Share

Bab 5 Sebuah Perlawanan

"Han, boleh ummi bertanya?"

"Tentang apa, Mi?"

"Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?"

Aku yang awalnya antusias ingin mendengar pertanyaan ummi Evi, langsung lemas seketika. Bahuku meluruh dengan wajah menunduk. Senyum sinis tersungging di bibirku.

Mendengar satu kata itu, membuat mood-ku semakin buruk. Goresan hati sebab perilaku suamiku belum juga sembuh, kini ditambah luka di masa lalu yang kembali menganga.

"Jangan sebut orang itu, Ummi!" Aku meminta dengan suara lirih.

Sekelebatan bayangan kala itu melintas dalam ingatan, membuatku tubuhku menegang.

"Jangan sebut orang itu!" Suaraku semakin serak, buliran bening telah menganak sungai. Tak kuasa menampung beban, akhirnya keluar juga airmata yang sejak tadi kutahan.

"Ia tetap ayahmu, Hana!" 

"Aku membencinya Ummi!"

"Kamu harus mendengarkan penjelasannya, Nak! Apa yang terjadi tidak seperti yang terlihat mata."

Aku menggeleng, tak setuju dengan pendapat orang yang menampungku di masa terpuruk saat itu.

"Jangan bicarakan itu lagi, Ummi!" Bahuku semakin berguncang, kenangan itu belum bisa hilang dari ingatan. Aku kembali rapuh. 

Melihatku yang semakin terisak, perempuan yang hidup sendiri itu mendekatiku, kemudian memeluk dengan kasih. Memberikan raganya untuk menjadi tumpahan segala lara. Aku semakin tersedu, sesak rasanya jika mengingat peristiwa itu.

"Mafkan Ummi, Sayang. Kita akan membicarakannya lagi jika kamu sudah siap!"

Aku tak menjawab. Terus menangis dalam pelukan. Namun, hatiku memgelak, sampai kapanpun, aku tak akan siap jika membicarakan perihal orangtua itu.

***

"Jalan-jalan terus! Kirain ga pulang lagi!" sindir Mbak Siska ketika aku baru sampai di teras rumah.

Tampak ibu dan Bi Tirah  yang tinggal di samping rumah, memandang kesal ke arahku. Entahlah, apa yang sebelumnya mereka bicarakan sampai kompak sekali memasamkan wajah di hadapanku.

"Kalau pergi kemana mana itu, selesaikan kerjaan rumah dulu. Kasian, kan, ibu jadi kecapean!" cicit kakak iparku itu lagi.

"Iya, loh, Han. Kasihan ibu mertuamu ini. Kerjain pekerjaan rumah, masak, beberes, nyuci baju, setrika. Kok, kamu ga ada pengertiannya, sih! timpal perempuan paruh baya yang merupakan adik ibu.

Sementara mertuaku itu diam saja, hanya menampilkan wajah seperti orang yang tengah menderita. Baru ditinggal sehari saja, aku langsung dihakimi seperti ini.

Aku membetulkan Sakha yang terlelap dalam gendonganku. Menepuk-nepuknya agar tidak terbangun. Tega sekali ketiga orang ini, bukannya menyuruhku masuk dulu untuk membaringkan anakku, tetapi malah dicerca ini dan itu.

"Kamu juga tadi ga buat sarapan dulu, mana beli sarapan cuma buat bapak sama ibu. kasian, kan, anak anakku jadi kelaparan!" kesal Mbak Siska.

Aku tersenyum tipis. Ajaib sekali perempuan di depanku ini. Perihal anaknya kelaparan masih juga menyalahkanku. Aku memang tadi sengaja memberi nasi uduk hanya dua bungkus. Sementara Restu dan Mas Prasetyo kubawakan lontong sayur. 

Agak unik memang Mbak Siska. Jika membeli makanan dari luar, ia hanya membawa untuk keluarganya saja. Jangankan aku yang dibelikan, bapak ibu pun hanya bisa melihat bekas bungkusnya saja. Namun, ia selalu menuntutku untuk membelikan semua orang  jika aku membawa makanan dari luar.

"Jangan gitulah, Han. Sebagai menantu kamu harus bisa meringankan pekerjaan mertuamu. Kalau sudah beres semua, baru, deh, kamu pergi," sahut Bi Tirah sok tahu.

Seperti tak punya pekerjaan saja. Setiap hari perempuan yang ditinggal suaminya itu selalu mencampuri kehidupan orang lain. Mengomentari lni dan itu seolah paling tahu segalanya.

Aku menghela napas. Berusaha mengurai amarah di dada. Aku tak boleh terpancing, tentu orang orang ini akan senang jika terjadi keributan. Kemudian memutarbalikkan fakta seolah menjadi yang tertindas.

Selama ini aku selalu mengalah, diam saja jika diperlakukan semena mena. Tetapi, kali ini aku akan memulai melayani mereka.

Siapa pun yang memulai memancing, akan kuhadapi dengan suka hati, terkecuali ibu. Bagaimanapun juga ia orangtua Mas Prasetyo yang masih harus kuhormati. 

"Sudah bicaranya?" Aku berbicara dengan penekanan suara.

Terlihat mereka tersentak, lalu saling menengok karena heran.

"Jika sudah, saya mau masuk dulu!" Dengan santai aku berbalik melangkah ke arah pintu.

"Ga sopan banget kamu, Han! Diajak ngomong malah ngeloyor aja," kesal Mbak Siska membuatku menghentikan langkah, kemudian kembali berbalik.

"Anak muda zaman sekarang kelakuannya!" ucap Bi Tirah menggeleng-geleng. Namun, aku tak peduli. 

Aku berjalan mendekati Mbak Siska yang duduk di kursi paling pinggir.

"Apa yang Mbak harapkan dari aku?" Aku berkata dengan wajah mengintimmidasi.

"Aku merengek, meminta maaf, atau menangis!" Kembali aku berucap dengan penuh penekanan. Dalam hati, aku tertawa melihat wajah mereka yang seperti tak mengira aku bisa melawan.

"Jangan harap!" Aku berkata dengan tegas. 

Sebelum berbalik, aku kembali mengucapkan beberapa kata.

"Oh, ya, menantu yang tinggal di rumah ini bukan aku saja! Apa gunanya Mbak siska jika ibu sampe kecapean mengurus rumah? Kasihan sekali ibu, punya menantu tak bisa meringankan pekerjaannya. Kalau kaya gitu, mungkin lebih baik dibuang ke laut aja."  

Kulihat kedua mata kakak iparku membelalak dengan wajah memerah. Sementara ibu dan Bi Tirah hanya diam saja.

"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.

Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu 

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status