Share

Bab 6 Salah Kira

"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.

Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu 

"Siska!" Suara bariton yang penuh penekanan membuat kami menoleh serempak ke asal suara.

Tampak bapak yang baru saja keluar rumah berdiri dengan rahang yang mengeras dan mata yang menatap tajam.

"Jangan kamu sentuh Hana!" perintah bapak.

Demi melihat aura bapak yang terlihat tak bersahabat itu, membuat kami terdiam semua. Sementara Mbak Siska yang sedang dikuasai amarah langsung menguarkan kekesalannya.

"Hana buat aku kesal, Pak. Masa suamiku disuruh cari ibu baru buat anak anak!" 

"Ga mungkin ada asap kalau ga ada api!"

Mbak Siska mengerutkan kening sejenak. Sesudahnya ia seperti mengerti maksud ucapan bapak.

"Loh, aku cuma berkata yang sebenarnya, Pak!" ucapnya Membela diri. 

"Apa yang dikatakan Hana adalah kebenaran juga!" tegas lelaki berusia tujuh puluh tahun tersebut.

Mendengar penuturan yang terkesan terus membelaku, membuat Mbak siska membulatkan mata dengan mulut menganga. Terlebih kalimat yang diucapkan bapak seolah telak mengatakan jika ia adalah biang masalahnya.

"Kenapa bapak selalu membela Hana?"

"Bapak tidak membela siapa pun. Tapi bapak hanya mengatakan keadaan yang sebenarnya."

Mbak siska berdecak kesal, dan hendak kembali bersuara. Tetapi, dari belakang ibu meminta untuk menyudahi perdebatan.

"Sudah, sudah, malu dilihat tetangga. Dah, Siska kamu ngalah aja," ucap ibu beranjak berdiri, lalu melangkah melewatiku tanpa menoleh menuju ke dalam rumah. 

Mbak Sinta mencebik, kemudian turut melangkah  dengan menghentakkan kakinya. Sementara Bi Tirah yang terlihat salah tingkah, langsung berjalan pelan sambil tersenyum takut takut kepada bapak, lalu setelah melewati kami. Ia langsung berjalan terbirit-birit.

"Maafin Hana, Pak!"

"Kamu ga salah!" ucapnya dengan suara yang melembut. "Sudah, bawa Sakha ke dalam. Kasian dia tidur dengan posisi begitu."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Hana ke dalam dulu, Pak!"

"Iya."

Aku kembali membenarkan posisi Sakha yang merosot dalam gendongan, lalu berjalan melewati bapak yang terdiam dengan wajah yang tidak setegang tadi.

***

"Han, kamu beli sayur asem sama tempe tahu di warung Mpok Ijah!" perintah ibu ketika aku hendak ke kamar mandi. 

"Hana mandi dulu, Bu. Mumpung Sakha masih tidur."

"Mending belanja dulu aja, takut keburu tutup. Ini udah mau jam lima," kekeuh ibu sambil mengangsurkan uang berwarna biru.

Aku terpaksa mengambil lembaran tersebut, lalu kembali melangkah ke kamar. Meletakkan handuk. Kalau sudah sedikit memaksa, artinya ibu tak mau dibantah.

"Mpok, sayur asemnya masih ada?" 

"Ada, noh, tinggal satu," sahut Mpok Ijah sambil menujuk sebuah bungkusan plastik berwarna putih.

Aku langsung melihat ke arah yang dimaksud dan mengambilnya.

"Tumbenan sore amat, Neng Hana?"

"Iya, Mpok, baru pulang dari rumah Ummi."

"Oh, yang di Bogor itu, ya?"

Aku mengangguk sambil  mengambil tahu dan tempe.

"Tempenya cuma ini aja, ya, Mpok?"

"Iya, Neng. Untung itu mah, tinggal satu. Biasanya hari gini udah habis."

"Alhamdulillah, Mpok, berarti masih rejeki."

Warung Mpok Ijah memang sudah terlihat agak kosong. Perempuan itu juga tengah membereskan dagangan yang diletakkan di luar. Sepertinya ia mau menutup warung. Ada untungnya juga aku mengikuti perintah ibu.

"Eh, iya, Neng. Kemarin itu ada acara apa di pantai  Pangandaran?

"Pantai?"

"Ish, masa Neng lupa. Kan, baru hari minggu kemarin." 

Mpok Ijah terlihat gemas melihatku yang kebingungan, ia menganggapku seperti orang yang hilang ingatan. Padahal aku sedang mencerna ucapannya.

"Mpok salah orang kali!"

"Ah, engga. Nih, kalau ga percaya. Pas Mpok lagi foto foto, eh ada Mas Pras yang keikut foto di belakang." Perempuan yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu mengambil ponselnya di saku.

"Nih, coba lihat!" 

Ia mengangsurkan benda persegi tersebut padaku dan menunjukkan sebuah gambar. Tampak Mpok Ijah bersama keuarganya. Sementara di belekangnya terlihat beberapa lelaki yang tengah berdiri di bibir pantai sambil tertawa.

Kebetulan posisinya memang pas menghadap kamera. Dan salah satunya adalah Mas Prasetyo.

Aku mencoba mengingat, minggu lalu suaniku itu memang pamit untuk pergi bersama teman-temannya selama dua hari. Menaiki motor ke pantai pangandaran. Hal biasa yang dilakukan tiga bulan sekali untuk sekedar hiburan melepaskan penat setelah sibuk dengan aktivitas bekerja.

Aku tak pernah melarangnya. Buat seorang lelaki, mungkin seperti itulah bentuk healingnya. Lagipula aku juga mengenal beberapa orang teman suamiku yang ikut kegiatan tersebut. Dan semuanya laki-laki.

"Oh, iya itu, lagi jalan jalan aja, Mpok! Biasalah healing." 

"Owalah, kirain lagi hanimun. Habis mesra banget, sih, kaya pengantin baru?" ucap Mpok Ijah yang membuatku menurunkan garis senyum seketika.

"Mesra?" Aku tertegun. Bertanya dalam hati. Bukankah dalam foto itu laki-laki semua?

"Et, dah, Neng Hana. Dari tadi kaya orang keder. Baru juga minggu kemarin, dah lupa aja!" Mpok Ijah menggeleng melihatku yang mungkin sejak tadi seperti orang linglung. 

"Pas mau chek in hotel, Mpok lihat Mas Pras sama Neng Hana lagi jalan sambil gandengan, mau ke arah lift. Mau Mpok tegor, eh, si Memet manggil manggil minta ktp. Ga jadi negor, deh!"

Kedua mataku membulat mendengar penjelasan orang di hadapanku ini. Hotel? Ada perasaan tak enak menyusup dalam hati. 

Ucapan perempuan penjual beraneka sayur dan lauk pauk mentah ini membuatku bertanya-tanya. Apa benar Mas Prasetyo terlihat mesra dengan perempuan yang dikira aku? Lalu, siapa perempuan itu?

Tring!

Suara ponsel di sakuku, mengalihkan perhatian kami.

"Bentar ya, Mpok!"

"Oke."

Aku langsung mengambil benda itu, lalu melihat sebuah pesan yang masuk. Sempat terheran dengan nomor yang tak dikenal.

Karena penasaran, kubuka chat dari orang tak bernama itu. Betapa kagetnya aku ketika melihat foto yang dikirimkannya tersebut.

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status