"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.
Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang "Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar. "Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya. "Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi. "Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska. "Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda. "Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas Arga Terlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya. "Nanti ga ada cewek yang naksir aku lagi." Lagi lagi semua tertawa. Kecuali suamiku. Sejak tadi ia diam saja, hanya sesekali tersenyum. Semalam aku meminta penjelasan mengenai foto yang dikirim seseorang. Dalam foto itu tampak suamiku tengah memeluk seorang perempuan di depan gedung kantornya. Sayangnya wajah si pemilik rambut hitam panjang itu tidak kelihatan. Terhalang oleh wajah Mas Prasetyo. Aku merasa jika postur tubuh perempuan yang memakai blazer itu tidak asing. Aku seperti mengenalnya. Hanya rambutnya saja yang berbeda. "Itu ga seperti yang kamu pikirkan Hana! Itu teman kantorku yang sedang tertimpa musibah," jelas Mas Prasetyo membuat pembelaan. "Kenapa harus memeluk, Mas. Itu tidak pantas!" Aku memprotes dengan sikapnya itu. "Ya mau gimana lagi! Ayahnya meninggal di Kalimantan, tentu ia sedih sehingga mencari sandaran. Mungkin saat itu karena Mas paling dekat jadi, ia tiba-tiba memeluk Mas. Masa orang lagi berduka, dibiarkan saja. Nanti ia semakin sedih." "Apakah tidak ada teman perempuan di sana? Kenapa harus memeluk Mas Pras?" Aku masih tak habis pikir dengan kejadian itu. Penjelasan suamiku terasa tidak masuk akal. "Sudahlah, Han. Kamu ini kebiasaan, selalu saja membesar besarkan masalah. Aku capek pulang kerja bukannya disuruh istirahat malah diteror dengan kecurigaanmu yang berlebihan." Lelaki yang wajahnya tampak memerah itu meninggikan suaranya. Padahal untuk bertanya hal ini, aku harus menahan diri. Menunggu kedatangannya yang baru pulang jam 12 malam, lalu membiarkannya terlebih dahulu memakan cemilan juga membersihkan diri. Setelah duduk santai aku baru mulai bertanya dengan baik baik. Memang dari awal, ia sudah terlihat gugup ketika pertanyaan itu terlontar. Dan seperti biasa, setiap permasalahan tak akan pernah selesai karena ia tak mau menjelaskan dengan detail. Selalu mengakhiri perdebatan dengan suara yang meninggi dan meninggalkan masalah tanpa kejelasan dan solusi. Kemudian selanjutnya, ia akan bersikap seolah aku yang salah. Sejak bangun tidur suamiku mendiamkanku. "Nanti malam kamu pake baju yang bagus, Han. Terus dandan, jangan malu-maluin pokoknya. Di sana pasti banyak pengusaha dan orang terpandang," celetuk ibu tiba-tiba. Aku yang sedang menyuapi Sakha langsung menoleh ke arah ibu. "Tuh, Pras. Kamu pastiin istrimu bisa menyesuaikan diri. Kalau ga ada baju, coba kamu pinjam sama Wina. Kan, ukurannya hampir sama." Ibu berbicara santai, seolah apa yang diucapkan biasa saja. Padahal setiap kata seolah menggores luka di hati, dan rasanya sangat pedih. Kenapa juga ibu berbicara seperti itu? Seolah aku seseorang yang tak mengerti apapun. "Ya udah, nanti aku coba pinjam sama Wina," jawab Mas Prasetyo menimpali permintaan ibunya. "Ga usah, Mas. Aku masih ada baju." "Udah biarin aja, sih. Baju Wina, kan, modis modis. Biar keliatan elegan dan berkelas. Jadi, kita ga malu," sahut ibu "Nah, betul itu, Han. Malam ini kita harus tampil cetar. Ntar soal riasan tenang, deh, aku yang make up-in kamu," timpal Mbak Siska dengan wajah manis. Tumben sekali ia mau berbaik hati seperti itu. "Makasih, Mbak, tapi ga usah repot repot. Aku ada make up sendiri." Aku berbicara sehalus mungkin. "Haduh, kamu, Han. Ga usah ga usah terus. Dibantuin, kok, ya ga menghargai. Ini, kan, untuk kebaikan kita," sungut ibu yang terlihat kesal. "Lagian kamu memang ada peralatan make up? Paling bedak sama lipstik doang, kan? Ga pernah ibu lihat kamu dandan," cibirnya. Aku menghela napas. Memang semenjak menikah dengan Mas Prasetyo aku tidak menggunakan make up. Cukup memakai skincare untuk perawatan, itupun hampir beberapa bulan tak kugunakan. "Ada, Bu, lengkap malah!" Kulihat Mas Prasetto menoleh cepat ke arahku, memastikan kebenaran ucapaku. Mungkin ia merasa mustahil aku memiliki alat alat itu. Sebab uang yang diberikan setiap bulan hanya cukup untuk kebutuhan Sakha. "Ya udah, terserah kamu, tapi kalau nanti hasilnya kek lenong, mending kamu ga usah ikut, di rumah aja! Daripada bikin malu." Kembali ibu meragukanku. Bahkan, kali ini disertai ancaman. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Lihat saja! Aku akan membuat semua orang tak berkedip melihat penampilan seorang Hanna Wijaya Salim."Bu, bagaimana kalau si Hana sampai tahu?"Suara seorang yang kukenal membuatku menghentikan langkah di depan kamar ibu. Aku tercenung ketika namaku disebut. Dengan gerakan pelan aku lebih mendekat ke arah pintu, sambil mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang melihat."Ga mungkin tahu, lah!""Memang sampai kapan mau disembunyikan? Seharusnya diberitahu aja, Bu!""Ya enggalah. Nanti bisa dikacau sama si Hana itu. Nanti aja kalau udah nikah, baru dikasi tahu?"Kedua alisku tertaut, memikirkan obrolan keduanya. Siapa yang akan menikah? Dan kenapa aku tak boleh tahu?"Kira kira ngamuk ga, ya, Bu?""Mana berani dia? Lihat aja selama ini si Hana itu cuma manggut manggut aja, kan, kalau ibu dah ngomong ini itu?""Iya juga, sih! Untungnya dia polos, ya, Bu? Jadi, lumayan buat disuruh suruh.""Ya mau gimana lagi! Nasi udah jadi bubur! Mau dibuang,
Aku mematut diri di cermin, memperhatikan riasan yang sesuai dengan keinginanku. Ketika dirasa sudah cukup sempurna, aku menyungingkan senyum tipis. Tentu mereka akan tercengang dengan penampilanku ini. "Kini, semuanya tak akan sama!" Aku bergumam sendiri sambil menatap pantulan diri.Kuangkat dagu sedikit, dengan memasang wajah dingin sambil melemparkan tatapan tajam, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar.Penghuni rumah telah berkumpul di ruang tamu, memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Semuanya terlihat berbeda. Sepertinya, mereka betul betul berusaha untuk tampil mengesankan."Hana!" pekik Mbak Siska yang pertama kali melihatku.Mendengar suara melengking itu, membuat yang lainnya menoleh ke Mbak siska, lalu beralih padangan mengikuti tatapan perempuan berambut sebahu itu. Dan seperti yang kuharapkan. Semua mata membulat melihat penampilanku."Astahgfirulloh, Hana! Kok, begini, sih!" ucap
"Apa yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan, Han." Ummi berkata sambil menatap gemericik air pancuran yang berada di kolam ikan. Kami sedang duduk berdampingan di halaman belakang rumah.Aku menoleh pada perempuan yang sebaya dengan almarhum ibuku itu. "Kamu tahu, kan, kisah yang lagi viral di medsos itu?" tanyanya masih menatap ke depan.Aku memgangguk. Potongan video itu sering lewat di beranda media sosialku. Seorang menantu tengah berteriak kepada ibu mertua dan kakak iparnya. Lalu, si perempuan muda itu pergi tanpa mempedulikan panggilan perempuan yang melahirkan suaminya."Karena melihat sesuatu yang sepotong, banyak orang langsung menghujat bahkan menghina si perempuan muda."Aku menyimak dengan seksama."Sebenarnya ga salah juga, karena cuplikan video itu memang membuat geram orang yang menontonnya. Namun, ...."Ummi Evi menjeda ucapannya
Saat hendak berbelok, mengikuti si penunjuk arah. Terdengar suara seseorang yang sangat kukenal."Bu, itu bukannya Mbak Hana?""Ngaco kamu, mana mungkin itu dia! Kaya bumi sama langit," ucapnya kasak kusuk, tetapi masih terdengar olehku."Iya juga ya, Bu, ga mungkin Mbak Hana bisa secantik dan lebih muda seperti itu."Tanpa menoleh, pun, aku tahu siapa yang berbicara. Tentu saja mereka tak akan mengira jika aku adalah si menantu yang tak mereka harapkan. Apalagi aku menggunakan make up terbaik yang membuat wajahku semakin sempurna. Tidak terlihat tua seperti yang selalu dikatakan adik iparku itu. Seiring langkah yang menjauh, suara kedua orang tersebut tidak terdengar lagi. Aku disambut hangat oleh keluarga Diantoro ketika si pengantar memberitahukan identitasku."Selamat datang, Bu Ratu," sambut lelaki bertumbuh gempal sambil mengulurkan tangan kanannya. Wajahnya terlihat sangat ram
Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah, sepertinya mereka telah kembali dari pesta. Untunglah aku sudah selesai membersihkan diri dan menyimpan segala perlengkapanku."Sakha!" Aku langsung mengambil anak lelaki yang terlelap dalam gendongan ayahnya ketika pintu utama kubuka.Mendengarnya hilang dalam keramaian membuat jantungku berdetak tak karuan. Beruntung saat itu ada seorang lelaki muda baik yang mau menemani dan membantunya.Saat itu, ketika aku ingin menghampiri, kulihat Mas Prasetyo juga tengah berlari kearahnya. Tampak kepanikan juga menghiasai wajah suamiku. Aku menghentikan langkah, lalu mencari tempat persembunyiam agak tak terlihat olehnya."Ya ampun, Hana, anakmu itu cuma pergi sebentar, sama ayahnya pula. Kok, kaya orang baru kehilangan aja. Lebay sekali kamu!" sindir ibu yang berada di belakang Mas Prasetyo.Melihatku yang memeluk dengan erat, menciumi wajah dan tubuh Sakha, juga tanpa s
Aku meradang demi mendengar keputusan ibu yang memanfaatkan situasai dengan mengatas namakan sebuah janji. Teganya ia membuat badai dalam ketenangan keluarga kecilku. Dan di saat aku menahan sesak bercampur kesal, terdengar suara teriakan Mbak Siska dari ruang tamu kemudian disusul lengkingan suara tangisan Sakha."Sakha!" Aku langsung bergegas ke asal suara dan langsung terbelalak mendapati pemandangan di depanku."Dasar anak nakal!" ucap Mbak Siska yang tengah mencubit Sakha sehingga membuat anakku itu semakin mengeraskan suara."Mbak Siska!" Aku berteriak sambil menyingkirkan tangannya yang hendak menyakiti Sakha lagi."Apa apaan, sih, Mbak. Kok, main cubit aja." Kuambil tubuh kecil yang tampak kesakitan. Lalu melihat pergelangan tangan dipegangnya.Aku semakin membulatkan mata ketika melihat luka terkelupas di lengan Sakha. "Ajarin anakmu, tuh. Jangan suka ngambil barang orang. Ma
Waktu sudah menujukkan pukul dua belas siang. Aku beranjak keluar kamar bersama Sakha menuju ruang makan."Nih, ayamnya buat Bimo, makan yang banyak, ya, Sayang," ucap ibu ketika aku hampir mendekati meja makan.Di sana tampak ibu, Mbak Siska dan juga Bimo. Mereka tengah menikmati makan siang bersama. Aku mengerutkan kening ketika sudah berdiri di hadapan meja."Loh, kok, lauknya sudah habis?" Aku bertanya ketika melihat wadah lauk yang tampak kosong. Begitu juga nasi yang hanya tinggal sisa di pinggiran bakul."Kaya nyonya besar aja, mau makan udah tersedia. Masak sendiri sana!" sembur ibu."Tahu, nih, habis sarapan masuk kamar, keluar keluar minta makan! Enak benar hidup kamu!" timpal Mbak Siska. Seperti biasa selalu memanasi suasana.Padahal sehabis sarapan tadi aku langsung mencuci piring dan membersihkan peralatan bekas ibu memasak. Tapi Mbak Siska berbicara seolah aku bak nyonya, yang sehabis m
"Jangan!" Kugerakan seluruh tubuhku yang terikat di ranjang ketika seorang lelaki tengah mengungkungku.Pencahayaan yang gelap membuat wajah orang itu tak dapat terlihat."Pergi! Siapa kamu?" Aku masih berusaha melepaskan diri, menarik kedua tangan dan kaki yang ditautkan di setiap sudut ranjang.Tak ada jawaban dari orang misterius itu. Ia semakin mendekatkan diri dan membuatku sangat ketakutan."Tolong! Lepaskan aku!" Aku memohon dengan airmata yang mulai membasahi pipi. Namun, orang itu tetap terdiam dan sepertinya tak mau peduli.Hembusan napasnya mengenai wajahku, jarak kami kini sudah sangat dekat. Dengan sekuat tenaga, kembali aku gerakan tubuh yang kini semakin terkunci."Tolong! Jangan apa apakan aku!Dengan putus asa aku kembali memohon. Terlebih ketika tangan kekar itu mulai membelai wajahku."Mama! Papa! tolong aku!" Aku semakin te