Sudah tiga hari aku mendiamkan suamiku. Dan selama itu pula ia berlaku sama. Aneh saja! Kesalahan yang diperbuat tidak membuatnya merasa bersalah.
Justru, ia sangat marah ketika aku protes tentang ketidak jujurannya. Dan kini, ia bersikap seolah-olah aku yang membuat kesalahan. Kenyataan bahwa yang membelikan ibu alat kecantikan itu adalah Mas Prasetyo, membuatku lemas seketika. Bukan karena cemburu, melainkan ketidakadilan juga ketidakjujurannya terhadapku. "Mas, andai bapak ga bilang, pasti kamu juga ga akan ngasih tahu aku, kan?" Aku bertanya dengan suara bergetar, sementara suamiku terlihat salah tingkah. Saat itu bapak yang bersuara hendak membelikanku alat kecantikan itu juga. Katanya, bergantian. Jika ibu dibelikan Mas Prasetyo, maka bapak yang akan membelikanku. Namun, aku menolaknya dengan halus. Bukan tidak berterima kasih, tapi tatapan tajam ibu juga rengekan Mbak Wina yang mengatakan bapaknya pilih kasih, membuatku harus melakukan itu. Menghindari kekacauan yang akan terjadi. Hanya saja yang membuatku meradang adalah sikap suamiku. "Aku tadi mau bilang, De, tapi rencananya nanti kalau semua sudah pulang." "Nanti? Mbak Wina bilang ibu pesannya kemarin, loh. Seharusnya kamu bisa kasih tahu aku malamnya, kan?" Aku tak habis pikir dengan alasannya. Jelas sekali jika ia memang tak berniat membicarakan hal itu padaku. Padahal ia bilang ingin menabung untuk memberi rumah, sampai untuk memenuhi kebutuhan pribadiku saja merasa keberatan. Namun, ternyata untuk membelikan ibu alat kecantikan itu, ia dengan entengnya mengeluarkan uang berjuta-juta. Perihal uang, aku tak pernah membatasi Mas Prasetyo untuk memberikan kepada orangtuanya. Berapa pun aku tak masalah asal ia sudah memenuhi kebutuhanku dan Sakha. Namun, kenyataannya, sangat jomplang sebelah. "Sudahlah, Han, jangan dibesar-besarkan. Anggap aja itu bentuk baktiku pada ibu." "Berbakti yang diawali dengan kebohongan pada istri?" Aku menatapnya tajam dengan gigi bergemeletuk karena gemas dengan pemikirannya. Tak ada perkataan maaf atas kesalahan, tetapi justru mencari-cari alasan untuk melindungi diri. "Apa, sih, kamu? Lebay amat. Lagian itu, kan, uang aku sendiri. Kenapa kamu harus marah!" bentak Mas Prasetyo. Aku tersentak dan semakin melebarkan mata mendengar penuturannya. Apa dia bilang? Jadi, maksudnya aku tak boleh marah. "Aku tahu, Mas, itu uang kamu. Tapi ingat, aku ini istri kamu. Ada hakku dari uang yang kamu hasilkan. Setelah ijab qobul terucap, segala kebutuhanku dan anak-anak adalah tanggunganmu." Aku mengingatkannya mengenai kewajiban sebagai suami dan ayah. "Susah ngomong sama kamu! Memangnya selama ini aku menelantarkan kamu dan Sakha! Jangan menghilangkan pemberianku Hana! Kalau bukan aku, mungkin kamu udah berkeliaran di jalanan." "Astaghfirulloh! Kok, kamu bicara seperti itu, Mas?" Aku menggeleng sambil menatapnya tak percaya. Lelaki yang kuanggap bisa menjadi tumpuan hidup berbicara seolah aku adalah beban. Sesuatu yang terpaksa untuk dipelihara. Melihatku yang menumpahkan airmata membuat Mas Prasetyo menghembuskan napas berat, lalu pergi begitu saja meninggalkan luka tak berdarah. Tak ada niatnya untuk menenangkan hati atau sekedar meminta maaf karena ucapannya. Sepeninggalnya, dadaku semakin sesak. Bahuku semakin berguncang. Dalam isak tangis, aku memendam duka lara. *** "Jangan berlarut lagi, Han! Memaafkan lebih mulia," ucap Ummi Evi yang mengetahui permasalahan rumah tanggaku. Hanya kepadanya aku bercerita mengenai setiap lika liku yang terjadi dalam keluargaku. Dan melalui beliau juga aku belajar ilmu agama. "Tapi, Mas Pras sudah keterlaluan, Mi! Setahun ini ia banyak berubah, dan parahnya sekarang ia berbohong." Kutumpahkan segala sesak yang selalu menghimpit selama setahun ini. Hidup serumah dengan ibu mertua saja sudah membuatku resah, ditambah lagi sikap pasangan hidup yang semakin tak peka. "Mungkin Pras khilaf, Han. Coba bicarakan dari hati ke hati. Ibaratnya berjalan di area yang licin, kadang bisa tergelincir, kan. Nah, tugas kamu untuk membantunya," ucap guru mengajiku itu memberi nasihat. "Mas Pras sekarang susah diajak bicara, Mi. Ia selalu merasa pendapatnya yang paling benar." Kutatap wajah teduh di hadapan yang menyimak setiap keluh kesahku dengan tenang dan sabar. "Minta mohon pada Sang Pemilik Hati untuk melembutkan hati suamimu, Han!" Ummi Evi menjeda ucapannya. "Selain itu, instropeksi diri sendiri juga. Coba tengok hal pada diri yang mungkin membuat suamimu seperti itu," jelasnya lagi dengan hati-hati. "Misalkan, aku ga ada kesalahan, Mi?" Aku merasa, perubahan Mas Prasetyo bukan karena sikapku yang berubah, bahkan selama ini aku masih berusaha untuk memgikuti kemauannya. Kadang lebih banyak memilih mengalah. Namun, aku merasa semakin aku merendah diri, memaklumi segala yang terjadi, justru semakin membuat suamiku bebas untuk melakukan sesuka hati tanpa memikirkan perasaanku. Padahal empat tahun bersama selama di Bandung, ia tidak seperti itu. Baru berubah semenjak tinggal di Jakarta. Dan aku merasa Mas Prasetyo berubah karena pengaruh ibu juga keluarganya. Bukannya berburuk sangka, tetapi aku pernah mendengar sendiri ucapan ibu yang menyuruh agar suamiku itu tidak hidup di bawah kendaliku. Ah, padahal aku tidak seperti itu! Yang akan menguasai suamiku tanpa memedulikan keluarganya. Jika keluarga suamiku berpikir harta adalah tujuanku. Mereka salah besar. Aku pernah memiliki lebih banyak dari yang mereka miliki. Bahkan, jika aku mau. Dengan sekali menjentik jari aku bisa mendapatkan semuanya kembali. Hanya saja, aku ingin bahagia dengan caraku sendiri. "Anggap saja itu sebagai ujian hidup, Han. Bisa jadi ini adalah onak duri dalam perjalanan hidupmu untuk menjadi lebih baik. Semoga saja dengan ini kamu akan lebih bahagia." "Aamiin." Aku mengangguk, membetulkan setiap perkataan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. Aku jadi mengingat kehidupanku dulu, yang penuh kebahagian dan limpahan kasih sayang juga kemewahan. Aku pikir hidupku saat itu sudah sangat sempurna. Namun, sebuah kesalahan memporak porandakan segalanya. Dan aku belum bisa memaafkan si pembuat masalah. "Han, boleh ummi bertanya?" "Tentang apa, Mi?" "Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?""Han, boleh ummi bertanya?""Tentang apa, Mi?""Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?"Aku yang awalnya antusias ingin mendengar pertanyaan ummi Evi, langsung lemas seketika. Bahuku meluruh dengan wajah menunduk. Senyum sinis tersungging di bibirku.Mendengar satu kata itu, membuat mood-ku semakin buruk. Goresan hati sebab perilaku suamiku belum juga sembuh, kini ditambah luka di masa lalu yang kembali menganga."Jangan sebut orang itu, Ummi!" Aku meminta dengan suara lirih.Sekelebatan bayangan kala itu melintas dalam ingatan, membuatku tubuhku menegang."Jangan sebut orang itu!" Suaraku semakin serak, buliran bening telah menganak sungai. Tak kuasa menampung beban, akhirnya keluar juga airmata yang sejak tadi kutahan."Ia tetap ayahmu, Hana!" "Aku membencinya Ummi!""Kamu harus mendengarkan penjelasannya, Nak! Apa yang terjadi tidak seperti yan
"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu "Siska!" Suara bariton yang penuh penekanan membuat kami menoleh serempak ke asal suara.Tampak bapak yang baru saja keluar rumah berdiri dengan rahang yang mengeras dan mata yang menatap tajam."Jangan kamu sentuh Hana!" perintah bapak.Demi melihat aura bapak yang terlihat tak bersahabat itu, membuat kami terdiam semua. Sementara Mbak Siska yang sedang dikuasai amarah langsung menguarkan kekesalannya."Hana buat aku kesal, Pak. Masa suamiku disuruh cari ibu baru buat anak anak!" "Ga mungkin ada asap kalau ga ada api!"
"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang "Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar."Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya."Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi."Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska."Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda."Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas ArgaTerlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya."N
"Bu, bagaimana kalau si Hana sampai tahu?"Suara seorang yang kukenal membuatku menghentikan langkah di depan kamar ibu. Aku tercenung ketika namaku disebut. Dengan gerakan pelan aku lebih mendekat ke arah pintu, sambil mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang melihat."Ga mungkin tahu, lah!""Memang sampai kapan mau disembunyikan? Seharusnya diberitahu aja, Bu!""Ya enggalah. Nanti bisa dikacau sama si Hana itu. Nanti aja kalau udah nikah, baru dikasi tahu?"Kedua alisku tertaut, memikirkan obrolan keduanya. Siapa yang akan menikah? Dan kenapa aku tak boleh tahu?"Kira kira ngamuk ga, ya, Bu?""Mana berani dia? Lihat aja selama ini si Hana itu cuma manggut manggut aja, kan, kalau ibu dah ngomong ini itu?""Iya juga, sih! Untungnya dia polos, ya, Bu? Jadi, lumayan buat disuruh suruh.""Ya mau gimana lagi! Nasi udah jadi bubur! Mau dibuang,
Aku mematut diri di cermin, memperhatikan riasan yang sesuai dengan keinginanku. Ketika dirasa sudah cukup sempurna, aku menyungingkan senyum tipis. Tentu mereka akan tercengang dengan penampilanku ini. "Kini, semuanya tak akan sama!" Aku bergumam sendiri sambil menatap pantulan diri.Kuangkat dagu sedikit, dengan memasang wajah dingin sambil melemparkan tatapan tajam, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar.Penghuni rumah telah berkumpul di ruang tamu, memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Semuanya terlihat berbeda. Sepertinya, mereka betul betul berusaha untuk tampil mengesankan."Hana!" pekik Mbak Siska yang pertama kali melihatku.Mendengar suara melengking itu, membuat yang lainnya menoleh ke Mbak siska, lalu beralih padangan mengikuti tatapan perempuan berambut sebahu itu. Dan seperti yang kuharapkan. Semua mata membulat melihat penampilanku."Astahgfirulloh, Hana! Kok, begini, sih!" ucap
"Apa yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan, Han." Ummi berkata sambil menatap gemericik air pancuran yang berada di kolam ikan. Kami sedang duduk berdampingan di halaman belakang rumah.Aku menoleh pada perempuan yang sebaya dengan almarhum ibuku itu. "Kamu tahu, kan, kisah yang lagi viral di medsos itu?" tanyanya masih menatap ke depan.Aku memgangguk. Potongan video itu sering lewat di beranda media sosialku. Seorang menantu tengah berteriak kepada ibu mertua dan kakak iparnya. Lalu, si perempuan muda itu pergi tanpa mempedulikan panggilan perempuan yang melahirkan suaminya."Karena melihat sesuatu yang sepotong, banyak orang langsung menghujat bahkan menghina si perempuan muda."Aku menyimak dengan seksama."Sebenarnya ga salah juga, karena cuplikan video itu memang membuat geram orang yang menontonnya. Namun, ...."Ummi Evi menjeda ucapannya
Saat hendak berbelok, mengikuti si penunjuk arah. Terdengar suara seseorang yang sangat kukenal."Bu, itu bukannya Mbak Hana?""Ngaco kamu, mana mungkin itu dia! Kaya bumi sama langit," ucapnya kasak kusuk, tetapi masih terdengar olehku."Iya juga ya, Bu, ga mungkin Mbak Hana bisa secantik dan lebih muda seperti itu."Tanpa menoleh, pun, aku tahu siapa yang berbicara. Tentu saja mereka tak akan mengira jika aku adalah si menantu yang tak mereka harapkan. Apalagi aku menggunakan make up terbaik yang membuat wajahku semakin sempurna. Tidak terlihat tua seperti yang selalu dikatakan adik iparku itu. Seiring langkah yang menjauh, suara kedua orang tersebut tidak terdengar lagi. Aku disambut hangat oleh keluarga Diantoro ketika si pengantar memberitahukan identitasku."Selamat datang, Bu Ratu," sambut lelaki bertumbuh gempal sambil mengulurkan tangan kanannya. Wajahnya terlihat sangat ram
Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah, sepertinya mereka telah kembali dari pesta. Untunglah aku sudah selesai membersihkan diri dan menyimpan segala perlengkapanku."Sakha!" Aku langsung mengambil anak lelaki yang terlelap dalam gendongan ayahnya ketika pintu utama kubuka.Mendengarnya hilang dalam keramaian membuat jantungku berdetak tak karuan. Beruntung saat itu ada seorang lelaki muda baik yang mau menemani dan membantunya.Saat itu, ketika aku ingin menghampiri, kulihat Mas Prasetyo juga tengah berlari kearahnya. Tampak kepanikan juga menghiasai wajah suamiku. Aku menghentikan langkah, lalu mencari tempat persembunyiam agak tak terlihat olehnya."Ya ampun, Hana, anakmu itu cuma pergi sebentar, sama ayahnya pula. Kok, kaya orang baru kehilangan aja. Lebay sekali kamu!" sindir ibu yang berada di belakang Mas Prasetyo.Melihatku yang memeluk dengan erat, menciumi wajah dan tubuh Sakha, juga tanpa s