Share

Bab 4 Saling Diam

Sudah tiga hari aku mendiamkan suamiku. Dan selama itu pula ia berlaku sama. Aneh saja! Kesalahan yang diperbuat tidak membuatnya merasa bersalah.

Justru, ia sangat marah ketika aku protes tentang ketidak jujurannya. Dan kini, ia bersikap seolah-olah aku yang membuat kesalahan.

Kenyataan bahwa yang membelikan ibu alat kecantikan itu adalah Mas Prasetyo, membuatku lemas seketika. Bukan karena cemburu, melainkan ketidakadilan juga ketidakjujurannya terhadapku.

"Mas, andai bapak ga bilang, pasti kamu juga ga akan ngasih tahu aku, kan?" Aku bertanya dengan suara bergetar, sementara suamiku terlihat salah tingkah.

Saat itu bapak yang bersuara hendak membelikanku alat kecantikan itu juga. Katanya, bergantian. Jika ibu dibelikan Mas Prasetyo, maka bapak yang akan membelikanku. Namun, aku menolaknya dengan halus. 

Bukan tidak berterima kasih, tapi tatapan tajam ibu juga rengekan Mbak Wina yang mengatakan bapaknya pilih kasih, membuatku harus melakukan itu. Menghindari kekacauan yang akan terjadi. Hanya saja yang membuatku meradang adalah sikap suamiku.

"Aku tadi mau bilang, De, tapi rencananya nanti kalau semua sudah pulang."

"Nanti? Mbak Wina bilang ibu pesannya kemarin, loh. Seharusnya kamu bisa kasih tahu aku malamnya, kan?" Aku tak habis pikir dengan alasannya. Jelas sekali jika ia memang tak berniat membicarakan hal itu padaku.

Padahal ia bilang ingin menabung untuk memberi rumah, sampai untuk memenuhi kebutuhan pribadiku saja merasa keberatan. Namun, ternyata untuk membelikan ibu alat kecantikan itu, ia dengan entengnya mengeluarkan uang berjuta-juta.

Perihal uang, aku tak pernah membatasi Mas Prasetyo untuk memberikan kepada orangtuanya.  Berapa pun aku tak masalah asal ia sudah memenuhi kebutuhanku dan Sakha. Namun, kenyataannya, sangat jomplang sebelah.

"Sudahlah, Han, jangan dibesar-besarkan. Anggap aja itu bentuk baktiku pada ibu."

"Berbakti yang diawali dengan kebohongan pada istri?" 

Aku menatapnya tajam dengan gigi bergemeletuk karena gemas dengan pemikirannya. Tak ada perkataan maaf atas kesalahan, tetapi  justru mencari-cari alasan untuk melindungi diri.

"Apa, sih, kamu? Lebay amat. Lagian itu, kan, uang aku sendiri. Kenapa kamu harus marah!" bentak Mas Prasetyo.

Aku tersentak dan semakin melebarkan mata mendengar penuturannya. Apa dia bilang? Jadi, maksudnya aku tak boleh marah.

"Aku tahu, Mas, itu uang kamu. Tapi ingat, aku ini istri kamu. Ada hakku dari uang yang kamu hasilkan. Setelah ijab qobul terucap, segala kebutuhanku dan anak-anak adalah tanggunganmu." Aku mengingatkannya mengenai kewajiban sebagai suami dan ayah.

"Susah ngomong sama kamu! Memangnya selama ini aku menelantarkan kamu dan Sakha! Jangan menghilangkan pemberianku Hana! Kalau bukan aku, mungkin kamu udah berkeliaran di jalanan."

"Astaghfirulloh! Kok, kamu bicara seperti itu, Mas?" Aku menggeleng sambil menatapnya tak percaya. 

Lelaki yang kuanggap bisa menjadi tumpuan hidup berbicara seolah aku adalah beban. Sesuatu yang terpaksa untuk dipelihara. 

Melihatku yang menumpahkan airmata membuat Mas Prasetyo  menghembuskan napas berat, lalu pergi begitu saja meninggalkan luka tak berdarah. Tak ada niatnya untuk menenangkan hati atau sekedar meminta maaf karena ucapannya.

Sepeninggalnya, dadaku semakin sesak. Bahuku semakin berguncang. Dalam isak tangis, aku memendam duka lara.

***

"Jangan berlarut lagi, Han! Memaafkan lebih mulia," ucap Ummi Evi yang mengetahui permasalahan rumah tanggaku.

Hanya kepadanya aku bercerita mengenai setiap lika liku yang terjadi dalam keluargaku. Dan melalui beliau juga aku belajar ilmu agama.

"Tapi, Mas Pras sudah keterlaluan, Mi! Setahun ini ia banyak berubah, dan parahnya sekarang ia berbohong."

Kutumpahkan segala sesak yang selalu menghimpit selama setahun ini. Hidup serumah dengan ibu mertua saja sudah membuatku resah, ditambah lagi sikap pasangan hidup yang semakin tak peka.

"Mungkin Pras khilaf, Han. Coba bicarakan dari hati ke hati. Ibaratnya berjalan di area yang licin, kadang bisa tergelincir, kan. Nah, tugas kamu  untuk membantunya," ucap guru mengajiku itu memberi nasihat.

"Mas Pras sekarang susah diajak bicara, Mi. Ia selalu merasa pendapatnya yang paling benar." Kutatap wajah teduh di hadapan yang menyimak setiap keluh kesahku dengan tenang dan sabar.

"Minta mohon pada Sang Pemilik Hati untuk melembutkan hati suamimu, Han!" Ummi Evi menjeda ucapannya.

"Selain itu, instropeksi diri sendiri juga. Coba tengok hal pada diri yang mungkin membuat suamimu seperti itu," jelasnya lagi dengan hati-hati.

"Misalkan, aku ga ada kesalahan, Mi?" 

Aku merasa, perubahan Mas Prasetyo bukan karena sikapku yang berubah, bahkan selama ini aku masih berusaha untuk memgikuti kemauannya. Kadang lebih banyak memilih mengalah.

Namun, aku merasa semakin aku merendah diri, memaklumi segala yang terjadi, justru semakin membuat suamiku bebas untuk melakukan sesuka hati tanpa memikirkan perasaanku.

Padahal empat tahun bersama selama di Bandung, ia tidak seperti itu. Baru berubah semenjak tinggal di Jakarta. Dan aku merasa Mas Prasetyo berubah karena pengaruh ibu juga keluarganya.

Bukannya berburuk sangka, tetapi aku pernah mendengar sendiri ucapan ibu yang menyuruh agar suamiku itu tidak hidup di bawah kendaliku. Ah, padahal aku tidak seperti itu! Yang akan menguasai suamiku tanpa memedulikan keluarganya. 

Jika keluarga suamiku berpikir harta adalah tujuanku. Mereka salah besar. Aku pernah memiliki lebih banyak dari yang mereka miliki. Bahkan, jika aku mau. Dengan sekali menjentik jari aku bisa mendapatkan semuanya kembali. Hanya saja, aku ingin bahagia dengan caraku sendiri.

"Anggap saja itu sebagai ujian hidup, Han. Bisa jadi ini adalah onak duri  dalam perjalanan hidupmu untuk menjadi lebih baik. Semoga saja dengan ini kamu akan lebih bahagia."

"Aamiin." Aku mengangguk, membetulkan setiap perkataan  perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. 

Aku jadi mengingat kehidupanku dulu, yang penuh kebahagian dan limpahan kasih sayang juga kemewahan. Aku pikir hidupku saat itu sudah sangat sempurna. Namun, sebuah kesalahan memporak porandakan segalanya. Dan aku belum bisa memaafkan si pembuat masalah.

"Han, boleh ummi bertanya?"

"Tentang apa, Mi?"

"Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status