Share

Bab 3 Alat Kecantikan

Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak Ayu yang masih berbicara di telepon. 

Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan siapa orang di seberang telepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku.

"Ngapain kamu, De, ngendap ngendap gitu. Kaya maling aja!"

Aku tersentak dengan jantung berdebar. Lalu refleks menoleh pada suara yang kukenal sambil memberi isyarat telunjuk di bibir. Khawatir Mbak Ayu melihat kami.

Gegas aku berbalik, dan menggandeng Mas Prasetyo untuk kembali ke dapur.

"Kamu ngapain, sih! Lagi nguping, ya?" Suamiku menebak gelagatku yang mungkin terlihat mencurigakan.

Aku sedikit gelagapan. Tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya, jika aku mencurigai  yang menelepon Mbak Ayu adalah Mas Prasetyo. Namun, nyatanya orang di seberang itu bukan suamiku.

Terbukti ia ada di sini, sementara Mbak Ayu masih menelepon. Syukurlah kecurigaanku salah. Aku beristighfar dalam hati telah menduga yang tidak tidak pada kakak iparku yang sangat baik padaku itu. Juga suamiku sendiri. 

"Eh, en-egga. Tadi aku lagi mau lihat tikus. Kaya sembunyi di balik pohon."

Kulihat Mas Prasetyo mengerutkan kening.

"Sejak kapan ada tikus di sini?" ucapnya tak percaya.

Betul juga, sih. Rumah ibu selalu bersih dan terawat. Karena mertuaku itu sangat apik. Ibu akan sangat marah jika ada satu saja sampah yang diletakkan sembarangan. 

Jangankan tikus, cicak juga mungkin enggan untuk mampir ke rumah. Karena tak akan mendapatkan apa apa. Ibu akan murka jika ada makanan yang berceceran atau sisa makanan yang tidak langsung dibersihkan.

"Ya bisa aja, Mas, namanya juga dia lagi nyoba nyoba, kali aja dapat peruntungan." Aku menjawab asal, menggedikkan bahu, lalu langsung mengalihkan pembicaraan.

"Oh, ya, Mas. Nanti tolong suapin Sakha, ya. Habis anter snack ini, aku mau mandi dulu."

"Kok, aku, sih! Kamu ajalah. Mandinya entar aja!"

"Aku udah gerah, nih! Lagian sekalian makan sama yang lain."

"Kenapa ga suruh  Sakha makan sendiri aja, sih! Biasanya juga gitu!"

"Janganlah, Mas. Lagi banyak orang, ga enak nanti berantakan. Nanti dimarahin ibu juga."

"Ya udahlah, Sakha makannya habis kamu mandi aja. Justru karena banyak orang, masa aku yang disuruh nyuapin. Malu dong!"

"Ih, kamu ini!"

Aku mencebik mendengar jawaban lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Selalu saja beralasan jika diminta bantuan. Entahlah, sejak tinggal di rumah ibu, sikapnya semakin hari kian berubah.

"Udah, Han. Biar Mbak aja yang nyuapin Sakha," ucap Mbak Ayu yang baru muncul dari pintu belakang. Kami berdua menoleh ke arahnya.

"Eh, ga usah, Mbak. Ga apa apa nanti biar saya aja." Aku langsung menolak permintaannya. 

Tak enak jika harus disuapi kakak iparku tersebut. Terlebih bukan rahasia lagi jika Mbak Ayu memutuskan childfree salah satu penyebabnya karena tak mau direpotkan dengan urusan anak.

"Iya, Mbak Ayu. Ga usah. Biar Hana aja!" sahut suamiku menimpali.

Aku menengok ke arah Mas Prasetyo yang terlihat tanpa dosa menjawab seperti itu. Benar benar suami kurang peka dan tak perhatian. Sebenarnya, aku meminta tolong seperti itu hanya untuk bisa bersantai sejenak.  

Kesibukan yang dimulai dari pagi buta membuatku agak kelelahan. Apalagi Mbak siska juga tidak membantu. Hanya berdiam diri di kamar. 

Sementara ibu hanya bisa memerintah ini dan itu. Kondisinya sedang kurang fit, sehingga urusan memasak juga dilimpahkan padaku. Hanya saja dengan pengarahan dari ibu.

Ingin berkata sejujurnya jika aku lelah, tetapi lelaki yang menikahiku hampir lima tahun itu selalu menganggap enteng masalah. Bahkan, kerapkali aku yang dianggap terlalu banyak mengeluh dan membandingkan dengan ibunya yaang pandai mengurus keluarga tanpa pembantu.

"Udah ga apa, santai aja!" Mbak Sinta melangkah mendekati rak susun beroda di samping meja, berisi beberapa snack yang hendak kubawa ke ruang depan.

"Ini yang mau dibawa ke depan, Han?" tunjuk Mbak Sinta ke samping meja.

Aku mengangguk. "Iya, Mbak."

"Ya udah, kamu mandi aja. Biar ini Mbak yang bawa. Nanti sekalian juga Mbak bilang ke yang lainnya kalau makanan sudah siap."

"Makasih, Mbak."

"Jangan sungkan! Kalau ada apa-apa ngomong aja, ya. Nanti Mbak bantu."

"Iya, Mbak."

"Ya udah kamu mandi sana! Ga usah terburu buru. Nanti anakmu Mbak yang suapin," ucap Mbak Ayu lalu melangkah ke depan sambil membawa rak susun beroda kecil berisi snack tersebut.

Aku tak bisa mengelak lagi. Tak enak juga jika terus menolak. Aku menengok ke arah suamiku.  Aku tertegun dengan tatapan suami yang tengah melihat kepergian Mbak Ayu. Terlihat sebuah kekaguman dari pandangannya. 

Baru saja, aku mengesampingkan kecurigaanku terhadap Mbak Ayu dan mas Prasetyo. Namun, melihat tingkah lelakiku seperti itu, membuatku menjadi resah. Apakah suamiku mengagumi Mbak Ayu yang memang terlihat sangat cantik dan fashionable?

***

"Nih, Mbak Hana. Alat setrika wajah. Biar lebih awet muda," ucap Wina, adik ipar yang usianya di atasku enam tahun itu sambil menunjukkan sebuah alat kecantikan yang katanya dapat menghilangkan tanda tanda penuaan.

"Beli ini, Mbak. Cuma lima juta aja. Tapi khasiatnya luar biasa. Biar Mas Pras makin cinta. Pasti suami seneng, kan, kalau istrinya tampak cantik dan terlihat muda," ucapnya lagi sambil menengok ke arah suamiku. 

"Bener, kan, Mas?" tanyanya meminta pendapat. 

Mas Prasetyo hanya tersenyum kikuk. Tak berani menjawab. Mungkin dia agak khawatir dengan harganya.

"Wah, aku tahu, nih! Temanku ada yang pake juga. Dan emang wajahnya kelihatan lebih muda. Garis senyumnya hilang, terus pipinya agak naik, ga kendor gitu," timpal Mbak Siska antusias.

"Emang sebagus itu alatnya, Mbak Siska. Aku juga pake ini, makanya wajahku keliatan awet muda," ucap Wina sambil melirik ke arahku.

Apa maksudnya ia seperti itu? Ingin menyindirku lagi? 

"Ini kamu jualan, ya, Win?" tanya Mbak Siska sambil memegang dan melihat lihat alat tersebut.

"Iya, Mbak. Tapi sistem PO. Kalau Mbak mau, nanti aku list, ya. Ibu juga udah pesan, loh!"

Kulihat ibu mengangguk tersenyum.

"Ya udah aku ambil deh, Win!" sahut Mbak Siska.

"Mbak Ayu gimana? Mau pesan juga!" 

"Oke, boleh!"

"Mbak Hana?" 

"Eh, aku ga usah dulu!" ucapku setelah mendapat kode dari Mas Prasetyo untuk menolak.

Terlihat Mbak Wina bermasam muka. Perempuan yang sedang menjalankan bisnis kecantikan itu memang paling tak suka jika ditolak.

"Ah, Mbak Hana. Jangan pelit pelitlah buat kecantikan. Ntar, Mas Pras naksir yang lain baru nyesel, loh," ucapnya menakuti. Dan aku paling tidak suka jika didesak dengam ancaman seperti itu. 

Bukannya aku tak mau membeli. Akan tetapi, Mas Prasetyo tidak mengizinkan. Jangakan yang jutaan, ratusan ribu pun memintanya penuh perjuangan.

Apa ia bilang. Aku pelit? Padahal mereka juga tahu keuangan dipegang oleh suamiku. 

"Biar aku saja yang belikan buat Hana!" Suara seseorang dari pintu utama membuat kami semua menoleh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status