Share

Bab 7 Rencana ke Pesta

"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.

Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang 

"Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar.

"Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya.

"Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi.

"Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska.

"Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda.

"Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas Arga

Terlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya.

"Nanti ga ada cewek yang naksir aku lagi." 

Lagi lagi semua tertawa. Kecuali suamiku.

Sejak tadi ia diam saja, hanya sesekali tersenyum. Semalam aku meminta penjelasan mengenai foto yang dikirim seseorang.

Dalam foto itu tampak suamiku tengah memeluk seorang perempuan di depan gedung kantornya.  Sayangnya wajah si pemilik rambut hitam panjang itu tidak kelihatan. Terhalang oleh wajah Mas Prasetyo. 

Aku merasa jika postur tubuh perempuan yang memakai blazer itu tidak asing. Aku seperti mengenalnya. Hanya rambutnya saja yang berbeda. 

"Itu ga seperti yang kamu pikirkan Hana! Itu teman kantorku yang sedang tertimpa musibah," jelas Mas Prasetyo membuat pembelaan.

"Kenapa harus memeluk, Mas. Itu tidak pantas!" Aku memprotes dengan sikapnya itu.

"Ya mau gimana lagi! Ayahnya meninggal di Kalimantan, tentu ia sedih sehingga mencari sandaran. Mungkin saat itu karena Mas paling dekat jadi, ia tiba-tiba memeluk Mas. Masa orang lagi berduka, dibiarkan saja. Nanti ia semakin sedih."

"Apakah tidak ada teman perempuan di sana? Kenapa harus memeluk Mas Pras?" Aku masih tak habis pikir dengan kejadian itu. Penjelasan suamiku terasa tidak masuk akal.

"Sudahlah, Han. Kamu ini kebiasaan, selalu saja membesar besarkan masalah. Aku capek pulang kerja bukannya disuruh istirahat malah diteror dengan kecurigaanmu yang berlebihan." Lelaki yang wajahnya tampak memerah itu  meninggikan suaranya. 

Padahal untuk bertanya hal ini, aku harus menahan diri. Menunggu kedatangannya yang baru pulang jam 12 malam, lalu membiarkannya terlebih dahulu memakan cemilan juga membersihkan diri.

Setelah duduk santai aku baru mulai bertanya dengan baik baik. Memang dari awal, ia sudah terlihat gugup ketika pertanyaan itu terlontar. Dan seperti biasa, setiap permasalahan tak akan pernah selesai karena ia tak mau menjelaskan dengan detail.

Selalu mengakhiri perdebatan dengan suara yang meninggi dan meninggalkan masalah tanpa kejelasan dan solusi. Kemudian selanjutnya, ia akan bersikap seolah aku yang salah. Sejak bangun tidur suamiku mendiamkanku.

"Nanti malam kamu pake baju yang bagus, Han. Terus dandan, jangan malu-maluin pokoknya. Di sana pasti banyak pengusaha dan orang terpandang," celetuk ibu tiba-tiba. 

Aku yang sedang menyuapi Sakha langsung menoleh ke arah ibu.

"Tuh, Pras. Kamu pastiin istrimu bisa menyesuaikan diri. Kalau ga ada baju, coba kamu pinjam sama Wina. Kan, ukurannya hampir sama." Ibu berbicara santai, seolah apa yang diucapkan biasa saja.

Padahal setiap kata seolah menggores luka di hati, dan rasanya sangat pedih. Kenapa juga ibu berbicara seperti itu? Seolah aku seseorang yang tak mengerti apapun. 

"Ya udah, nanti aku coba pinjam sama Wina," jawab Mas Prasetyo menimpali permintaan ibunya.

"Ga usah, Mas. Aku masih ada baju."

"Udah biarin aja, sih. Baju Wina, kan, modis modis. Biar keliatan elegan dan berkelas. Jadi, kita ga malu," sahut ibu 

"Nah, betul itu, Han. Malam ini kita harus tampil cetar. Ntar soal riasan tenang, deh, aku yang make up-in kamu," timpal Mbak Siska dengan wajah manis. Tumben sekali ia mau berbaik hati seperti itu.

"Makasih, Mbak, tapi ga usah repot repot. Aku ada make up sendiri." Aku berbicara sehalus mungkin.

"Haduh, kamu, Han. Ga usah ga usah terus. Dibantuin, kok, ya ga menghargai. Ini, kan, untuk kebaikan kita," sungut ibu yang terlihat kesal.

"Lagian kamu memang ada peralatan make up? Paling bedak sama lipstik doang, kan? Ga pernah ibu lihat kamu dandan," cibirnya.

Aku menghela napas. Memang semenjak menikah dengan Mas Prasetyo aku tidak menggunakan make up. Cukup memakai skincare untuk perawatan, itupun hampir beberapa bulan tak kugunakan.

"Ada, Bu, lengkap malah!" 

Kulihat Mas Prasetto menoleh cepat ke arahku, memastikan kebenaran ucapaku. Mungkin ia merasa mustahil aku memiliki alat alat itu. Sebab uang yang diberikan setiap bulan hanya cukup untuk kebutuhan Sakha.

"Ya udah, terserah kamu, tapi kalau nanti hasilnya kek lenong, mending kamu ga usah ikut, di rumah aja! Daripada bikin malu." Kembali ibu meragukanku. Bahkan, kali ini disertai ancaman.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Lihat saja! Aku akan membuat semua orang tak berkedip melihat penampilan seorang Hanna Wijaya Salim. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status