau pulang. Aku capek. Malas berdebat sama lelaki egois kayak kamu."
"Aku anterin, ya? Aku takut kamu kenapa-kenapa."
Aku mendengkus. "Jangan berlagak peduli! Apa kamu lupa, siapa yang sering
Seusai meeting, Mami memintaku untuk pulang bersamanya ke rumah. Aku tak berani menolak. Apalagi Mami langsung mengultimatum aku untuk menyelesaikan masalah bersama Zanna dan Arkana. Rasanya seperti digiring paksa menuju tiang gantungan.Aku menyelinap masuk ke kamar mandi untuk mengetik pesan berisi permintaan maaf kepada Bunda karena batal berkunjung. Untungnya Bunda juga sedang ada urusan di luar bersama Ayah.Aku menyetir persis di belakang mobil Mami. Tidak ada gaya menyetir ugal-ugalan, tetapi jika ingin melihat nyonya cantik itu murka, silakan saja. Namun, aku tak punya cukup nyali.Semakin dekat dengan rumah, degup jantung seolah-olah tak terkendali. Apalagi ketika memasuki areal parkir, sudah ada mobil Arkana di sana.Habislah aku kali ini. Tidak ada kesempatan untuk mundur dan lagi aku menghadapi ini ... sendirian. Ada rasa perih yang tanpa sungkan menganga begitu saja.Berulang kali aku menarik hembus napas setela
"Aku berangkat kerja dulu, ya." Zanna tersenyum lalu menunjuk paper bag. "Aku siapin kotak bekal. Jangan lupa dibawa." "Pasti enak. Makasih ya, Nya." Aku menenteng paper bag dan tas kerja lalu berjalan keluar dari ruang makan. "Aline, Mami hari ini gak ke kantor. Ada urusan tiga hari ke Surabaya. Kamu jangan buat masalah, ya!" Aku tergemap. Kenapa Mami selalu melekatkan kata 'masalah' setiap kali memandangku? Harusnya aku sudah kebal dengan sindiran pedas yang selalu dilontarkan oleh Mami. Namun sayang, selalu ada tambahan luka baru yang membuat parut masih berdarah. "Kalau hanya untuk melontarkan kebencian, lebih baik Mami buang muka aja tiap ketemu Aline." "Jangan karena kamu dilindungi oleh Papi, lantas besar kepala, ya! Kesalahan kamu itu cukup banyak dan gak akan bisa Mami tolerir!" "Terserah, Mami. Aline pamit." Rasanya lebih baik aku berselimutkan kesepian di ranjang dala
"Masih kram perutnya?" Bunda memandangku cemas.Segelas air jahe hangat yang dibuatkan oleh Bunda rasanya cukup membantu. "Sudah mendingan, Bunda. Tapi Aline pengen rebahan.""Di kamar Bram aja, ya. Ayo Bunda anterin.""Tapi ... Jerry, Bun, dia--""Nanti biar Ayah yang marahi dia kalau berani macam-macam." Bunda langsung meyakinkan aku.Senyumku mengembang. Baguslah. Rasanya tidak ingin menambah deretan kesal seharian ini. Bunda melingkarkan tangan di pinggangku."Bun, kalau Aline ternyata belum hamil, gimana?""Ya gak apa-apa. Nikah juga baru. Pacaran aja dulu puas-puasin. Selama ini Bram itu walau sempat punya pacar tapi tetap aja gila kerja. Mana pacarnya matre semua." Bunda langsung manyun."Aline juga matre, Bun." Aku tertawa kecil."Gak. Bunda tau kok, nominal tiap bulan yang ditransfer Bram ke rekening kamu."Langkahku langsung terhenti. "Aline aja gak tau. Gak pernah cek."
“Ini semua brosur dan penawaran untuk paket pernikahan. Aline boleh pilih mau yang mana. Nanti kita bisa survey langsung dan test food juga.” Bunda mneyodorkan beberapa lembar brosur.Setelah selesai makan, Ayah menggiring Jeremy ke ruang kerja, sementara Bunda membawaku ke ruang keluarga.Sebenarnya aku suka sama wedding organizer yang kemarin dipakai untuk acara pernikahan Zanna. Namun, aku tidak ingin menambah keruwetan dengan menjelaskan tentang pertukaran pengantin. Enggan membahas hal yang bisa membuat poinku berkurang di mata Ayah dan Bunda.Masih banyak penyedia jasa wedding organizer lain. Aku mulai membaca satu persatu brosur. “Bunda, kita cek ketersediaan gedung dulu sepertinya. Aline takut gedungnya terlanjur penuh atau wajib booking berapa lama sebelum hari H gitu.”“Kamu pengen di gedung apa?”“Gedung Astoria yang terkenal itu kayaknya sulit ya, Bunda. Pasti pada rebutan kepengen di situ. Hmm
"Pagi, Al. Maaf, aku datang lagi."Jika ada hal yang bisa aku sesali pagi ini adalah melewatkan niat mampir ke kantor Papi. Niat itu berganti dengan keinginan makan siang bersama. Aku berjalan masuk menuju meja lalu duduk. Posisi kami lumayan berjarak."Mau apa?""Aku ... Anya sakit.""Lalu? Kenapa kamu malah ke sini? Harusnya kamu merawat Anya.""Kami bertengkar parah semalam ... karena membahas kamu."Aku bersedekap. "Kamu lagi-lagi menyakiti hati Anya. Udah aku bilang, lupain aku, Kan. Aku sudah punya kehidupan rumah tangga sendiri. Kamu juga gitu. Please.""Aku belum bisa, Al. Kenapa kamu gak bisa ngertiin, sih? Gak semudah itu mengalihkan perasaan, Al. Ini hati, bukan terminal tempat singgah!"Rusak sudah hari bahagia yang aku bawa dari rumah."Aku harus apa, Al? Bagaimana bisa aku mengalihkan perasaan kalau wajahnya persis sama seperti kamu?""Kamu lucu.
Aku menghabiskan waktu senggang dengan mempelajari brosur pernikahan yang dikumpulkan oleh Bunda. Ada beberapa yang aku catat ulang di kertas. Menu makanan serahkan pada keputusan Bunda. Aku sibuk mencatat isi seserahan. Kalau kami nanti pindah ke Bali, rasanya perangkat isi kamar tidak perlu diajukan. Toh semua akan dibeli baru nanti. Sedang asyik menghayal dan menuliskan semua keinginan, ponselku berdering, panggilan video call dari Bram. "Honey." "Lagi apa?" Aku langsung menunjukkan kumpulan brosur. "Dari Bunda." "Gerak cepat banget ya, Bundaku itu." Bram tertawa. "Sejak aku bilang mau ngadain resepsi, Bunda bahagia banget. Girangnya kayak anak kecil, Babe." "Oh iya, baru malam ini aku nginap di apartemen. Kemarin aku nginap di rumah Bunda." "Tumben. Jerry ke mana?" "Jerry udah gak bakalan gangguin aku lagi. Ayah udah turun tangan." "Baguslah. Bingung ju
Aku sedang menikmati secangkir lemon tea di pinggir kolam renang di belakang rumah Bunda. Di sisi sebelah kiri, ada Bunda yang sedang asyik menulis juga mencoreti kertas. "Aline, untuk menu sudah selesai Bunda tulis. Nanti ada sekitar sepuluh gubukan dengan pilihan menu banyak. Bunda pengen yang datang undangan nanti puas dengan menu hidangan yang disediakan." "Kenyang banget ya, Bunda." Aku terkikik. "Iya. Ada es krim, puding, buah segar juga untuk anak-anak." Bunda terlihat sangat antusias. "Untuk pelaminan gimana, Bunda? Aline kurang paham, Bunda aja yang handle, ya?" "Dekorasi pelaminan sekitar sepuluh meter, bunga yang dipakai asli, panggungnya sekitar enam meter. Nanti ada standing flower, karpet merah, taman di bawah panggung, welcome gazebo, photo booth." "Undangan berapa banyak, Bunda?" "Lima ratus. Cukup atau perlu tambahan?" "Harusnya sih cukup. Tapi, Aline minta bantuan Bunda untuk mengurusi ini,
Aku menangis tergugu di pelukan Bunda. Entah bagaimana menempatkan diri saat ini. Papi menegur Mami, mengingatkan nominal uang seserahan, jangan seperti menjual anak. Toh aku dan Bram sudah menikah, hanya tinggal resepsi saja.Semua persiapan pernikahan juga sudah ditanggung oleh keluarga Bram, sesuai keinginanku. Semua isi keranjang hantaran juga sudah dijabarkan oleh Bunda. Satu hal yang membuat sedih, ada Zanna juga Arkana menjadi saksi, bagaimana Mami memuntahkan semua kebencian padaku dan Papi.Ayah tidak mempermasalahkan nominal, lebih dari itu juga beliau sanggup. Namun, Ayah hanya kecewa melihat perlakuan Mami kepadaku. Bunda malah langsung memeluk dan menenangkan aku."Bawa Aline pulang, Bunda. Aline capek," rengekku di pelukan Bunda. Pandanganku sudah penuh dengan air mata."Tidak bisa! Kamu anak saya. Saya masih berhak atas kamu, Zeline Zakeysha!" Mami berkacak pinggang.Entah apa maunya Mami. Mendadak kepalaku berdentam heba